Tuesday 29 May 2012

CARA MENULIS JURNALL ILMIAH


Oleh : Ibn Khamid
Ada banyak panduan yang bisa membantu Anda dalam menulis sebuah jurnal ilmiah. Panduan yang satu ini, mungkin bisa dijadikan referensi.

Format umum untuk jurnal ilmiah biasanya terdiri dari:
1. Judul;
2. Abstrak;
3. Pendahuluan;
4. Bahan dan metode;
5. Hasil;
6. Pembahasan;
7. Kesimpulan;
8. Daftar pustaka.

1. Judul
Setiap jurnal ilmiah harus memiliki judul yang jelas. Dengan membaca judul, akan memudahkan pembaca mengetahui inti jurnal tanpa harus membaca keseluruhan dari jurnal tersebut. Misalnya, judul "Laporan Lab Biologi". Dengan judul seperti ini, maka tidak ada pembaca yang mau membacanya karena tidak menggambarkan isi jurnal. Contoh judul yang jelas, misalnya "Pengaruh Cahaya dan Suhu terhadap Pertumbuhan Populasi Bakteri Escherichia Coli". Judul ini sudah sedikit banyak melaporkan isi dari jurnal.

2. Abstrak
Abstrak berbeda dengan ringkasan. Bagian abstrak dalam jurnal ilmiah berfungsi untuk mencerna secara singkat isi jurnal. Abstrak di sini dimaksudkan untuk menjadi penjelas tanpa mengacu pada jurnal.
Bagian abstrak harus menyajikan sekitar 250 kata yang merangkum  tujuan, metode, hasil, dan kesimpulan. Jangan gunakan singkatan atau kutipan dalam abstrak. Pada abstrak harus dapat berdiri sendiri tanpa catatan kaki. Abstrak ini biasanya ditulis terakhir. Cara mudah untuk menulis abstrak adalah mengutip poin yang paling penting di setiap bagian jurnal. Kemudian menggunakan poin-poin untuk menyusun sebuah deskripsi singkat tentang studi Anda.

3. Pendahuluan
Pendahuluan adalah pernyataan dari kasus yang Anda diselidiki, yang memberikan informasi kepada pembaca untuk memahami tujuan spesifik Anda dalam kerangka teoritis yang lebih besar. Bagian ini juga dapat mencakup informasi tentang latar belakang masalah, seperti ringkasan dari setiap penelitian yang telah dilakukan dan bagaimana sebuah percobaan akan membantu untuk menjelaskan atau memperluas pengetahuan dalam bidang umum. Semua informasi latar belakang yang dikumpulkan dari sumber lain harus menjadi kutipan.

Catatan: Jangan membuat pendahuluan terlalu luas. Ingat saja bahwa Anda menulis jurnal untuk rekan yang juga memiliki pengetahuan yang sama dengan Anda.

4. Bahan dan Metode
Bagian ini menjelaskan ketika percobaan telah dilakukan. Peneliti menjelaskan desain percobaan, peralatan, metode pengumpulan data, dan jenis pengendalian. Jika percobaan dilakukan di alam, maka penulis menggambarkan daerah penelitian, lokasi, dan juga menjelaskan pekerjaaan yang dilakukan.  Aturan umum yang perlu diingat adalah bagian ini harus memaparkan secara rinci dan jelas sehingga pembaca memiliki pengetahuan dan teknik dasar agar bisa diduplikasikan.

5. Hasil
Di sini peneliti menyajikan data yang ringkas dengan tinjauan menggunakan teks naratif, tabel, atau gambar. Ingat hanya hasil yang disajikan, tidak ada interpretasi data atau kesimpulan dari data dalam bagian ini. Data yang dikumpulkan dalam tabel/gambar harus dilengkapi teks naratif dan disajikan dalam bentuk yang mudah dimengerti. Jangan ulangi secara panjang lebar data yang telah disajikan dalam tabel dan gambar.

6. Pembahasan
Pada bagian ini, peneliti menafsirkan data dengan pola yang diamati. Setiap hubungan antar variabel percobaan yang penting dan setiap korelasi antara variabel dapat dilihat jelas. Peneliti harus menyertakan penjelasan yang berbeda dari hipotesis atau hasil yang berbeda atau serupa dengan setiap percobaan terkait dilakukan oleh peneliti lain. Ingat bahwa setiap percobaan tidak selalu harus menunjukkan perbedaan besar atau kecenderungan untuk menjadi penting. Hasil yang negatif juga perlu dijelaskan dan mungkin merupakan sesuatu yang penting untuk diubah dalam penelitian Anda.

7. Kesimpulan
Bagian ini hanya menyatakan bahwa peneliti berpikir mengenai setiap data yang disajikan berhubungan kembali pada pertanyaan yang dinyatakan dalam pendahuluan. Dengan mengacu pada bagian pendahuluan dan kesimpulan, seorang pembaca harus memiliki ide yang baik dari penelitian ini, meski pun hanya rincian spesifik.

8. Daftar Pustaka
Semua informasi (kutipan) yang didapat peneliti harus ditulis sesuai abjad pada bagian ini. Hal tersebut berguna untuk pembaca yang ingin merujuk pada literatur asli. Perhatikan bahwa referensi yang dikutip benar-benar disebutkan pada jurnal Anda.

Selamat menulis!
sumber: Kompas.com

REVIEW BUKU "Sejarah Pendidikan Islam"


RESENSI BUKU
Nama Pengarang         : Prof. Dr. H. Samsul Nizar, M.Ag
Judul Buku                  : Sejarah pendidikan Islam
Bab yang dibahas        : XXI BAB
Tahun Terbit                : 2007
Tempat Terbit              : Jakarta
Tebal Buku                  : XXX + 360 Halaman; 23 Halaman
Penerbit                       : KENCANA PERDANA MEDIA GROUP

