BAB
I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Indonesia adalah bangsa
yang majemuk,bahkan indonesia adalah salah satu negara multikultural terbesar
di dunia. Menurut Atho’ Mudzhar multikulturalitas bangsa Indonesia ini dpat
dibedakan menjadi dua, yaitu perbedaan vertikal dan perbedaan horizontal.
Perbedaan vertikal ditandai dengan realitas adanya pelapisan sosial atas-bawah dalam
struktur kemasyarakan sebagai akibat perbedaan masing-masing individu di bidang
politik, ekonomi, sosial dan pendidikan. Sedangkan perbedaan horizontal adalah
perbedaan masyarakat berdasarkan kesatuan sosial budaya suku, ras, bahasa,
adat-istiadat dan agama.
Multikulturalitas bangsa Indonesia ini bisa diibaratkan pisau
bermata ganda. Di satu sisi ia menjadi potensi yang berharga dalm membangun
peradaban bangsa,disisi lain apabila tidak dapat dikelola dengan baik,
multikulturalitas tersebut akan memunculkan konflik yang mampu menghancurkan
sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara bahkan disintegrasi bangsa.
Perbedaan-perbedaan tersebut akan menjadi beban atau kekayaan tergantung
bagaimana cara mengolahnya. Dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika yang telah
dicetuskan oleh para founding fathers bangsa
ini, diharapkan masyarakat Indonesia dapat hidup bersama berdampingan dalam
suasana aman, damai, dan sejahtera.
Dalam
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Apa hakikat multikulturalisme dan pendidikan
multikulturalisme?
2.
Bagaimana pendidikan multikultural di Indonesia?
3.
Apa urgensi pendidikan multikulturaisme
di Indonesia?
4.
Bagaimana peran pendidikan agama islam
dalam membangun multikulturalisme di
Indonesia?
5.
Bagaimana implikasi pendidikan
multikulturalisme?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Hakikat
Multikulturalisme Dan Pendidikan Multikultural
1. Pengertian
multikulturalisme
Akar kata multikulturalisme adalah kebudayaan.
Secara etimologi, multikulturalisme
dibentuk dari kata multi (banyak), kultur (budaya), dan isme (aliran/paham).
Secara hakiki, dalam kata itu terkandung pengakuan akan martabat manusia yang hidup dalam komunitasnya dengan
kebudayaannya masing-masing yang unik.
Dengan demikian setiap individu merasa dihargai sekaligus merasa bertanggung
jawab untuk hidup bersama komunitasnya. Pengingkaran suatu masyarakat terhadap kebutuhan
untuk diakui (politic of recognition) yang merupakan akar dari segala
ketimpangan dalam berbagai bidang
kehidupan. Multikultural
juga mengandung arti keragamaman kebudayaan, aneka kesopanan, atau banyak
pemeliharaan.
Multikukturalisme sebenarnya merupakan konsep dimana
sebuah komunitas dalam konteks kebangsaan dapat mengakui keberagamaan,
perbedaan dan kemajemukan budaya,baik
ras, suku, etnis dan agama. Sebuah konsep yang memebrikan pemahaman kita bahwa
sebuah bangsa yang plural atau majemuk adalah bangsa yang dipenuhi dengan
budaya-budaya yang beragam atau multikultur. Bangsa yang multikultur adalah
bangsa yang kelompok-kelompok etnik atau budaya yang ada dapat hidup berdampingan
secara damai dalam prinsip co-existence yang ditandai oleh kesediaan untuk
menghormati budaya lain.
Paradigama multikulturalisme memberi pelajaran
kepada kitra untuk memiliki apresiasi dan respek terhadap budaya dan
agama-agama orang lain. Atas dasar ini
maka penerapan multikultural isme menuntut kesadaran dari masing-masing budaya lokal untuk saling mengakui dan
menghormati keanekaragaman identitas budaya yang dibalut semangat kerukunan dan
perdamaian. Diharapkan dengan kesadaran dan kepekaan terhadap kenyataan
kemajemukan, pluralitas bangsa, baik dalam etnis, agama, budaya hingga
orientasi politik, akan bisa mereduksi berbagai potensi yang dapat memicu
konflik sosial di belakang hari.
2. Pendidikan
Mukltikulturalisme
Pendidikan multikulturalisme merupakan sebuah
istilah yang sudah lama muncul dalam dunia pendidikan. Masyarakat yang harus
mengapresiasi pendidikan multikulturalisme adalah masyarakat yang secara objektif
memiliki anggota plural. Paling tidak
keranekaragaman masyarakat itu bisa dilihat dari eksistensi keragaman suku, ras, agama, dan budaya.
Penafsiran
tentang pendidikan multikultural banyak perbedaan antara satu pakar
dengan pakar lainnya. Menurut pendapat Andersen
dan Cusher, bahwa pendidikan multikultural dapat diartikan sebagai
pendidikan mengenai keragaman kebudayaan. Kemudian menurut james Banks mendefinisikan pendidikan multikultural
sebagai pendidikan untuk people of color. Artinya, pendidikan multikultural
ingin mengeksplorasi perbedaaan sebagai
keniscayaan (anugerah tuhan/sunatullah).
Sejalan dengan pemikiran di atas , Muhaemin el
Ma’hady berpendapat , bahwa secara sederhana pendidikan multikultural dapat
didefinisikan sebagai pendidikan
keragaman kebudayaan dalam meresponi perubahan demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu
atau bahkan dunia secara keseluruhan.
Dalam bukunya Multicultural
Education : Teacher Guide to Linking
Context, process, and Content, Hilda Hernandez mengartikan pendidikan
multikultural sebagai perspektif yang mengakui realitas politik, sosial, dan
ekonomi yang dialami oleh masing-masing individu dalam pertemuan manusia yang
kompleks dan beragam secara kultur, dan merefleksikan pentingnya budaya, ras,
seksualitas dan gender, etnisitas, agama, status sosial, ekonomi, dan
pengecualian-pengecualian dalam proses pendidikan. Atau, dengan kata lain bahwa
ruang pendidikan sebagai media transformasi ilmu pengetahuan (transfer of
knowledge) hendaknya mampu memberikan nilai-nilai multikulturalisme dengan cara
saling menghargai dan menghormati atas realitas yang beragam (plural), baik
latar belakangnya maupun basis sosial
budaya yang melingkupinya.