Buku yang dieditori oleh Prof. Dr. H. Samsul Nizar, M.Ag merupakan kumpulan tulisan tentang sejarah pendidikan Islam dari beberapa penulis dengan menyelusuri jejak sejarah pendidikan era Rosulullahbsampai Indonesia. Dalam kata pengantar editor Prof. Dr. H. Nizar menerangkan quo vadis pendidikan Islam di Indnesia, menyelusuri sejarah menuju paradigma pendidikan berkualitas. Dalam pembahasan ini, diterangkan kondisi pendidikan nasional yang serba dengan kekurangan dan eror direfleksikan kepada sejarah pendidikan Islam untuk memperbaiki sistem pendidikan nasional ke arah yang lebih maju.
Pada BAB I ditulis tentang Profil Rosulullah sebagai Pendidik ideal: telaah pola pendidikan Islam era Rosulullah fase Makkah dan Madinah yang ditulis  oleh Zainal Efendi Hasibuan menerangkan tentang kondisi politik, sosiokultural pra Islam sampai fase awal Islam dan bagaimana pendidikan pada zaman Rosulullah mulai dari lembaga pendidikannya, materi dan kurikulum serta metode pengajaran dan evaluasi era Rosulullah. Rosulullah sebagai pendidik yang ideal dapat dilihat dari indikator walaupun dengan sarana dan prasarana yang terbatas dapat menelurkan para intelektual yang berkualitas. Yang dahulunya bangsa arab masih terkukung dalam kegelapan dan kejahiliahan melesat ke arah peradaban yang tinggi. Dan metode yang diterapka rosulullah sangat berfariasi sehingga dapat menghilangkan kejenuhan. Dan yang paling utama Rosulullah mendidik para sahabat dengan menjadikan dirinya sebagai suri tauladan. Adapun kurikulum yang dipakai Rosulullah adalah kurikulum berbasis masyarakat. Hal tersebut dapat dilihat dari pembagian pengajaran era makkah dan era madinah.
Pada BAB II ditulis tentang pola pendidikan Islam pada periode Rosulullah mekkah dan madinah ditulis oleh Kamaruzzaman. Disana diterangkan tentang  kondisi sosial kultural makah dan madinah pada era Rosulullah dan pola yang dilakukan Rosulullah dalam mengajarkan tauhid kepada para sahabatnya. Kurikulum yang digunakan yaitu berlandaskan Al-Qur’an dan Al-Hadist.
BAB III tentang pola pendidikan Islam  pada masa Khulafaurrosyidin ditulis oleh Mhd. Dalpen. Disini diterangkan tentang keadaan dan sistem pendidikan di zaman Khulafaurrosyidin. Pada zaman Abu bakar, sistem pendidikannya tidah jauh berbeda dari pendidikan pada masa Rosulullah. Pada masa Umar pendidikan sudah lebih meningkat dimana para guru sudah diangkat dan digaji yang diambil dari baitul mall  untuk mengajar ke daerah-daerah yang baru ditaklukan. Pada masa Usman. Pendidikan diserahkan pada rakyat dan sahabat yang tidak hanya fokus di mMadinah melainkan dikirim ke daerah-daerah lainnya. Pada masa Ali, pendidikan kurang mendapat perhatian dikarenakan terjadi pergolakan dan konflik yang menimbulkan kekacauan.
BAB IV pola pendidikan Islam pada periode dinasti Umayyah yang ditulis oleh Silvianti Candra. Dieterangkan tentang pembentukan dinasti, kemajuan yang dicapai oleh dinasti umayyah dan pola pendidikan dan pusat pendidikannya. Pada masa ini berkembang ilmu-ilmu agama islam dan adanya pembukuan hadist pada zaman Umar Bin Abdul Aziz.
BAB V pola pendidikan Islam pada periode dinasti abasiyah yang ditulis oleh Ali Nupiah. Disini dibahas tentang sejarah berdirinya daulah Abasiyah, sistem politik, pemerintahan dan bentuk negara serta sistem sosialnya. Pada zaman ini Islam mencapai punak kejayaan yang dapat dilihat indikatornya yaitu majunya ilmu-ilmu sains dan tekhnologi. Dan puncak kejayaan tersebut terjadi pada masa Harun Arrosyid.
BAB VI Pola pendidikan Islam di Spanyol era awal tinjauan historis filosofis ditulis oleh Samsul Nizar. Dalam tulisan ini dibahas tentang sejarah awal Islam Spanyol, perkemabngan Pendidikan dan kebudayaan Spanyol Islam beserta faktor penunjangnya, dan bias pendidikan spanyol Islam bagi perkembangan dunia modern. Disini Spanyol diterangkan baha spanyol merupakan pintu atau temapat penghubung antara dunia Islam dan Eropa. Dari sinilah proses pencerahan Eropa terbentuk.
Dan pada bab-bab yang selanjutnya diterangkan sejarah pendidikan islam dari pendidikan Islam di andalusia oleh Yusmanto, lembaga-lembaga pendidikan Islam era awal oleh Mira Astuti, kurikulum dan pola perkembangan ilmu pengetahuan pada masa klasik hingga masa keemasan oleh Sondal Pramujaya, transformasi dan kontribusi intelektual Isla atas dunia barat oleh Farida Syam, madrasah Hizamiyah; pengaruhnya terhadap perkembangan pendidikan islam dan aktivitas ortodoksi suni oleh Edi Warman, pendidikan Islam pada era kemunduran oleh Mulyadi Hermanto Nasution, kehancuran dinasti Abasiyah dan pengaruhnya terhadap pelaksanaan pendidikan di dunia Islam oleh Roli Yandri, sejarah dan perkembangan arsitektur Islam dinasti Usmaniyah oleh Samsul Nizar, dinamika sejarah pendidikan perempuan potert timur tengah dan indonesia era awal oleh Wahyu hikmah, dikotomi ilmu pengetahuan: akar tumbuhnya dikotomi ilmu dalam peradaban Islam oleh Yudelasharmi, Muhammad Abduh dan usaha pembaruan pendidikan Islam di Mesir oleh Yasmansyah, gagasan islamisasi ilmu pengetahuan dan implikasinya dalam pendidikan oleh Ahmad Syarifin, sejarahdan dinamika lemaga-lembaga pendidikan islam nusantara oleh Abasri, pola kebijakan pendidikan Islam di Nusantara pada masa awal samapai sebelum kemerdekaan oleh Maswardi, organisasi sosial keagamaan dan pendidikan Islam oleh Muhammad Syaifudin, dan yang terahir pola dan kebijakan pendidikan Islam pada masa awal kemerdekaan sampai pada orde lama oleh Zulhandra.

Kesimpulan
Melihat dari isi buku ini, disana diterangkan secara mendalam tentang sejarah pendidikan Islam dari era Rosulullah hingga Islam di Indonesia pada masa orde lama. Dengan bahasa penulisan yang apik dan runtut penulis mengajak pembacanya untuk berdiskusi dan akan kita dapatkan analisis atau riset yang jarang ditemukan.
Dikarenakan buku ini merupakan kumpulan dari makalah-makalah, pembahasan yang disampaikan kurang rutut dan sistematis, sehingga agak menyulitkan para pembaca untuk mengikuti alurnya, dan didalamnya terkadang ada dua pembahasan yang setema disampaikan.

Ditulis oleh:
Nama   :Almas Juniar Akbar
NIM    :09410190
PAI-A

PENDIDIKAN MULTIKULTURAL


BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Indonesia adalah bangsa yang majemuk,bahkan indonesia adalah salah satu negara multikultural terbesar di dunia. Menurut Atho’ Mudzhar multikulturalitas bangsa Indonesia ini dpat dibedakan menjadi dua, yaitu perbedaan vertikal dan perbedaan horizontal. Perbedaan vertikal ditandai dengan realitas adanya pelapisan sosial atas-bawah dalam struktur kemasyarakan sebagai akibat perbedaan masing-masing individu di bidang politik, ekonomi, sosial dan pendidikan. Sedangkan perbedaan horizontal adalah perbedaan masyarakat berdasarkan kesatuan sosial budaya suku, ras, bahasa, adat-istiadat dan agama.
      Multikulturalitas bangsa Indonesia ini bisa diibaratkan pisau bermata ganda. Di satu sisi ia menjadi potensi yang berharga dalm membangun peradaban bangsa,disisi lain apabila tidak dapat dikelola dengan baik, multikulturalitas tersebut akan memunculkan konflik yang mampu menghancurkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara bahkan disintegrasi bangsa. Perbedaan-perbedaan tersebut akan menjadi beban atau kekayaan tergantung bagaimana cara mengolahnya. Dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika yang telah dicetuskan oleh para founding fathers bangsa ini, diharapkan masyarakat Indonesia dapat hidup bersama berdampingan dalam suasana aman, damai, dan sejahtera.
      Dalam
                                        
B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Apa hakikat multikulturalisme dan pendidikan multikulturalisme?
2.      Bagaimana pendidikan multikultural di Indonesia?
3.      Apa urgensi pendidikan multikulturaisme di Indonesia?
4.      Bagaimana peran pendidikan agama islam dalam membangun  multikulturalisme di Indonesia?
5.      Bagaimana implikasi pendidikan multikulturalisme?
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Hakikat Multikulturalisme  Dan Pendidikan  Multikultural
1.      Pengertian multikulturalisme
Akar kata multikulturalisme adalah kebudayaan. Secara etimologi, multikulturalisme dibentuk dari kata multi (banyak), kultur (budaya), dan isme (aliran/paham). Secara hakiki, dalam kata itu terkandung pengakuan akan martabat manusia  yang hidup dalam komunitasnya dengan kebudayaannya masing-masing  yang unik.[1] Dengan demikian setiap individu merasa dihargai sekaligus merasa bertanggung jawab untuk hidup bersama komunitasnya. Pengingkaran suatu masyarakat terhadap kebutuhan untuk diakui (politic of recognition) yang merupakan akar dari segala ketimpangan  dalam berbagai bidang kehidupan. Multikultural juga mengandung arti keragamaman kebudayaan, aneka kesopanan, atau banyak pemeliharaan.[2]
Multikukturalisme sebenarnya merupakan konsep dimana sebuah komunitas dalam konteks kebangsaan dapat mengakui keberagamaan, perbedaan  dan kemajemukan budaya,baik ras, suku, etnis dan agama. Sebuah konsep yang memebrikan pemahaman kita bahwa sebuah bangsa yang plural atau majemuk adalah bangsa yang dipenuhi dengan budaya-budaya yang beragam atau multikultur. Bangsa yang multikultur adalah bangsa yang kelompok-kelompok etnik atau budaya yang ada dapat hidup berdampingan secara damai dalam prinsip co-existence yang ditandai oleh kesediaan untuk menghormati budaya lain. [3]
Paradigama multikulturalisme memberi pelajaran kepada kitra untuk memiliki apresiasi dan respek terhadap budaya dan agama-agama orang lain. Atas  dasar ini maka penerapan multikultural isme menuntut kesadaran dari masing-masing  budaya lokal untuk saling mengakui dan menghormati keanekaragaman identitas budaya yang dibalut semangat kerukunan dan perdamaian. Diharapkan dengan kesadaran dan kepekaan terhadap kenyataan kemajemukan, pluralitas bangsa, baik dalam etnis, agama, budaya hingga orientasi politik, akan bisa mereduksi berbagai potensi yang dapat memicu konflik sosial di belakang hari.
2.      Pendidikan Mukltikulturalisme
Pendidikan multikulturalisme merupakan sebuah istilah yang sudah lama muncul dalam dunia pendidikan. Masyarakat yang harus mengapresiasi pendidikan multikulturalisme adalah masyarakat yang secara objektif memiliki anggota  plural. Paling tidak keranekaragaman masyarakat itu bisa dilihat dari eksistensi  keragaman suku, ras, agama, dan budaya.[4]
Penafsiran  tentang pendidikan multikultural banyak perbedaan antara satu pakar dengan pakar lainnya. Menurut pendapat Andersen  dan Cusher, bahwa pendidikan multikultural dapat diartikan sebagai pendidikan mengenai keragaman kebudayaan. Kemudian menurut james Banks  mendefinisikan pendidikan multikultural sebagai pendidikan untuk people of color. Artinya, pendidikan multikultural ingin  mengeksplorasi perbedaaan sebagai keniscayaan (anugerah tuhan/sunatullah).
Sejalan dengan pemikiran di atas , Muhaemin el Ma’hady berpendapat , bahwa secara sederhana pendidikan multikultural dapat didefinisikan  sebagai pendidikan keragaman kebudayaan dalam meresponi perubahan demografis  dan kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan.
Dalam bukunya Multicultural Education : Teacher  Guide to Linking Context, process, and Content, Hilda Hernandez mengartikan pendidikan multikultural sebagai perspektif yang mengakui realitas politik, sosial, dan ekonomi yang dialami oleh masing-masing individu dalam pertemuan manusia yang kompleks dan beragam secara kultur, dan merefleksikan pentingnya budaya, ras, seksualitas dan gender, etnisitas, agama, status sosial, ekonomi, dan pengecualian-pengecualian dalam proses pendidikan. Atau, dengan kata lain bahwa ruang pendidikan sebagai media transformasi ilmu pengetahuan (transfer of knowledge) hendaknya mampu memberikan nilai-nilai multikulturalisme dengan cara saling menghargai dan menghormati atas realitas yang beragam (plural), baik latar belakangnya  maupun basis sosial budaya yang melingkupinya.[5]
James Bank (1994) menjelaskan, bahwa pendidikan multikultural memiliki beberapa dimensi yang saling berkaitan antara yang satu dengan yang lainnya, yaitu : Pertama, Content Integration, yaitu mengintegrasikan berbagai budaya dan kelompok untuk mengilustrasikan konsep mendasar, generalisasi dan teori dalam mata pelajaran/disiplin ilmu. Kedua, the knowledge construction process, yaitu membawa siswa untuk memahami implikasi budaya ke dalam sebuah mata pelajaran. Ketiga, an equity paedagogy, yaitu menyesuaikan metode pengajaran dengan cara belajar siswa dalam rangka memfasilitasi prestasi akademik siswa yang beragam baik dari segi ras, budaya (culture) ataupun sosial (social). Keempat, prejudice reduction, yaitu mengidentifikasi karakteristik ras siswa dan menentukan metode pengajaran mereka.[6] Selain keempat dimensi pendidikan multicultural yang telah disebutkan di atas dalam bukunya HAR Tilaar menambahkan dimensi pemberdayaan budaya sekolah sebagai salah satu dimensi pendidikan multicultural. Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal dipandang sebagai pintu gerbang untuk melaksanakan tugas pengembangan budaya bagi peserta didik. Sebagai pintu gerbang, maka sekolah harus memiliki kekuatan strategis untuk menciptakan budaya positif sesuai dengan falsafah masyarakat. Sekolah harus merupakan suatu motor penggerak dalam perubahan struktur masyarakat yang timpang.[7] 

Dari berbagai definisi yang telah disampaikan oleh para pakar tersebut dapat diambil dasar-dasar pelaksanaan pendidikan multikulturalisme, yaitu :
1)      Pendidikan multikulturalisme merupakan sebuah proses pengembangan (developing). Yaitu sebagai suatu proses yang tidak diibatasi oleh ruang, waktu, subjek, objek, dan relasinya. Proses ini biasa dilakukan di mana saja, kapan saja, untuk siapa saja dan berkaitan dengan siapa saja.
2)      Pendidikan multikulturalisme mengembangkan seluruh potensi manusia, yaitu potensi yang ssebelumnya sudah ada dan diimiliki oleh manusia. Yaitu potensi intelektual, sosial, religius, moral, ekonomi, teknis, kesopanan, dan tentunya etnis budaya.
3)      Pendidikan multikulturalisme adalah pendidikan yang menghargai pluralitas. Pendidikan yang menjunjung tinggi keragaman budaya, etnis, dan aliran agama, yaitu sikap yang sangat urgen untuk disosialisasikan.[8]

Ada enam tujuan pendidikan multikultural, yaitu: Pertama, mengembangkan perspektif sejarah yang beragam dari kelompok-kelompok masyarakat. Kedua, memperkuat kesadaran budaya yang hidup di masyarakat. Ketiga, memperkuat kompetensi intelektual dari budaya-budaya yang hidup di masyarakat. Keempat, membasmi berbagai prasangka. Kelima, mengembangkan kesadaran atas kepemilikan planet bumi. Keenam, mengembangkan keterampilan aksi sosial
Dari penjelasan di atas, diperlukan penjabaran dari konsep ini dalam berbagai jenis reformasi kegiatan pembelajaran, yaitu: pertama, reformasi kurikulum, yaitu diperlukan kurikulum baru yang sesuai dengan analisis historis dan harus sesuai dengan pluralisme budaya. Kedua, mengajarkan prinsip-prinsip keadilan sosial. Ketiga, mengembangkan kompetensi multikultural, yaitu pengembangan identitasetnis-sub-etnis melalui kegiatan kebudayaan. Keempat, melaksanaan pedagogik kesetaraan, yaitu dilaksanakan dengan pengajaran yang tidak menyinggung tradisi kelompok tertentu.

B.     Pendidikan Multikultural di Indonesia
Indonesia adalah Negara yang berpenduduk majemuk, betapa tidak, Negara ini dihuni oleh suku bangsa yang plural dengan aneka ragam agama/kepercayaan, suku (yang tersebar dilebih dari 17.000 pulau) bahasa daerah yang mencapai lebih dari 500 bahasa dan budaya. Setiap individu yang hidup di Negara ini past berhadapan dengan kebhinekaan, kemajemukan menyusup dan merasuk dalam setiap dan seluruh ruang kehidupan., tak terkecuali dalam hal kepercayaan dan budaya.
Tetapi paradigma ini tidak efektif, karena pemahaman terhadap budaya lain juga masih cenderung disalah artikan sebagai upaya untuk mengerti sifat-sifat negatif orang lain tanpa mengimbangi dengan pemahaman terhadap nilai-nilai positifnya. Akibatnya berbagai macam perasaan etnosentrisme, stereotype, pelabelan negatif, dan prejudice cultural tetap menguat di tengah-tengah masyarakat. Karena itu, banyak ahli yang berkesimpulan bahwa konflik sosial antar kelompok yang masih timbul di masyarakat berkaitan dengan paradigma pembangunan dan pendidikan yang dianut selama ini. Artinya, paradigm itu masih belum tepat untuk masyarakat Indonesia yang sangat majemuk.
Belakangan ini (terutama setelah reformasi) di Indonesia mulai menguat gagasan untuk mengadopsi multikulturalisme. Banyak ahli yang memandang faham ini sangat layak dijadikan paradigma dalam proses pembangunan di Indonesia. Bertolak dari semangat untuk menerapkan paradigma multicultural ke dalam sistem pembangunan, sekarang ini tampak mengedepankan gagasan untuk menerapakan pola-pola pendidikan multicultural di sekolah-sekolah formal, mulai dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Pendidikan kepramukaan, kewiraan, dan kewarnegaraan (PKn) sesungguhnya dilakiukan sebagai bagian dari proses usaha membangun cara hidup multicultural untuk memperkuat wawasan kebangsaan.
Pada sisi yang lain, kita pun merasakan bahwa pendidikan agama yang diberikan di sekolah-sekolah kita pada umumnya tidak menghidupkan pendidikan multicultural yang baik, bahkan cenderung berlawanan. Akibatnya, konflik social sering kali diperkeras oleh adanya legitimasi keagamaan yang diajarkan dalam pendidikan agama di sekolah-sekolah daerah yang rawan konflik. Ini membuat konflik mempunyai akar dalam keyakinan keagamaan yang fundamental sehingga konflik social kekerasan semakin sulit diatasi, karena dipahami sebagai bagian dari panggilan agamanya.
Kenyataan menunjukkan bahwa pendidikan agama masih diajarkan dengan cara menafikan hak hidup agama yang lainnya, seakan-akan hanya agamanya sendirilah yang benar dan mempunyai hak hidup, sementara agama yang lain yang salah, tersesat dan terancam hak hidupnya, baik di kalangan mayoritas maupun yang minoritas. Semangat pendidikan keagamaan yang sempit ini, sudah barang tentu berlawanan secara fundamental dengan semangat pendidikan multicultural, dan akan memperlemah persatuan bangsa.
      