James Bank (1994) menjelaskan, bahwa pendidikan multikultural
memiliki beberapa dimensi yang saling berkaitan antara yang satu dengan yang
lainnya, yaitu : Pertama, Content Integration, yaitu mengintegrasikan berbagai
budaya dan kelompok untuk mengilustrasikan konsep mendasar, generalisasi dan
teori dalam mata pelajaran/disiplin ilmu. Kedua, the knowledge construction
process, yaitu membawa siswa untuk memahami implikasi budaya ke dalam sebuah
mata pelajaran. Ketiga, an equity paedagogy, yaitu menyesuaikan metode
pengajaran dengan cara belajar siswa dalam rangka memfasilitasi prestasi
akademik siswa yang beragam baik dari segi ras, budaya (culture) ataupun sosial
(social). Keempat, prejudice reduction, yaitu mengidentifikasi karakteristik
ras siswa dan menentukan metode pengajaran mereka. Selain keempat dimensi pendidikan multicultural yang
telah disebutkan di atas dalam bukunya HAR Tilaar menambahkan dimensi pemberdayaan
budaya sekolah sebagai salah satu dimensi pendidikan multicultural. Sekolah
sebagai lembaga pendidikan formal dipandang sebagai pintu gerbang untuk
melaksanakan tugas pengembangan budaya bagi peserta didik. Sebagai pintu
gerbang, maka sekolah harus memiliki kekuatan strategis untuk menciptakan
budaya positif sesuai dengan falsafah masyarakat. Sekolah harus merupakan suatu
motor penggerak dalam perubahan struktur masyarakat yang timpang.
Dari berbagai definisi yang telah disampaikan oleh para pakar tersebut
dapat diambil dasar-dasar pelaksanaan pendidikan multikulturalisme, yaitu :
1)
Pendidikan multikulturalisme merupakan
sebuah proses pengembangan (developing). Yaitu sebagai suatu proses yang tidak
diibatasi oleh ruang, waktu, subjek, objek, dan relasinya. Proses ini biasa
dilakukan di mana saja, kapan saja, untuk siapa saja dan berkaitan dengan siapa
saja.
2)
Pendidikan multikulturalisme mengembangkan
seluruh potensi manusia, yaitu potensi yang ssebelumnya sudah ada dan diimiliki
oleh manusia. Yaitu potensi intelektual, sosial, religius, moral, ekonomi,
teknis, kesopanan, dan tentunya etnis budaya.
3)
Pendidikan multikulturalisme adalah
pendidikan yang menghargai pluralitas. Pendidikan yang menjunjung tinggi
keragaman budaya, etnis, dan aliran agama, yaitu sikap yang sangat urgen untuk
disosialisasikan.
Ada enam tujuan pendidikan multikultural, yaitu: Pertama, mengembangkan perspektif
sejarah yang beragam dari kelompok-kelompok masyarakat. Kedua, memperkuat
kesadaran budaya yang hidup di masyarakat. Ketiga, memperkuat kompetensi
intelektual dari budaya-budaya yang hidup di masyarakat. Keempat, membasmi
berbagai prasangka. Kelima, mengembangkan kesadaran atas kepemilikan planet
bumi. Keenam, mengembangkan keterampilan aksi sosial
Dari penjelasan di atas, diperlukan penjabaran dari
konsep ini dalam berbagai jenis reformasi kegiatan pembelajaran, yaitu:
pertama, reformasi kurikulum, yaitu diperlukan kurikulum baru yang sesuai
dengan analisis historis dan harus sesuai dengan pluralisme budaya. Kedua,
mengajarkan prinsip-prinsip keadilan sosial. Ketiga, mengembangkan kompetensi
multikultural, yaitu pengembangan identitasetnis-sub-etnis melalui kegiatan kebudayaan.
Keempat, melaksanaan pedagogik
kesetaraan, yaitu
dilaksanakan dengan pengajaran yang tidak menyinggung tradisi kelompok
tertentu.
B.
Pendidikan Multikultural di Indonesia
Indonesia adalah Negara yang berpenduduk majemuk,
betapa tidak, Negara ini dihuni oleh suku bangsa yang plural dengan aneka ragam
agama/kepercayaan, suku (yang tersebar dilebih dari 17.000 pulau) bahasa daerah
yang mencapai lebih dari 500 bahasa dan budaya. Setiap individu yang hidup di
Negara ini past berhadapan dengan kebhinekaan, kemajemukan menyusup dan merasuk
dalam setiap dan seluruh ruang kehidupan., tak terkecuali dalam hal kepercayaan
dan budaya.
Tetapi paradigma ini tidak efektif, karena pemahaman
terhadap budaya lain juga masih cenderung disalah artikan sebagai upaya untuk
mengerti sifat-sifat negatif orang lain tanpa mengimbangi dengan pemahaman
terhadap nilai-nilai positifnya. Akibatnya berbagai macam perasaan
etnosentrisme, stereotype, pelabelan negatif, dan prejudice cultural tetap
menguat di tengah-tengah masyarakat. Karena itu, banyak ahli yang berkesimpulan
bahwa konflik sosial antar kelompok yang masih timbul di masyarakat berkaitan
dengan paradigma pembangunan dan pendidikan yang dianut selama ini. Artinya,
paradigm itu masih belum tepat untuk masyarakat Indonesia yang sangat majemuk.
Belakangan ini (terutama setelah reformasi) di
Indonesia mulai menguat gagasan untuk mengadopsi multikulturalisme. Banyak ahli
yang memandang faham ini sangat layak dijadikan paradigma dalam proses
pembangunan di Indonesia. Bertolak dari semangat untuk menerapkan paradigma
multicultural ke dalam sistem pembangunan, sekarang ini tampak mengedepankan
gagasan untuk menerapakan pola-pola pendidikan multicultural di sekolah-sekolah
formal, mulai dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Pendidikan
kepramukaan, kewiraan, dan kewarnegaraan (PKn) sesungguhnya dilakiukan sebagai
bagian dari proses usaha membangun cara hidup multicultural untuk memperkuat
wawasan kebangsaan.
Pada sisi yang lain, kita pun merasakan bahwa
pendidikan agama yang diberikan di sekolah-sekolah kita pada umumnya tidak
menghidupkan pendidikan multicultural yang baik, bahkan cenderung berlawanan.
Akibatnya, konflik social sering kali diperkeras oleh adanya legitimasi
keagamaan yang diajarkan dalam pendidikan agama di sekolah-sekolah daerah yang
rawan konflik. Ini membuat konflik mempunyai akar dalam keyakinan keagamaan
yang fundamental sehingga konflik social kekerasan semakin sulit diatasi, karena
dipahami sebagai bagian dari panggilan agamanya.
Kenyataan menunjukkan bahwa pendidikan agama masih
diajarkan dengan cara menafikan hak hidup agama yang lainnya, seakan-akan hanya
agamanya sendirilah yang benar dan mempunyai hak hidup, sementara agama yang
lain yang salah, tersesat dan terancam hak hidupnya, baik di kalangan mayoritas
maupun yang minoritas. Semangat pendidikan keagamaan yang sempit ini, sudah
barang tentu berlawanan secara fundamental dengan semangat pendidikan
multicultural, dan akan memperlemah persatuan bangsa.
C.
Urgensi Pendidikan Multikultural
Sebagaimana hakikat manusia dan sifat dasar
manusia yang harus dihormati dan dihargai, ada dimensi-dimensi utama manusia
dan kebutuhannya. Memerhatikan hakikat manusia dalam konteks pendidikan
multikultural menjadi sangat signifikan karena beberapa hal:
1) Pendidikan
multikultural memandang bahwa manusia memiliki beberapa dimensi yang harus
diakomodir dan dikembangkan secara keseluruhan. Orientasi pendidikan
multikultural adalah untuk”memanusiakan manusia”. Di sini dapat dijelaskan
lebih jauh bahwa kemanusiaan manusia pada dasarnnya adalah pengakuan akan
pluralitas.
2) Pendidikan
multikultural tidak mentolerir adanya ketimpangan kurikulum. Pendidikan
multikultural mengakui dan menghargai adanya perbedaan filosofi keilmuan.
Karena sesuai dengan dimensi manusia yang sangat beragam tersebut, seseorang
akan mengembangkan dirinya sesuai dengan bakat dan minatnya. Oleh karena itu sangatlah tidak
relevan ketika pendidikan multikultural hanya mengembangkan kualitas kognisi
intelektual belaka.
3) Pendidikan
multikultural hanya berupaya menjadi jembatan emas bagi keterpisahan lembaga
pendidikan dari kemanusiaan masyarakat. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa
pendidikan multikultural senantiasa mengakomodir semua keinginan dan kebutuhan
semua masyarakat. Artinya, pendidikan multikultural tidak boleh membedakan
kebutuhan yang bersifat intelektual,
spiritual, material, emosional,
etika, estetika, sosial, ekonomikal, dan transendental dari seluruh
lapisan msayarakat dengan berbagai ragam stratanya. Dengan demikian lembaga
pendidikan tidak akan terlepas dari wilayah lokalnya.
4) Pendidikan
multikultural menghendaki biaya pendidikan menjadi sangat ringan dan dapat
digapai oleh seluruh lapisa aitun masyarakat.
Pendidikan
multikultural perlu diadopsi dan diakomodir untuk kebutuhan Indonesia
kontemporer. Yaitu dikarenakan
menyangkut keragaman bangsa yang sudah tidak asing bagi kita. Inilah kekayaan
yang luar biasa, potensi kemajemukan yang menjadi landscape dan panorama musantara yang tak akan pernah habis untuk
digali.
Alasan lain adalah perkembangan global yang membawa
perubahan-perubahan dalam kosntelasi sosio-politik, ekonomi dan kultural.
Dominasi negara-negara maju yang menjadi pusat penyebaran isme dunia tunggal
memaksakan keseragaman pola dan gaya hidup mondial, baik melalui dunia hiburan,
makanan dan minuman, serta mode-mode pakaian. Orang Gunung Kidul yang terbiasa
makan tiwul dikondisikan untuk dapat menikmati pizza hut atau spagheti yang
asing dari cita rasa keseharian mereka, minum coca cola dapat menaikan status
gengsi sosial, demam asereje, poco-poco, salsa, lambada, melanda tua dan muda.
Bentuk-bentuk globalisasi semacam itu memperoleh penguatan luar biasa dari
kuasa kapitalisme yang nyaris tak terbendung. Dunia telah terbelah menjadi dua
polar utara dan selatan. Yang pertama kali mewakili dunia kemajuan yang
berkembang sangat pesat, sementara yang terakhir masih ribut tentang identitas.
Pendidikan multikultural sebagai pendidikan alternatif patut
dikembangkan dan dijadikan sebagai model pendidikan di Indonesia dengan alasan:
1. Realitas
bahwa Indonesia adalah negara yang dihuni oleh berbagai suku, bangsa, etnis,
agama, dengan bahasa yang beragam dan membawa budaya yang heterogen serta
tradisi dan peradaban yang beraneka ragam.
2. Pluralitas
tersebut secara inheren sudah ada sejak bangsa indonesia ada.
3. Masyarakat
menentang pendidikan yang berorientasi bisnis, komersialisasi dan kapitalis
yang mengutamakan golongan atau orang tertentu.
4. Masyarakat
tidak menghendaki kekerasan dan kesewenang-wenangan pelaksanaan hak setiap
orang.
5. Pendidikan
multikultur sebagai resistensi fanatisme yang mengarah pada berbagai jenis
kekerasn dan kesewenang-wenangan.
6. Pendidikan
multikultural memberikan harapan dalam mengatasi berbagai gejolak masyarakat
yang terjadi akhir-akhir ini.
7. Pendidikan
multikultural sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan, sosial, kealaman, dan
keTuhanan.
D.
Peran Pendidikan Agama Islam Dalam
Membangun Multikulturalisme
Di Indonesia
Sebelum membahas tentang peran PAI dalam membangun
multikulturalisme di Indonesia, alangkah lebih baiknya kita mengetahui
pandangan Islam terhadap prinsip multikulturalisme. Islam sebagai agama
diturunkan untuk mewujudkan kedamaian dan perdamaian. Dengan demikian, segala
bentuk terorisme, brutalisme, perusakan dan tindak kekerasan yang dilakukan
oleh kelompok-kelompok muslim radikal yang mengatasnamakan Islam sebenarnya
bertentangan dengan watak dasar dan misi damai Islam itu sendiri. Tidak ada
doktrin dalam Islam juga agama-agama yang lain yang mengajarkan terorisme,
brutalisme, perusakan, pembakaran atau pun tindak tanduk kekerasan lainnya.