C.     Urgensi Pendidikan Multikultural
Sebagaimana hakikat manusia dan sifat dasar manusia yang harus dihormati dan dihargai, ada dimensi-dimensi utama manusia dan kebutuhannya. Memerhatikan hakikat manusia dalam konteks pendidikan multikultural menjadi sangat signifikan karena beberapa hal:
1)      Pendidikan multikultural memandang bahwa manusia memiliki beberapa dimensi yang harus diakomodir dan dikembangkan secara keseluruhan. Orientasi pendidikan multikultural adalah untuk”memanusiakan manusia”. Di sini dapat dijelaskan lebih jauh bahwa kemanusiaan manusia pada dasarnnya adalah pengakuan akan pluralitas.
2)      Pendidikan multikultural tidak mentolerir adanya ketimpangan kurikulum. Pendidikan multikultural mengakui dan menghargai adanya perbedaan filosofi keilmuan. Karena sesuai dengan dimensi manusia yang sangat beragam tersebut, seseorang akan mengembangkan dirinya sesuai dengan bakat dan minatnya. Oleh karena itu sangatlah tidak relevan ketika pendidikan multikultural hanya mengembangkan kualitas kognisi intelektual belaka.
3)      Pendidikan multikultural hanya berupaya menjadi jembatan emas bagi keterpisahan lembaga pendidikan dari kemanusiaan masyarakat. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa pendidikan multikultural senantiasa mengakomodir semua keinginan dan kebutuhan semua masyarakat. Artinya, pendidikan multikultural tidak boleh membedakan kebutuhan yang bersifat intelektual, spiritual, material, emosional, etika, estetika, sosial, ekonomikal, dan transendental dari seluruh lapisan msayarakat dengan berbagai ragam stratanya. Dengan demikian lembaga pendidikan tidak akan terlepas dari wilayah lokalnya.
4)      Pendidikan multikultural menghendaki biaya pendidikan menjadi sangat ringan dan dapat digapai oleh seluruh lapisa aitun masyarakat.

Pendidikan multikultural perlu diadopsi dan diakomodir untuk kebutuhan Indonesia kontemporer.  Yaitu dikarenakan menyangkut keragaman bangsa yang sudah tidak asing bagi kita. Inilah kekayaan yang luar biasa, potensi kemajemukan yang menjadi landscape dan panorama musantara yang tak akan pernah habis untuk digali.
      Alasan lain adalah perkembangan global yang membawa perubahan-perubahan dalam kosntelasi sosio-politik, ekonomi dan kultural. Dominasi negara-negara maju yang menjadi pusat penyebaran isme dunia tunggal memaksakan keseragaman pola dan gaya hidup mondial, baik melalui dunia hiburan, makanan dan minuman, serta mode-mode pakaian. Orang Gunung Kidul yang terbiasa makan tiwul dikondisikan untuk dapat menikmati pizza hut atau spagheti yang asing dari cita rasa keseharian mereka, minum coca cola dapat menaikan status gengsi sosial, demam asereje, poco-poco, salsa, lambada, melanda tua dan muda. Bentuk-bentuk globalisasi semacam itu memperoleh penguatan luar biasa dari kuasa kapitalisme yang nyaris tak terbendung. Dunia telah terbelah menjadi dua polar utara dan selatan. Yang pertama kali mewakili dunia kemajuan yang berkembang sangat pesat, sementara yang terakhir masih ribut tentang identitas.
      Pendidikan multikultural sebagai pendidikan alternatif patut dikembangkan dan dijadikan sebagai model pendidikan di Indonesia dengan alasan:
1.      Realitas bahwa Indonesia adalah negara yang dihuni oleh berbagai suku, bangsa, etnis, agama, dengan bahasa yang beragam dan membawa budaya yang heterogen serta tradisi dan peradaban yang beraneka ragam.
2.      Pluralitas tersebut secara inheren sudah ada sejak bangsa indonesia ada.
3.      Masyarakat menentang pendidikan yang berorientasi bisnis, komersialisasi dan kapitalis yang mengutamakan golongan atau orang tertentu.
4.      Masyarakat tidak menghendaki kekerasan dan kesewenang-wenangan pelaksanaan hak setiap orang.
5.      Pendidikan multikultur sebagai resistensi fanatisme yang mengarah pada berbagai jenis kekerasn dan kesewenang-wenangan.
6.      Pendidikan multikultural memberikan harapan dalam mengatasi berbagai gejolak masyarakat yang terjadi akhir-akhir ini.
7.      Pendidikan multikultural sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan, sosial, kealaman, dan keTuhanan.[9]

D.    Peran Pendidikan Agama Islam Dalam Membangun Multikulturalisme Di Indonesia

Sebelum membahas tentang peran PAI dalam membangun multikulturalisme di Indonesia, alangkah lebih baiknya kita mengetahui pandangan Islam terhadap prinsip multikulturalisme. Islam sebagai agama diturunkan untuk mewujudkan kedamaian dan perdamaian. Dengan demikian, segala bentuk terorisme, brutalisme, perusakan dan tindak kekerasan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok muslim radikal yang mengatasnamakan Islam sebenarnya bertentangan dengan watak dasar dan misi damai Islam itu sendiri. Tidak ada doktrin dalam Islam juga agama-agama yang lain yang mengajarkan terorisme, brutalisme, perusakan, pembakaran atau pun tindak tanduk kekerasan lainnya.[10] Islam sebagai suatu perangkat ajaran dan nilai, meletakkan konsep dan doktrin yang memberikan rahmatbagi al-‘alamin. Islam sebagai ajaran yang memuat nilai-nilai normative, sarat dengan ajaran yang menghargai dimensi pluralis-multikultural begitu bagusnya dalam memandang dan menempatkan martabat dan harkat manusia, baik sebagai makhluk individu maupun sebagai anggota social. Dalam Al-Qur’an dijelaskan tentang kewajiban seorang Muslim untuk menjadi juru damai, yaitu senantiasa menjaga kedamaian dan kerukunan hidup dalam lingkungannya. Allah berfirman dalam surat An-Nisa : 114, yang artinya : “Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka , kecuali nenyuruh (manusia) memberi sedekah, berbuat makruf (baik), atau melakukan islah (perdamaian) di antara manusia”. Kewajiban ini tidak hanya ditujukan kepada saudara seagama saja, sebab Allah SWT, secara tegas menyatakan bahwa manusia berasal dari seorang laki-laki (Adam) dan seorang perempuan (Hawa), sehingga mereka semua bersaudara.
Lebih jauh, ajaran Islam juga mewajibkan umatnya mencegah segala bentuk penganiayaan yang hendak dilakukan oleh “saudaranya” kepada “saudaranya” yang lain. Sebagaimana termaktub dalam hadits Rasul,yang artinya: “Tolonglah saudaramu, baik ia berlaku aniaya maupun teraniaya. Seorang sahabat bertanya, waha Rasulullah, kami pasti akan menolongnya jika ia teraniaya, akan tetapi bagaimana kami menolongnya jika ia berlaku aniaya?, Nabi menjawab:Halangi dan cegahlah dia agar tidak berbuat aniaya. Yang demikian itulah pertolongan baginya”. (HR Bukhori).
Demikian agungnya ajaran Islam, sehingga sebenarnya jika seorang Muslim mau bersungguh dalam mempelajari dan mengamalkannya secara utuh (kaffah), maka keberadaan umat Islam akan benar-benar menjadi rahmat bagi lingkungannya (rahmatan lil ‘alamin).[11]
Di antara nilai-nilai Islam yang menghargai pluralis multicultural adalah :
a.       Konsep kesamaan (as-sawiyah) yang memandang manusia pada dasarnya sama derajatnya. Satu-satunya pembedaan kualitatif dalam pandangan Islam adalah ketakwaan. Pada waktu melakukan ibadah haji terakhir Nabi Muhammad SAW membuat pernyataan dengan etika global: “Wahai umat manusia, semua orang berasal dari Adam sedang Adam dari ekstrak tanah. Orang Arab tidak lebih mulia daripada non-Arab, orang kulit putih tidak lebih mulia daripada orang kulit hitam, kecuali karena kelebihan ketaqwaannya” (HR Abu hurairah).
Hal ini membuktikan bahwa Islam tidak membeda-bedakan perlakuan terhadap seseorang berdasarkan ras, agama, etnis, suku, ataupun kebangsaannya, hanya ketaqwaan seseoranglah yang membedakannya di hadapan Sang Pencipta.
b.      Konsep keadilan (al-‘adalah) yang membongkar budaya nepotisme dan sikap-sikap korup, baik dalam politik, ekonomi, hokum, hak dan kewajiban, bahkan dalam praktik-praktik keagamaan. Al-Qur’an memerintahkan kita berlaku adil terhadap siapapun (An-Nisa’:58), jangan sampai kebencian terhadap suatu pihak itu mendorong untuk tidak berlaku adil (Al-Maidah:8). Adil harus dilakukan terhadap diri sendiri, keluarga, kelompok, dan juga terhadap lawan.
c.       Konsep kebebasan atau kemerdekaan (al-hurriyah) yang memandang semua manusia pada hakikatnya hamba Tuhan saja, sama sekali bukan hamba sesame manusia. Berakar dari kensep ini, maka manusia dalam .pandangan Islam mempunyai kemerdekaan dalam memilih profesi, memilih wilayah hidup, bahkan dalam menentukan pilihan agamapun tidak dapat dipaksa seperti tercantum dalam Qur’an surat Al-Baqoroh:256.
d.      Konsep toleransi (tasamuh) yang merupakan sikap membiarkan dan menghormati keyakinan orang lain tanpa memerlukan persetujuan. Dengan demikian, toleransi dapat diartikan memberikan kemerdekaan kepada golongan kecil untuk menganut dan menyatakan pandangan-pandangan politik dan agamanya, memberikan hak-hak istimewa seperti yang diperoleh golongan besar.
Toleransi dalam pergaulan hidup antar umat beragama bukanlah toleransi dalam masalah-masalah keagamaan, melainkan perwujudan sikap keberagamaan pemeluk suatu agama dalam pergaulan hidup antara orang yang tidak seagama, dalam masalah-masalah kemasyarakatan atau kemaslahatan umum.
Suatu tanda bahwa ada sikap dan suasana toleransi diantara sesama manusia, atau katakanlah diantara pemeluk agama yang berbeda ialah ketika adanya sikap mengakui hak setiap orang, menghormati keyakinan orang lain, setuju dalam perbedaan, saling mengerti dan adanya kesadaran serta kejujuran.

Berdasarkan keterangan di atas dat dipahami bahwa Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin sudah mengembangkan prinsip-prinsip multikulturalisme jauh sebelum wacana multikulturalisme itu muncul. Islam adalah agama yang sempurna, di dalamnya ada aturan-aturan tentang urusan dunia dan akhirat. Diantaranya adalah terdapat dasar-dasar peraturan untuk hidup berdampingan secara damai dengan siapapun.
Dengan demikian, seseorang tidak boleh mencela, mencaci, mengumpat, menganggap rendah, berprasangka buruk, saling membenci, menghasut, berkata yang menyakitkan orang lain, tidak memandang apakah orang itu Muslim atau bukan Muslim. Semuanya itu adalah untuk menjaga agar persaudaraan dn suasana aman damai tetap berjalan. Maka semua anggota masyarakat hendaknya menghindari hal-hal yang menjurus kepada panasnya suatu masyarakat.
Keragaman adalah anugerah Ilahi yang harus dirangkai menjadi simfoni keindahan yang harmonis. Mustahil kita hidup dalam satu kesatuan yang seragam. Anak didik harus dibuka mata dan wawasannya untuk melihat sekian perbedaan yang ada di sekitarnya, dimana masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang heterogen dan plural. Paling tidak heterogenitas dan pluralitas masyarakat itu dapat dilihat dari eksistensi keragaman suku (etnis), ras, agama, dan budaya. Inilah realitas bangsa yang multicultural dan multi religious. Kekayaan ini harus dijaga menjadi keragaman dibawah semangat kebersamaan, bukan penyatuan.
Untuk mencapai hal tersebut dibutuhkan instrument pendidikan yang mampu mengarahkan kemajemukan ini. Pendidikan Islam adalah salah satu jawaban, karena ia merupakan ranah yang strategis untuk membangun bangsa ini menjadi bangsa yang bermartabat. Pendidikan merupakan wahana yang paling tepat untuk membangun kesadaran multikulturalisme serta sebagai salah satu media penting yang dapat membenuk bagaimana corak pandangan hidup seseorang atau masyarakat, apakah pandangan hidup mereka hanya untuk kepentingan hidup di dunia ini saja atau di akhirat saja atau untuk keduanya. Selain itu lembaga pendidikan dapat membentuk manusia yang cerdas, bermoral, memliki semangat hidup dan memiliki semangat mengembangkan ilmu dan teknologi guna membangun bangsanya.
Spectrum kultur masyarakat Indonesia yang amat beragam menjadi tantangan bagi dunia pendidikan guna mengolah perbedaan tersebut menjadi suatu asset, bukan sumber perpecahan. Saat ini, dunia pendidikan, dalam hal ini pendidikan Islam yang merupakan bagian dari pendidikan nasional mempunyai dua tanggung jawab besar, yaitu menyiapkan bangsa Indonesia untuk siap menghadapi arus budaya luar di era globalisasi dan menyatukan bangsa sendiri yang terdiri dari berbagai macam budaya.
Konsep pendidikan Islam  saat ini harus mampu mengembangkan nilai-nilai multikultularisme yang memang sudah terkandung dalam ajaran Islam. Ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan dalam mengimplementasikan pendidikan Islam, yaitu:
1.      Pendidikan Islam adalah pendidikan yang menghargai dan merangkul segala bentuk keragaman. Dengan demikian, diharapkan akan tumbuh kearifan dalam melihat segala bentuk keragaman yang ada.
2.      Pendidikan Islam merupakan sebuah usaha sistematis untuk membangun pengertian, pemahaman, dan kesadaran anak didik terhadap realitas yang pluralis – multicultural.
3.      Pendidikan Islam tidak memaksa atau menolak anak didik karena persoalan identitas SARA. Mereka yang berasal dari beragam perbedaan harus diposisikan secara setara.
4.      Pendidikan Islam memberikan kesempatan untuk tmbuh dan berkembangnya kepercayaan diri pada setiap anak didik.
Pendidikan Agama Islam berbasis multikulturalisme muncul sebagai
respon terhadap keberadaan pendidikan Islam yang seolah-olah “kurang terlibat” dalam menjawab berbagai masalah yang aktual. Pendidikan agama terkesan hanya digunakan sebagai legimitas terhadap kesalehan sosial sebagai way of life lebih-lebih sebagai transformasi transendental. Dalam hubungan ini, Pendidikan Islam hanya digunakan sebatas urusan hubungan manusia dengan Allah dan tidak terlibat dalam urusan hubungan manusia dengan alam, lingkungan sosial, dan berbagai problema kehidupan yang semakin kompleks.  Oleh karena itu, Pendidikan Islam harus mampu menjadi transmittor yang bersifat transendental. Pendidikan yang mampu untuk memperkokoh rasa cinta tanah air, setia kawan, dan bertanggung jawab atas kesejahteraan masyrakat untuk semua kultur sosial yang dijiwai pada nilai-nilai keislaman. Di samping itu pendidikan Islam harus memodifikasi dirinya agar mampu menjalankan perannya sebagai subsistem pendidikan nasional seiring dengan adanya keterbukaan sekat-sekat yang secara empirik menjadikan hubungan anatarkultur menjadi sangat dekat dengan berbagai konflik sosial.[12]
                        Wajah ganda agama ini dengan mudah dapat dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu atau bahkan mendamaikan pertikaian antar satuan masyarakat. Ironisnya pendidikan islam sering “ditunggangi” dan tidak jarang dijadikan sumber tenaga untuk menyulut konflik
Pendidikan agama memang masih banyak menuai banyak kritik. Beberapa factor penyebab kegagalan pendidikan agama adalah:
1.      Praktik pendidikannya lebih banyak memperhatikan aspek kognitif dari pertumbuhan kesadaran nilai-nilai (agama), dan kurang pembinaan aspek afektif dan konatif-volutif, yakni kemauan dan tekad untuk mengamalkan nilai-nilai ajaran agama.
2.      Pendekatan masih cenderung normative, dalam arti pendidikan agama menyajikan norma-norma yang seringkali tanpa ilustrasi konteks social budaya, sehingga peserta didik kurang menghayati nilai-nilai agama sebagai nilai hidup dalam keseharian.
3.      Para guru kurang berupaya menggali berbagai metode yang mungkin bisa dipakai untuk pendidikan agama sehingga pelaksanaan pembelajaran cenderung monoton.
4.      Keterbatasan sarana prasarana yang mengakibatkan pengelolaan cenderung seadanya.
5.      Pendidikan agama lebih menitik beratkan pada aspek yang lebih menekankan pada hafalan teks-teks keagamaan yang sudah ada.
6.      Dalam system evaluasi, bentuk soal-soal ujian agama Islam menunjukkan priorits utama pada kognitif dan jarang pertanyaan tersebut mempunyai bobot muatan nilai dan makna spiritual keagamaan yang fungsional dalam kehidupan sehari-hari.
7.      Kelemahan dalam pemahaman materi pendidikan maupun dalam pelaksanaannya, yaitu:
a.       Dalam bidang teologi, ada kecenderungan mengarah pada paham fatalistik.
b.      Bidang akhlak yang hanya berorientasi pada urusan sopan santun dan belum dipahami sebagaikeseluruhan pribadi manusia beragama.
c.       Bidang ibadah, diajarkan sebagai kegiatan rutin agama dan kurang ditekankan sebagai proses pembentukan kepribadian.
d.      Dalam bidang hukum (fiqh) cenderung dipelajari sebagai tata aturan yang tidak akan berubah sepanjang masa, dan kurang memahami dinamika dan jiwa hokum Islam.
e.       Agama Islam cenderung diajarkan sebagai dogma dan kurang mengembangkan rasionalitas serta kecintaan pada kemajuan ilmu pengetahuan.
f.       Orientasi mempelajari al qur’an masih cenderung pada kemampuan membaca teks, belum mengarah pada pemahaman arti dan penggalian makna.