Islam sebagai suatu perangkat ajaran dan nilai, meletakkan konsep dan doktrin
yang memberikan rahmatbagi al-‘alamin. Islam sebagai ajaran yang memuat
nilai-nilai normative, sarat dengan ajaran yang menghargai dimensi
pluralis-multikultural begitu bagusnya dalam memandang dan menempatkan martabat
dan harkat manusia, baik sebagai makhluk individu maupun sebagai anggota
social. Dalam Al-Qur’an dijelaskan tentang kewajiban seorang Muslim untuk
menjadi juru damai, yaitu senantiasa menjaga kedamaian dan kerukunan hidup
dalam lingkungannya. Allah berfirman dalam surat An-Nisa : 114, yang artinya :
“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka , kecuali nenyuruh
(manusia) memberi sedekah, berbuat makruf (baik), atau melakukan islah
(perdamaian) di antara manusia”. Kewajiban ini tidak hanya ditujukan kepada
saudara seagama saja, sebab Allah SWT, secara tegas menyatakan bahwa manusia
berasal dari seorang laki-laki (Adam) dan seorang perempuan (Hawa), sehingga
mereka semua bersaudara.
Lebih jauh, ajaran Islam juga mewajibkan umatnya
mencegah segala bentuk penganiayaan yang hendak dilakukan oleh “saudaranya”
kepada “saudaranya” yang lain. Sebagaimana termaktub dalam hadits Rasul,yang
artinya: “Tolonglah saudaramu, baik ia berlaku aniaya maupun teraniaya. Seorang
sahabat bertanya, waha Rasulullah, kami pasti akan menolongnya jika ia
teraniaya, akan tetapi bagaimana kami menolongnya jika ia berlaku aniaya?, Nabi
menjawab:Halangi dan cegahlah dia agar tidak berbuat aniaya. Yang demikian
itulah pertolongan baginya”. (HR Bukhori).
Demikian agungnya ajaran Islam, sehingga sebenarnya
jika seorang Muslim mau bersungguh dalam mempelajari dan mengamalkannya secara
utuh (kaffah), maka keberadaan umat Islam akan benar-benar menjadi rahmat bagi
lingkungannya (rahmatan lil ‘alamin).
Di antara nilai-nilai Islam yang menghargai pluralis
multicultural adalah :
a.
Konsep
kesamaan (as-sawiyah) yang memandang manusia pada dasarnya sama derajatnya.
Satu-satunya pembedaan kualitatif dalam pandangan Islam adalah ketakwaan. Pada
waktu melakukan ibadah haji terakhir Nabi Muhammad SAW membuat pernyataan
dengan etika global: “Wahai umat manusia, semua orang berasal dari Adam sedang
Adam dari ekstrak tanah. Orang Arab tidak lebih mulia daripada non-Arab, orang
kulit putih tidak lebih mulia daripada orang kulit hitam, kecuali karena
kelebihan ketaqwaannya” (HR Abu hurairah).
Hal ini
membuktikan bahwa Islam tidak membeda-bedakan perlakuan terhadap seseorang
berdasarkan ras, agama, etnis, suku, ataupun kebangsaannya, hanya ketaqwaan
seseoranglah yang membedakannya di hadapan Sang Pencipta.
b.
Konsep
keadilan (al-‘adalah) yang membongkar budaya nepotisme dan sikap-sikap korup,
baik dalam politik, ekonomi, hokum, hak dan kewajiban, bahkan dalam
praktik-praktik keagamaan. Al-Qur’an memerintahkan kita berlaku adil terhadap
siapapun (An-Nisa’:58), jangan sampai kebencian terhadap suatu pihak itu
mendorong untuk tidak berlaku adil (Al-Maidah:8). Adil harus dilakukan terhadap
diri sendiri, keluarga, kelompok, dan juga terhadap lawan.
c.
Konsep
kebebasan atau kemerdekaan (al-hurriyah) yang memandang semua manusia pada
hakikatnya hamba Tuhan saja, sama sekali bukan hamba sesame manusia. Berakar
dari kensep ini, maka manusia dalam .pandangan Islam mempunyai kemerdekaan
dalam memilih profesi, memilih wilayah hidup, bahkan dalam menentukan pilihan
agamapun tidak dapat dipaksa seperti tercantum dalam Qur’an surat
Al-Baqoroh:256.
d.
Konsep
toleransi (tasamuh) yang merupakan sikap membiarkan dan menghormati keyakinan
orang lain tanpa memerlukan persetujuan. Dengan demikian, toleransi dapat
diartikan memberikan kemerdekaan kepada golongan kecil untuk menganut dan
menyatakan pandangan-pandangan politik dan agamanya, memberikan hak-hak
istimewa seperti yang diperoleh golongan besar.
Toleransi dalam
pergaulan hidup antar umat beragama bukanlah toleransi dalam masalah-masalah
keagamaan, melainkan perwujudan sikap keberagamaan pemeluk suatu agama dalam
pergaulan hidup antara orang yang tidak seagama, dalam masalah-masalah
kemasyarakatan atau kemaslahatan umum.
Suatu tanda
bahwa ada sikap dan suasana toleransi diantara sesama manusia, atau katakanlah
diantara pemeluk agama yang berbeda ialah ketika adanya sikap mengakui hak
setiap orang, menghormati keyakinan orang lain, setuju dalam perbedaan, saling
mengerti dan adanya kesadaran serta kejujuran.
Berdasarkan keterangan di atas dat dipahami bahwa
Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin sudah mengembangkan prinsip-prinsip
multikulturalisme jauh sebelum wacana multikulturalisme itu muncul. Islam
adalah agama yang sempurna, di dalamnya ada aturan-aturan tentang urusan dunia
dan akhirat. Diantaranya adalah terdapat dasar-dasar peraturan untuk hidup
berdampingan secara damai dengan siapapun.
Dengan demikian, seseorang tidak boleh mencela,
mencaci, mengumpat, menganggap rendah, berprasangka buruk, saling membenci,
menghasut, berkata yang menyakitkan orang lain, tidak memandang apakah orang
itu Muslim atau bukan Muslim. Semuanya itu adalah untuk menjaga agar
persaudaraan dn suasana aman damai tetap berjalan. Maka semua anggota
masyarakat hendaknya menghindari hal-hal yang menjurus kepada panasnya suatu
masyarakat.