Orientasi semacam ini menyebabkan terjadinya keterpisahan dan kesenjangan antara ajaran agama dan realitas perilaku pemeluknya. Oleh karena itu, diperlukan reorientasi dalam pembelajaran agama Islam. Harus ada perubahan paradigma pendidikan yang selam ini dikembangkan. Perubahan paradigma yang dimaksud adalah mengubah cara belajar dari model warisan menjadi cara belajar pemecahan masalah, dari hafalan ke dialog, dari pasif ke heuristic, dari strategi menguasai materi sebanyak-banyaknya menjadi menguasai metodologi, dari mekanis ke kreatif, dari memandang dan menerima ilmu sebagai hasil final yang mapan menjadi memandang dan menerima ilmu dalam dimensi proses, dan fungsi pendidikan bukan hanya mengasah dan mengembangkan akal, namun mengolah dan mengembangkan hati (moral) dan keterampilan.
Paradigma pendidikan yang ditawarkan oleh UNESCO perlu dicermati oleh para pelaku dan pemerhati pendidikan Islam. Paradigma yang ditawarkan tersebut adalah proses pendidikan bukan hanya mengarahkan dan membimbing peserta didik untuk learning to think (berpikir), learning to do (berbuat), learning to be (menjadi) saja, namun proses pendidikan juga hendaknya dapat membentuk peserta didik untuk learning to live together (hidup bersama) dengan orang lain. Tiga paradigma pertama cenderung mengoptimalkan paserta didik sebagai individu, baik yang menyangkut ranah kognitif, afektif, maupun psikomotorik. Sedangkan paradigma yang keempat adalah mengoptimalkan potensi sosial.
Pendidikan Islam dalam pelaksanaannya paling tidak metodologi pengajaran, silabi dan kurikulumnya harus memenuhi tiga hal ini, yaitu:
1.      Membongkar kurikulum yang eksklusif doktriner dengan kurikulum yang pluralis yang mampu membebaskan peserta didik keluar dari pandangan eksklusif.
2.      Porsi moralitas dan etika universal harus diberikan secara lebih proporsional dengan pengajaran ritualitas-formalis.
3.      Peserta didik perlu diberi wawasan yang cukup mengenai agama-agama lain, karena ketidakmengertian terhadap hal tersebut seringkali menimbulkan asumsi miring bahkan negatif terhadap agama lain.
Dari segi metode pengajaran, hendaknya hubungan guru dan murid bersifat dialogis-komunikatif. Guru tidak dipandang sebagai satu-satunya sumber belajar, murid bukan sebagai objek pengajaran. Namun guru dan murid sama-sama sebagai subjek belajar sehingga suasana di kelas akan dinamis dan hidup. Dalam hal ini pendidikan bisa dimaknai sebagai pemberdayaan manusia agar mandiri dan kreatif.
Reorientasi pelaksanaan pendidikan Islam diharapkan dapat menghasilkan output yang memiliki kesalehan individual juga kesalehan social sebagai modal utama dalam menghadapi kehidupan yang sangat kompleks dengan kondisi masyarakat yang multicultural dan multi religious. Terbentuknya anak didik yang memiliki cakrawala pandang yang luas, menghargai perbedaan, penuh toleransi, memiliki sikap simpatik, respek, apresiasi dan empati terhadap penganut agama dan budaya yang berbeda serta jauh dari sikap stereotip, egoistic, individualistic, dan eksklusif akan menciptakan suasana masyarakat yang bermoral, toleran, damai, dan harmonis.
E.     Implikasi Pendidikan Multikultural
Menurut Parekh, Implikasinya terhadap pengembangan Pendidikan Multikultural adalah pemasukan bahan ajar yang berisi ide dari berbagai kelompok budaya. Diperlukan adanya pendidikan yang leluasa untuk mengeksplorasi perspektif dan budaya orang lain. Dengan mengekplorasi itu akan diperoleh inspirasi sehingga membuat anak menjadi sensitif terhadap pluralitas cara hidup, cara yang berbeda dalam menganalisa pengalaman dan ide, dan cara melihat berbagai temuan sejarah yang ada di seluruh dunia. Pendidikan memang mengajarkan nilai-nilai budayanya sendiri namun selain itu juga perspektif dan budaya orang lain di wilayah lain di seluruh dunia. Hal ini dapat membuat siswa “melek budaya” (cultural literacy) yang mampu melihat berbagai sudut pandang budaya yang pernah hidup di berbagai belahan dunia. Dahulu orang Persia (sekarang Iran) menganggap bahwa status sosial orang yang meninggal dapat diukur dari jumlah orang yang menangisi kepergian orang yang meninggal. Bandingkan dengan kondisi sekarang, kita bisa juga mengukur penghormatan masyarakat terhadap seseorang yang meninggal dari jumlah orang yang datang melayat. Ada unsur persamaan, bahwa seseorang yang terpandang, dihormati dan disukai akan diukur dari kuantitas dan kualitas dari orang yang datang ikut berbela sungkawa. Kuantitas diukur dari jumlah orang yang mengantarkan jenasah, dan kualitas diukur dari tingkat kesedihan orang-orang yang ditinggalkan dan merasa ditinggalkan.
Menurut Babtiste, Perlu adanya pelembagaan filsafat pluralisme budaya dalam sistem pendidikan yang dilandasi prinsip persamaan, saling menghormati, penerimaan dan pemahaman, dan komitmen moral demi keadilan sosial . Pendidikan Multikultural selalu dilandasi prinsip persamaan dan keadilan sosial. Implikasinya, kurikulum perlu direformasi sehingga benar-benar mencerminkan penghormatan atas pluralitas budaya.
Menurut A. Effendi Sanusi dalam artikelnya yang berjudul Pendidikan Multikultural dan Implikasinya mengatakan bahwa Pendidikan multikultural sebagai wacana baru di Indonesia dapat diimplementasikan tidak hanya melalui pendidikan formal, tetapi juga dapat dimplementasikan melalui pendidikan nonformal. Dalam pendidikan formal, pendidikan multikultural tidak harus dirancang khusus sebagai muatan substansi tersendiri, tetapi dapat diintegrasikan dalam kurikulum yang sudah ada melalui bahan ajar atau model pembelajaran. Di perguruan tinggi misalnya, dari segi substansi, pendidikan multikultural dapat diintegrasikan misalnya melalui mata kuliah umum, seperti kewarganegaraan, agama, dan bahasa. Pada tingkat SD, SLTP, atau sekolah menengah, pendidikan multikultural dapat diintegrasikan dalam bahan ajar seperti agama, sosiologi, dan antropologi, dan dapat melalui model pembelajaran, seperti diskusi kelompok atau kegiatan ekstrakurikuler. Dalam pendidikan nonformal, pendidikan multikultural dapat disosialisasikan melalui pelatihan-pelatihan dengan model pembelajaran yang responsif multikultural dengan mengedepankan penghormatan terhadap perbedaan, baik ras, suku, maupun agama antaranggota masyarakat.
Ide pendidikan multikultural memberi spirit bagi lembaga pendidikan nasional untuk mau menanamkan sikap kepada peserta didik untuk menghargai orang, budaya, agama dan keyakinan lain, dengan harapan akan membantu siswa mengerti menerima dan menghargai orang lain yang berbeda suku, budaya, nilai dan kepribadian.
Menurut Bank, Tujuan pendidikan multikultural adalah pendidikan untuk kebebasan, dimaksud untuk membantu para siswa dalam mengembangkan pengetahuan, sikap dan keterampilan dalam berpartisipasi dalam masyarakat yang bebeas dan demokratis. Pendidikan multicultural mengembangkan kebebasan, kemampuan dan ketrampilan dalam menerobos batas- batas budaya, etnis dalam berpartisipasi dengan kebudayaan dan kelompok lain. Substansi Pendidikan multicultural adalah pendidikan untuk kebebasan (as “education for freedom”) dan penyebarluasan inklusif dalam rangka mempererat hubungan antar sesame (as “includive and cementing movemen”).
Pendidikan multikultural sekurang- kurangnya mempunyai lima tujuan. Pertama , meningkatkan pemahaman diri dan konsep diri secara baik. Kedua, meningkatkan kepekaan dalam memahami orang lain, termasuk terhadap berbagai kelompok budaya di Negara sendiri dan Negara lain. Ketiga, meningkatkan kemampuan untuk merasakan dan memahami kemajemukan, interpretasi kebangsaan dan budaya yang kadang - kadang bertentangan menyangkut sebuah peristiwa, nilai dan perilaku. Keempat, membuka pikiran ketika merespon isu. Kelima, memahami latar belakang munculya pandangan klis atau kuno, menjauhi pandangan stereotipe dan mau menghargai semua orang.
Dalam implementasinya paradigma pendidikan multikultural dituntut untuk berpegang pada prinsip- prinsip berikut ini :
  1. Pendidikan multikultural harus menawarkan beragam kurikulum yang merepresentasikan pandangan dan perspektif banyak orang.
  2. Pendidikan multikultural harus didasarkan pada asumsi bahwa tidak ada penafsiran tunggal terhadap kebenaran sejarah.
  3. Kurikulum dicapai ssuai dengan penekanan analisis komparatif dengan sudut pandang kebudayaan yang berbeda- beda.
  4. Pendidikan multikultural harus mendukung prinsip - prinsip pokok dalam memberantas pandangan klis tentang ras, budaya dan agama.
Agar pendidikan lebih multikultural, maka pendidikan dan pengajaran harus memperkokoh pluralisme dan menentang adanya rasisme, diskriminasi gender dan bentuk- bentuk lain dari intoleransi dan dominasi sosial. Pada konteks ini kita harus lakukan transformasi kurikulum, model pembelajaran, suasana sekolah , kegiatan ekstrakurikuler dan peran guru sebagai multikultural.
Menurut Gay’s, prinsip- prinsip penting dalam penerapan pendidikan multikultural adalah kurikulum berdasarkan sejarah dan berpusat pada keragaman, berorientasi pada perbaikan, pengajaran mengarah pada keragaman, kurikulum tergantung pada konteks, bersifat menyerap keragaman dan dapat diterapkan secara luas, bersifat komprehensif serta mencakup semua level pendidikan.