Keragaman adalah anugerah Ilahi yang harus dirangkai
menjadi simfoni keindahan yang harmonis. Mustahil kita hidup dalam satu
kesatuan yang seragam. Anak didik harus dibuka mata dan wawasannya untuk
melihat sekian perbedaan yang ada di sekitarnya, dimana masyarakat Indonesia
merupakan masyarakat yang heterogen dan plural. Paling tidak heterogenitas dan
pluralitas masyarakat itu dapat dilihat dari eksistensi keragaman suku (etnis),
ras, agama, dan budaya. Inilah realitas bangsa yang multicultural dan multi religious.
Kekayaan ini harus dijaga menjadi keragaman dibawah semangat kebersamaan, bukan
penyatuan.
Untuk mencapai hal tersebut dibutuhkan instrument
pendidikan yang mampu mengarahkan kemajemukan ini. Pendidikan Islam adalah
salah satu jawaban, karena ia merupakan ranah yang strategis untuk membangun
bangsa ini menjadi bangsa yang bermartabat. Pendidikan merupakan wahana yang
paling tepat untuk membangun kesadaran multikulturalisme serta sebagai salah
satu media penting yang dapat membenuk bagaimana corak pandangan hidup
seseorang atau masyarakat, apakah pandangan hidup mereka hanya untuk
kepentingan hidup di dunia ini saja atau di akhirat saja atau untuk keduanya.
Selain itu lembaga pendidikan dapat membentuk manusia yang cerdas, bermoral,
memliki semangat hidup dan memiliki semangat mengembangkan ilmu dan teknologi
guna membangun bangsanya.
Spectrum kultur masyarakat Indonesia yang amat beragam
menjadi tantangan bagi dunia pendidikan guna mengolah perbedaan tersebut
menjadi suatu asset, bukan sumber perpecahan. Saat ini, dunia pendidikan, dalam
hal ini pendidikan Islam yang merupakan bagian dari pendidikan nasional
mempunyai dua tanggung jawab besar, yaitu menyiapkan bangsa Indonesia untuk
siap menghadapi arus budaya luar di era globalisasi dan menyatukan bangsa
sendiri yang terdiri dari berbagai macam budaya.
Konsep pendidikan Islam saat ini harus mampu mengembangkan
nilai-nilai multikultularisme yang memang sudah terkandung dalam ajaran Islam.
Ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan dalam mengimplementasikan pendidikan
Islam, yaitu:
1.
Pendidikan
Islam adalah pendidikan yang menghargai dan merangkul segala bentuk keragaman.
Dengan demikian, diharapkan akan tumbuh kearifan dalam melihat segala bentuk
keragaman yang ada.
2.
Pendidikan
Islam merupakan sebuah usaha sistematis untuk membangun pengertian, pemahaman,
dan kesadaran anak didik terhadap realitas yang pluralis – multicultural.
3.
Pendidikan
Islam tidak memaksa atau menolak anak didik karena persoalan identitas SARA.
Mereka yang berasal dari beragam perbedaan harus diposisikan secara setara.
4.
Pendidikan
Islam memberikan kesempatan untuk tmbuh dan berkembangnya kepercayaan diri pada
setiap anak didik.
Pendidikan Agama Islam berbasis
multikulturalisme muncul sebagai
respon terhadap keberadaan
pendidikan Islam yang seolah-olah “kurang terlibat” dalam menjawab berbagai
masalah yang aktual. Pendidikan agama terkesan hanya digunakan sebagai
legimitas terhadap kesalehan sosial sebagai way
of life lebih-lebih sebagai transformasi transendental. Dalam hubungan ini,
Pendidikan Islam hanya digunakan sebatas urusan hubungan manusia dengan Allah
dan tidak terlibat dalam urusan hubungan manusia dengan alam, lingkungan
sosial, dan berbagai problema kehidupan yang semakin kompleks. Oleh karena itu, Pendidikan Islam harus mampu
menjadi transmittor yang bersifat transendental. Pendidikan yang mampu untuk
memperkokoh rasa cinta tanah air, setia kawan, dan bertanggung jawab atas
kesejahteraan masyrakat untuk semua kultur sosial yang dijiwai pada nilai-nilai
keislaman. Di samping itu pendidikan Islam harus memodifikasi dirinya agar
mampu menjalankan perannya sebagai subsistem pendidikan nasional seiring dengan
adanya keterbukaan sekat-sekat yang secara empirik menjadikan hubungan
anatarkultur menjadi sangat dekat dengan berbagai konflik sosial.
Wajah ganda agama ini dengan mudah dapat
dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu atau bahkan mendamaikan pertikaian
antar satuan masyarakat. Ironisnya pendidikan islam sering “ditunggangi” dan
tidak jarang dijadikan sumber tenaga untuk menyulut konflik
Pendidikan agama memang masih banyak menuai banyak
kritik. Beberapa factor penyebab kegagalan pendidikan agama adalah:
1.
Praktik
pendidikannya lebih banyak memperhatikan aspek kognitif dari pertumbuhan
kesadaran nilai-nilai (agama), dan kurang pembinaan aspek afektif dan
konatif-volutif, yakni kemauan dan tekad untuk mengamalkan nilai-nilai ajaran
agama.
2.
Pendekatan
masih cenderung normative, dalam arti pendidikan agama menyajikan norma-norma
yang seringkali tanpa ilustrasi konteks social budaya, sehingga peserta didik
kurang menghayati nilai-nilai agama sebagai nilai hidup dalam keseharian.
3.
Para
guru kurang berupaya menggali berbagai metode yang mungkin bisa dipakai untuk
pendidikan agama sehingga pelaksanaan pembelajaran cenderung monoton.
4.
Keterbatasan
sarana prasarana yang mengakibatkan pengelolaan cenderung seadanya.
5.
Pendidikan
agama lebih menitik beratkan pada aspek yang lebih menekankan pada hafalan
teks-teks keagamaan yang sudah ada.
6.
Dalam
system evaluasi, bentuk soal-soal ujian agama Islam menunjukkan priorits utama
pada kognitif dan jarang pertanyaan tersebut mempunyai bobot muatan nilai dan
makna spiritual keagamaan yang fungsional dalam kehidupan sehari-hari.
7.