Selain itu isi, pendekatan, dan evaluasi kurikulum harus menghargai perbedaan dan tidak diskriminatif. Paradigma multikultural perlu mewarnai model pembelajaran yang diterapkan dalam kelas. Langkah- langkah untuk mengembangkan model pembelajaran multikultural sebagai berikut :
                                                                                                   
  1.  Guru mereduksi atau mengikis sikap negatif yang mungkin mereka miliki terhadap pluralisme.
  2.  Seorang pendidik atau anak didik melakukan analisis agar akrab dengan masyarakat.
  3. Seorang pendidik dan anak didik memilih materi yang relevan dan menarik.
  4. Seorang pendidik dan anak didik , bersama- sama menyelediki persoalan materi yang dipilih.

Pada akhirnya ide dari pendidikan multikultural bisa diterapkan atau tidak tergantung pada usaha kita bersama. Pendidikan multikultural sebaiknya dimasukkan dalam kurikulum sebagai mata pelajaran ekstrakurikuler atau menjadi bagian dari kurikulum sekolah khususnya daerah konflik atau daerah bekas konflik, dan semua daerah pada umumnya.
            Implikasi Pendidikan Multikultural di Sekolah
Strategi pendidikan multikultural selanjutnya perlu dijabarkan dalam implikasi di sekolah. Menurut pendapat beberapa ahli dan realita empirik, dapat disusun tujuh implikasi strategi pendidikan dengan pendekatan multikultural. Tujuh implikasi itu dapat dijelaskan sebagai berikut;
1.   Membangun paradigma keberagamaan inklusif di lingkungan sekolah.
Guru sebagai orang dewasa dan kebijakan sekolah harus menerima bahwa ada agama lain selain agama yang dianutnya. Ada pemeluk agama lain selain dirinya yang juga memeluk suatu agama. Dalam sekolah yang muridnya beragam agama, sekolah harus melayani kegiatan rohani semua siswanya secara baik. Hilangkan kesan mayoritas minoritas siswa menurut agamanya. Setiap kegiatan keagamaan atau kegiatan apapun di sekolah biasakan ada pembauran untuk bertoleransi dan membantu antarsiswa yang beragama berbeda.
Hal ini perlu diterapkan di sekolah yang berbasis agama tertentu atau menerima siswa yang beragama sejenis. Guru dan kebijakan sekolah tidak mengungkapkan secara eksplisit, radikal, dan provokatif dalam wujud apapun, karena di luar sekolah itu siswa akan bertemu, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain yang berbeda agama. Sebagai bahan renungan, seorang guru harus peka dan bijaksana menjelaskan sejarah Perang Salib, bom Bali, konflik antarpemeluk agama di Maluku, terorisme, dan sebagainya. Jangan sampai ada ketersinggungan sekecil apapun karena kecerobohan ungkapan guru. Sekecil apapun singgungan tentang agama akan membekas dalam benak siswa yang akan dibawanya sampai dewasa.
2.    Menghargai keragaman bahasa di sekolah
Dalam suatu sekolah bisa terdiri dari guru, tenaga kependidikan, dan siswa yang berasal dari berbagai wilayah dengan keragaman bahasa, dialek, dan logat bicara. Meski ada bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar formal di sekolah, namun logat atau gaya bicara selalu saja muncul dalam setiap ungkapan bahasa, baik lisan maupun tulisan.
Sekolah perlu memiliki peraturan yang mengakomodasi penghargaan terhadap perbedaan bahasa. Guru serta warga sekolah yang lain tidak boleh mengungkapkan rasa ”geli” atau ”aneh” ketika mendengarkan atau membaca ungkapan bahasa yang berbeda dari kebiasaannya. Semua harus bersikap apresiatif dan akomodatif terhadap perbedaan-perbedaan itu. Perbedaan yang ada seharusnya menyadarkan kita bahwa kita sangat kaya budaya, mempunyai teman-teman yang unik dan menyenangkan, serta dapat bertukar pengetahuan berbahasa agar kita semakin kaya  wawasan.

3.    Membangun sikap sensitif gender di sekolah
”Dasar perempuan, cerewet dan bisanya menangis!”. ”Mentang-mentang cowok, jangan sok kuasa ngatur-ngatur di kelas ya!”. ”Syarat pengurus ekstrakurikuler adalah ketua harus cowok, sekretarisnya cewek, seksi perlengkapan cowok, seksi konsumsi cewek, ….”. Contoh ungkapan-ungkapan itu harus dihapus dari benak dan kebiasaan guru, siswa, dan warga sekolah yang lain.
Pembagian tugas, penyebutan contoh-contoh nama tokoh, dan sebagainya harus proporsional antara laki-laki dan perempuan. Tak ada yang lebih dominan atau sebaliknya minoritas antara gender laki-laki dan perempuan. Dengan tetap mempertimbangkan nilai-nilai kodrati, penerapan gender dalam fungsi-fungsi pembelajaran di sekolah harus proporsional karena setiap siswa laki-laki dan perempuan memiliki potensi masing-masing. Perempuan jadi pemimpin, laki-laki mengurusi konsumsi, atau yang lain saat ini bukan sesuatu yang tabu. Biarlah siswa mengembangkan potensinya dengan baik tanpa bayang-bayang persaingan gender. Siapa yang berpotensi biarlah dia yang berprestasi. Berilah reward pada pada siapapun dengan gender apapun yang mampu berprestasi, sebaliknya beri punishment yang tegas mendidik terhadap sikap, ucapan, dan perilaku yang menyinggung perbedaan gender.
4.   Membangun pemahaman kritis dan empati terhadap ketidakadilan serta perbedaan sosial
Pelayanan pendidikan dan penegakan peraturan sekolah tidak boleh mempertimbangkan status sosial siswa. Baurkan siswa dari beragam status sosial dalam kelompok dan kelas untuk berinteraksi normal di sekolah. Meskipun begitu, guru dan siswa harus tetap memahami perbedaan sosial yang ada di antara teman-temannya. Pemahaman ini bukan untuk menciptakan perbedaan, sikap lebih tinggi dari yang lain, atau sikap rendah diri bagi yang kurang, namun untuk menanamkan sikap syukur atas apapun yang dimiliki. Selanjutnya dikembangkan kepedulian untuk tidak saling merendahkan namun saling mendukung menurut kemampuan masing-masing. Sikap empati dan saling membantu tidak hanya ditanamkan di lingkungan sekolah saja. Suatu waktu siswa bisa diajak berkegiatan sosial di luar sekolah seperti di panti asuhan, panti jompo, dan sebagainya. Atau bila ada musibah di antara warga sekolah atau daerah lain siswa diajak berdoa dan memberikan sumbangan. Sekecil apapun doa, ucapan simpati, jabat tangan, pelukan, atau bantuan material akan sangat bermakna bagi pembentukan karakter siswa juga siapapun yang menjadi obyek empati.
5.    Membangun sikap antideskriminasi etnis           
Sekolah bisa jadi menjadi Indonesia mini atau dunia mini, dimana berbagai etnis menuntut ilmu bersama di sekolah. Di sekolah bisa jadi suatu etnis mayoritas terhadap etnis lainnya. Tapi perlu dipahami, di sekolah lain etnis yang semula  mayoritas bisa jadi menjadi minoritas. Hindari sikap negatif terhadap etnis yang berbeda. Sebagai misal ungkapan seperti ini, ”Dasar Batak, ngeyel dan galak”, ”Heh si Aceh ya, slamat ya terhindar dari Tsunami”, ”Halo Papua Kritam (kriting dan hitam)”, ”Ssst, jangan dekat dengan orang Dayak, nanti dimakan lho”.
Tanamkan dan biasakan pergaulan yang positif. Pahamkan bahwa inilah Indonesia yang hebat, warganya beraneka ragam suku atau etnis, bahasa, tradisi namun bisa bersatu karena sama-sama berbahasa Indonesia dan bangga menjadi bangsa Indonesia. Bila bertemu saling bertegur sapa, ”Halo Tigor, senang bertemu denganmu, kapan ya saya bisa berkunjung ke Danau Toba yang indah”, ”Wah, pemain bola dari Papua hebat-hebat ya, ada Eduard Ivakdalam, Emanuel Wanggai, Elly Eboy, dan lainnya. Suatu saat kamu bisa seperti mereka”. Ciptakan kultur dan kehidupan sekolah yang Bhinneka Tunggal Ika dengan interaksi dan komunikasi yang positif.
6.    Menghargai perbedaan kemampuan
Sekolah tidak semua siswanya berkemampuan sama atau standar. Dalam psikologi sosial dikenal istilah disability, artinya terdapat sebuah kondisi fisik dan mental yang membuat seseorang kesulitan mengerjakan sesuatu yang mana orang kebanyakan dapat mengerjakannya dengan mudah. Dalam orientasi awal masuk dan pengamatan proses guru dan siswa dapat saling memahami kelebihan dan kelemahan masing-masing. Karena siswa sudah menjadi bagian warga sekolah, maka jangan sampai sikap, ucapan, dan perilaku yang meremehkan atau mentertawakan kelemahan yang sudah dipahami. Hal itu sangat berdampak negatif, baik bagi siswa yang unggul maupun siswa yang lemah. Yang unggul akan merasa  jumawa dengan keunggulannya sehingga bisa membuatnya lalai dan tidak berprestasi optimal. Bagi siswa yang lemah akan menjadi tidak termotivasi belajar dan merasa terkucilkan. Sebaiknya dibiasakan  pembauran siswa unggul dan lemah dalam kelompok atau kelas agar terjadi pembimbingan sebaya, yang unggul semakin kuat pemahamannya tentang suatu materi dan merasa bermanfaat dengan ilmunya, serta yang kurang memperoleh guru sebaya yang lebih komunikatif dan merasa diterima oleh teman-temannya.
7.    Menghargai perbedaan umur
Setiap individu siswa mengalami pertumbuhan fisik dan perkembangan kejiwaannya sesuai pertambahan umurnya. Guru harus memahami ini, terutama tentang karakteristik psikologis dan tingkat kemampuan sesuai umurnya. Sebagai misal kemampuan berbahasa, analisis masalah, berkarya siswa SMP kelas VII akan berbeda dengan kelas IX, apalagi dibandingkan dengan siswa SMA, mahasiswa atau gurunya. Selain itu jangan sampai ada deskriminasi, sikap, ucapan, dan perilaku negatif diantara warga sekolah dengan sebutan dominasi senior atas yunior, pelecehan berdasar perbedaan ukuran fisik, kata sebutan atau panggilan yang tidak disukai (misal ”si Unyil” untuk siswa bertubuh kecil, ”bayi ajaib” untuk siswa berusia lebih muda tapi pintar, ”tuyul” untuk adik kelas yang berkepala gundul, dan sebagainya). Seharusnya yang lebih tua memberi tauladan, memberi motivasi, memberi kepercayaan, demokratis, membimbing, mengasuh, dan melindungi yang lebih muda. Yang muda menghormati, sopan santun, menauladani kebaikan, dan membantu yang lebih tua.
Menyikapi kondisi sekolah sebagai ”dunia” multikultural, pengambil kebijakan dan warga sekolah harus mengubah paradigma dan sistem sekolah menjadi paradigma dan sistem sekolah yang multikultural. Secara serentak atau bertahap harus disusun kembali sistem, peraturan, kurikulum, perangkat-perangkat pembelajaran, dan lingkungan fisik atau sarana prasarana sekolah yang berbasis multikultural berdasarkan kesepakatan warga sekolah. Selanjutnya yang terpenting adalah secara kontinyu dilakukan orientasi kepada warga sekolah terutama warga baru, sosialisasi, tauladan guru dan kakak kelas, pembiasaan kultur sikap dan perilaku multikultural, serta pemberian reward dan punishment tentang pelaksanaan kultur sekolah dengan konsisten.
Rohidi (2002) dan Tilaar (2002) menegaskan bahwa pendidikan dengan pendekatan multikultural  sangat tepat diterapkan di Indonesia untuk pembentukan karakter generasi bangsa yang kokoh berdasar pengakuan keragaman. Kemudian dalam penerapannya harus luwes, bertahap, dan tidak indoktriner. Implementasinya menyesuaikan dengan situasi dan kondisi sekolah. Pendekatan multikulturalisme erat dengan nilai-nilai dan pembiasaan sehingga perlu wawasan dan pemahaman yang mendalam untuk diterapkan dalam pembelajaran, tauladan, maupun perilaku harian. Proses itu diharapkan mampu mengembangkan kepekaan rasa, apresiasi positif, dan daya kreatif. Kompetensi guru menjadi sangat penting sebagai motor pendidikan dengan pendekatan multikulural.


[1] Choirul Mahfud, pendidikan multikultural, (Yogyakarta:Pustaka pelajar, 2006)hal.75
[2] Maslikhah, quo vadis Pendidikan Multikultur, (Salatiga:Kerja sama STAIN SALATIGA PRESS dengan JP BOOKS,2007)hal.47
[3] Nanih Mahendrawati dan Ahmad syafe’i, Pengembangan masyarakat Islam: dari Ideologi ,strategi sampai tradisi.( Bandung: Remaja Rosda karya, 2001)hal.34
[4] Umi Khumaidah, Pendidikan multikulural,menuju pendidikan islami yang humanis yang ditulis dalam buku pendidikan islam dan tantangan globalisasi(Yogyakarta: Presma fakultas Tarbiyah UIN SUNAN KALIJAGA periode 2003-2004 dan AR-RUZZ MEDIA, 2004)hal.264
[5] Choirul Mahfud, Op.Cit, hal.175-176
[6] Ibid, hal.177
[7] Maslikhah, Op.Cit, hal.79
[8] Umi Khumaidah, Op. Cit, hal. 266
[9] Maslikhah, Op.cit,hal 159
[10] Yulia Riswanti, Urgensi Pendidikan Islam dalam Membangun Multikulturalisme ditulis dalam Jurnal Kependidikan Islam, (Yogyakarta:Jurusan Kependidikan Islam Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga,2008)hal. 31
[11] Muhammad Yusri FM, Prinsip Pendidikan Multikulturalisme dalam ajaran agama-agama di Indonesia ditulis dalam Jurnal Kependidikan Islam, (Yogyakarta:Jurusan Kependidikan Islam Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga,2008) hal. 8
[12] Maslikhah, Op.cit, hal 162