Kelemahan
dalam pemahaman materi pendidikan maupun dalam pelaksanaannya, yaitu:
a. Dalam bidang teologi, ada kecenderungan mengarah pada
paham fatalistik.
b. Bidang akhlak yang hanya berorientasi pada urusan
sopan santun dan belum dipahami sebagaikeseluruhan pribadi manusia beragama.
c. Bidang ibadah, diajarkan sebagai kegiatan rutin agama
dan kurang ditekankan sebagai proses pembentukan kepribadian.
d. Dalam bidang hukum (fiqh) cenderung dipelajari sebagai
tata aturan yang tidak akan berubah sepanjang masa, dan kurang memahami
dinamika dan jiwa hokum Islam.
e. Agama Islam cenderung diajarkan sebagai dogma dan
kurang mengembangkan rasionalitas serta kecintaan pada kemajuan ilmu
pengetahuan.
f. Orientasi mempelajari al qur’an masih cenderung pada
kemampuan membaca teks, belum mengarah pada pemahaman arti dan penggalian makna.
Orientasi semacam ini menyebabkan terjadinya
keterpisahan dan kesenjangan antara ajaran agama dan realitas perilaku
pemeluknya. Oleh karena itu, diperlukan reorientasi dalam pembelajaran agama
Islam. Harus ada perubahan paradigma pendidikan yang selam ini dikembangkan.
Perubahan paradigma yang dimaksud adalah mengubah cara belajar dari model
warisan menjadi cara belajar pemecahan masalah, dari hafalan ke dialog, dari
pasif ke heuristic, dari strategi menguasai materi sebanyak-banyaknya menjadi
menguasai metodologi, dari mekanis ke kreatif, dari memandang dan menerima ilmu
sebagai hasil final yang mapan menjadi memandang dan menerima ilmu dalam
dimensi proses, dan fungsi pendidikan bukan hanya mengasah dan mengembangkan
akal, namun mengolah dan mengembangkan hati (moral) dan keterampilan.
Paradigma pendidikan yang ditawarkan oleh UNESCO perlu
dicermati oleh para pelaku dan pemerhati pendidikan Islam. Paradigma yang
ditawarkan tersebut adalah proses pendidikan bukan hanya mengarahkan dan
membimbing peserta didik untuk learning
to think (berpikir), learning to do (berbuat),
learning to be (menjadi) saja, namun
proses pendidikan juga hendaknya dapat membentuk peserta didik untuk learning to live together (hidup
bersama) dengan orang lain. Tiga paradigma pertama cenderung mengoptimalkan
paserta didik sebagai individu, baik yang menyangkut ranah kognitif, afektif,
maupun psikomotorik. Sedangkan paradigma yang keempat adalah mengoptimalkan
potensi sosial.
Pendidikan Islam dalam pelaksanaannya paling tidak metodologi
pengajaran, silabi dan kurikulumnya harus memenuhi tiga hal ini, yaitu:
1.
Membongkar
kurikulum yang eksklusif doktriner dengan kurikulum yang pluralis yang mampu
membebaskan peserta didik keluar dari pandangan eksklusif.
2.
Porsi
moralitas dan etika universal harus diberikan secara lebih proporsional dengan
pengajaran ritualitas-formalis.
3.
Peserta
didik perlu diberi wawasan yang cukup mengenai agama-agama lain, karena
ketidakmengertian terhadap hal tersebut seringkali menimbulkan asumsi miring
bahkan negatif terhadap agama lain.
Dari segi
metode pengajaran, hendaknya hubungan guru dan murid bersifat
dialogis-komunikatif. Guru tidak dipandang sebagai satu-satunya sumber belajar,
murid bukan sebagai objek pengajaran. Namun guru dan murid sama-sama sebagai
subjek belajar sehingga suasana di kelas akan dinamis dan hidup. Dalam hal ini
pendidikan bisa dimaknai sebagai pemberdayaan manusia agar mandiri dan kreatif.
Reorientasi
pelaksanaan pendidikan Islam diharapkan dapat menghasilkan output yang memiliki
kesalehan individual juga kesalehan social sebagai modal utama dalam menghadapi
kehidupan yang sangat kompleks dengan kondisi masyarakat yang multicultural dan
multi religious. Terbentuknya anak didik yang memiliki cakrawala pandang yang
luas, menghargai perbedaan, penuh toleransi, memiliki sikap simpatik, respek,
apresiasi dan empati terhadap penganut agama dan budaya yang berbeda serta jauh
dari sikap stereotip, egoistic, individualistic, dan eksklusif akan menciptakan
suasana masyarakat yang bermoral, toleran, damai, dan harmonis.
E. Implikasi
Pendidikan Multikultural
Menurut Parekh, Implikasinya terhadap pengembangan Pendidikan Multikultural
adalah pemasukan bahan ajar yang berisi ide dari berbagai kelompok budaya.
Diperlukan adanya pendidikan yang leluasa untuk mengeksplorasi perspektif dan
budaya orang lain. Dengan mengekplorasi itu akan diperoleh inspirasi sehingga
membuat anak menjadi sensitif terhadap pluralitas cara hidup, cara yang berbeda
dalam menganalisa pengalaman dan ide, dan cara melihat berbagai temuan sejarah
yang ada di seluruh dunia. Pendidikan memang mengajarkan nilai-nilai budayanya
sendiri namun selain itu juga perspektif dan budaya orang lain di wilayah lain
di seluruh dunia. Hal ini dapat membuat siswa “melek budaya” (cultural
literacy) yang mampu melihat berbagai sudut pandang budaya yang pernah hidup di
berbagai belahan dunia. Dahulu orang Persia (sekarang Iran) menganggap bahwa
status sosial orang yang meninggal dapat diukur dari jumlah orang yang
menangisi kepergian orang yang meninggal. Bandingkan dengan kondisi sekarang,
kita bisa juga mengukur penghormatan masyarakat terhadap seseorang yang
meninggal dari jumlah orang yang datang melayat. Ada unsur persamaan, bahwa
seseorang yang terpandang, dihormati dan disukai akan diukur dari kuantitas dan
kualitas dari orang yang datang ikut berbela sungkawa. Kuantitas diukur dari
jumlah orang yang mengantarkan jenasah, dan kualitas diukur dari tingkat
kesedihan orang-orang yang ditinggalkan dan merasa ditinggalkan.
Menurut Babtiste, Perlu adanya pelembagaan filsafat pluralisme budaya dalam
sistem pendidikan yang dilandasi prinsip persamaan, saling menghormati,
penerimaan dan pemahaman, dan komitmen moral demi keadilan sosial . Pendidikan
Multikultural selalu dilandasi prinsip persamaan dan keadilan sosial.
Implikasinya, kurikulum perlu direformasi sehingga benar-benar mencerminkan
penghormatan atas pluralitas budaya.
Menurut A. Effendi Sanusi dalam artikelnya yang berjudul Pendidikan
Multikultural dan Implikasinya mengatakan bahwa Pendidikan multikultural
sebagai wacana baru di Indonesia dapat diimplementasikan tidak hanya melalui
pendidikan formal, tetapi juga dapat dimplementasikan melalui pendidikan
nonformal. Dalam pendidikan formal, pendidikan multikultural tidak harus
dirancang khusus sebagai muatan substansi tersendiri, tetapi dapat
diintegrasikan dalam kurikulum yang sudah ada melalui bahan ajar atau model
pembelajaran. Di perguruan tinggi misalnya, dari segi substansi, pendidikan
multikultural dapat diintegrasikan misalnya melalui mata kuliah umum, seperti
kewarganegaraan, agama, dan bahasa. Pada tingkat SD, SLTP, atau sekolah
menengah, pendidikan multikultural dapat diintegrasikan dalam bahan ajar
seperti agama, sosiologi, dan antropologi, dan dapat melalui model
pembelajaran, seperti diskusi kelompok atau kegiatan ekstrakurikuler. Dalam
pendidikan nonformal, pendidikan multikultural dapat disosialisasikan melalui
pelatihan-pelatihan dengan model pembelajaran yang responsif multikultural
dengan mengedepankan penghormatan terhadap perbedaan, baik ras, suku, maupun
agama antaranggota masyarakat.
Ide pendidikan multikultural memberi spirit bagi lembaga pendidikan
nasional untuk mau menanamkan sikap kepada peserta didik untuk menghargai
orang, budaya, agama dan keyakinan lain, dengan harapan akan membantu siswa
mengerti menerima dan menghargai orang lain yang berbeda suku, budaya, nilai
dan kepribadian.
Menurut Bank, Tujuan pendidikan multikultural adalah pendidikan untuk
kebebasan, dimaksud untuk membantu para siswa dalam mengembangkan pengetahuan, sikap
dan keterampilan dalam berpartisipasi dalam masyarakat yang bebeas dan
demokratis. Pendidikan multicultural mengembangkan kebebasan, kemampuan dan
ketrampilan dalam menerobos batas- batas budaya, etnis dalam berpartisipasi
dengan kebudayaan dan kelompok lain. Substansi Pendidikan multicultural adalah
pendidikan untuk kebebasan (as “education for freedom”) dan penyebarluasan
inklusif dalam rangka mempererat hubungan antar sesame (as “includive and
cementing movemen”).
Pendidikan multikultural sekurang- kurangnya mempunyai lima tujuan. Pertama
, meningkatkan pemahaman diri dan konsep diri secara baik. Kedua, meningkatkan
kepekaan dalam memahami orang lain, termasuk terhadap berbagai kelompok budaya
di Negara sendiri dan Negara lain. Ketiga, meningkatkan kemampuan untuk
merasakan dan memahami kemajemukan, interpretasi kebangsaan dan budaya yang
kadang - kadang bertentangan menyangkut sebuah peristiwa, nilai dan perilaku.
Keempat, membuka pikiran ketika merespon isu. Kelima, memahami latar belakang
munculya pandangan klis atau kuno, menjauhi pandangan stereotipe dan mau
menghargai semua orang.
Dalam implementasinya paradigma pendidikan multikultural dituntut untuk
berpegang pada prinsip- prinsip berikut ini :
- Pendidikan multikultural harus
menawarkan beragam kurikulum yang merepresentasikan pandangan dan
perspektif banyak orang.
- Pendidikan multikultural harus
didasarkan pada asumsi bahwa tidak ada penafsiran tunggal terhadap
kebenaran sejarah.
- Kurikulum dicapai ssuai dengan
penekanan analisis komparatif dengan sudut pandang kebudayaan yang
berbeda- beda.
- Pendidikan multikultural harus
mendukung prinsip - prinsip pokok dalam memberantas pandangan klis tentang
ras, budaya dan agama.
Agar pendidikan lebih multikultural, maka pendidikan dan pengajaran harus
memperkokoh pluralisme dan menentang adanya rasisme, diskriminasi gender dan
bentuk- bentuk lain dari intoleransi dan dominasi sosial. Pada konteks ini kita
harus lakukan transformasi kurikulum, model pembelajaran, suasana sekolah ,
kegiatan ekstrakurikuler dan peran guru sebagai multikultural.
Menurut Gay’s, prinsip- prinsip penting dalam
penerapan pendidikan multikultural adalah kurikulum berdasarkan sejarah dan
berpusat pada keragaman, berorientasi pada perbaikan, pengajaran mengarah pada
keragaman, kurikulum tergantung pada konteks, bersifat menyerap keragaman dan
dapat diterapkan secara luas, bersifat komprehensif serta mencakup semua level
pendidikan.
Selain itu isi, pendekatan, dan evaluasi kurikulum
harus menghargai perbedaan dan tidak diskriminatif. Paradigma multikultural
perlu mewarnai model pembelajaran yang diterapkan dalam kelas. Langkah- langkah
untuk mengembangkan model pembelajaran multikultural sebagai berikut :
- Guru mereduksi atau mengikis sikap
negatif yang mungkin mereka miliki terhadap pluralisme.
- Seorang pendidik atau anak didik
melakukan analisis agar akrab dengan masyarakat.
- Seorang
pendidik dan anak didik memilih materi yang relevan dan menarik.
- Seorang
pendidik dan anak didik , bersama- sama menyelediki persoalan materi yang
dipilih.
Pada akhirnya ide dari pendidikan multikultural bisa
diterapkan atau tidak tergantung pada usaha kita bersama. Pendidikan
multikultural sebaiknya dimasukkan dalam kurikulum sebagai mata pelajaran
ekstrakurikuler atau menjadi bagian dari kurikulum sekolah khususnya daerah
konflik atau daerah bekas konflik, dan semua daerah pada umumnya.
Implikasi
Pendidikan Multikultural di Sekolah
Strategi
pendidikan multikultural selanjutnya perlu dijabarkan dalam implikasi di
sekolah. Menurut pendapat beberapa ahli dan realita empirik, dapat disusun
tujuh implikasi strategi pendidikan dengan pendekatan multikultural. Tujuh
implikasi itu dapat dijelaskan sebagai berikut;
1.
Membangun paradigma keberagamaan inklusif di lingkungan sekolah.
Guru
sebagai orang dewasa dan kebijakan sekolah harus menerima bahwa ada agama lain
selain agama yang dianutnya. Ada pemeluk agama lain selain dirinya yang juga
memeluk suatu agama. Dalam sekolah yang muridnya beragam agama, sekolah harus
melayani kegiatan rohani semua siswanya secara baik. Hilangkan kesan mayoritas
minoritas siswa menurut agamanya. Setiap kegiatan keagamaan atau kegiatan
apapun di sekolah biasakan ada pembauran untuk bertoleransi dan membantu
antarsiswa yang beragama berbeda.
Hal
ini perlu diterapkan di sekolah yang berbasis agama tertentu atau menerima
siswa yang beragama sejenis. Guru dan kebijakan sekolah tidak mengungkapkan
secara eksplisit, radikal, dan provokatif dalam wujud apapun, karena di luar
sekolah itu siswa akan bertemu, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain
yang berbeda agama. Sebagai bahan renungan, seorang guru harus peka dan
bijaksana menjelaskan sejarah Perang Salib, bom Bali, konflik antarpemeluk
agama di Maluku, terorisme, dan sebagainya. Jangan sampai ada ketersinggungan
sekecil apapun karena kecerobohan ungkapan guru. Sekecil apapun singgungan
tentang agama akan membekas dalam benak siswa yang akan dibawanya sampai
dewasa.
2.
Menghargai keragaman bahasa di sekolah
Dalam
suatu sekolah bisa terdiri dari guru, tenaga kependidikan, dan siswa yang
berasal dari berbagai wilayah dengan keragaman bahasa, dialek, dan logat
bicara. Meski ada bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar formal di sekolah,
namun logat atau gaya bicara selalu saja muncul dalam setiap ungkapan bahasa,
baik lisan maupun tulisan.
Sekolah
perlu memiliki peraturan yang mengakomodasi penghargaan terhadap perbedaan
bahasa. Guru serta warga sekolah yang lain tidak boleh mengungkapkan rasa
”geli” atau ”aneh” ketika mendengarkan atau membaca ungkapan bahasa yang
berbeda dari kebiasaannya. Semua harus bersikap apresiatif dan akomodatif
terhadap perbedaan-perbedaan itu. Perbedaan yang ada seharusnya menyadarkan
kita bahwa kita sangat kaya budaya, mempunyai teman-teman yang unik dan
menyenangkan, serta dapat bertukar pengetahuan berbahasa agar kita semakin
kaya wawasan.
3.
Membangun sikap sensitif gender di sekolah
”Dasar
perempuan, cerewet dan bisanya menangis!”. ”Mentang-mentang cowok, jangan sok
kuasa ngatur-ngatur di kelas ya!”. ”Syarat pengurus ekstrakurikuler adalah
ketua harus cowok, sekretarisnya cewek, seksi perlengkapan cowok, seksi
konsumsi cewek, ….”. Contoh ungkapan-ungkapan itu harus dihapus dari benak dan
kebiasaan guru, siswa, dan warga sekolah yang lain.
Pembagian
tugas, penyebutan contoh-contoh nama tokoh, dan sebagainya harus proporsional
antara laki-laki dan perempuan. Tak ada yang lebih dominan atau sebaliknya
minoritas antara gender laki-laki dan perempuan. Dengan tetap mempertimbangkan
nilai-nilai kodrati, penerapan gender dalam fungsi-fungsi pembelajaran di sekolah
harus proporsional karena setiap siswa laki-laki dan perempuan memiliki potensi
masing-masing. Perempuan jadi pemimpin, laki-laki mengurusi konsumsi, atau yang
lain saat ini bukan sesuatu yang tabu. Biarlah siswa mengembangkan potensinya
dengan baik tanpa bayang-bayang persaingan gender. Siapa yang berpotensi
biarlah dia yang berprestasi. Berilah reward pada pada siapapun dengan gender
apapun yang mampu berprestasi, sebaliknya beri punishment yang tegas mendidik
terhadap sikap, ucapan, dan perilaku yang menyinggung perbedaan gender.
4.
Membangun pemahaman kritis dan empati terhadap ketidakadilan serta perbedaan
sosial
Pelayanan
pendidikan dan penegakan peraturan sekolah tidak boleh mempertimbangkan status
sosial siswa. Baurkan siswa dari beragam status sosial dalam kelompok dan kelas
untuk berinteraksi normal di sekolah. Meskipun begitu, guru dan siswa harus
tetap memahami perbedaan sosial yang ada di antara teman-temannya. Pemahaman
ini bukan untuk menciptakan perbedaan, sikap lebih tinggi dari yang lain, atau
sikap rendah diri bagi yang kurang, namun untuk menanamkan sikap syukur atas
apapun yang dimiliki. Selanjutnya dikembangkan kepedulian untuk tidak saling
merendahkan namun saling mendukung menurut kemampuan masing-masing. Sikap
empati dan saling membantu tidak hanya ditanamkan di lingkungan sekolah saja.
Suatu waktu siswa bisa diajak berkegiatan sosial di luar sekolah seperti di
panti asuhan, panti jompo, dan sebagainya. Atau bila ada musibah di antara
warga sekolah atau daerah lain siswa diajak berdoa dan memberikan sumbangan.
Sekecil apapun doa, ucapan simpati, jabat tangan, pelukan, atau bantuan
material akan sangat bermakna bagi pembentukan karakter siswa juga siapapun
yang menjadi obyek empati.
5.
Membangun sikap antideskriminasi etnis
Sekolah
bisa jadi menjadi Indonesia mini atau dunia mini, dimana berbagai etnis
menuntut ilmu bersama di sekolah. Di sekolah bisa jadi suatu etnis mayoritas
terhadap etnis lainnya. Tapi perlu dipahami, di sekolah lain etnis yang
semula mayoritas bisa jadi menjadi minoritas. Hindari sikap negatif
terhadap etnis yang berbeda. Sebagai misal ungkapan seperti ini, ”Dasar Batak,
ngeyel dan galak”, ”Heh si Aceh ya, slamat ya terhindar dari Tsunami”, ”Halo
Papua Kritam (kriting dan hitam)”, ”Ssst, jangan dekat dengan orang Dayak,
nanti dimakan lho”.
Tanamkan
dan biasakan pergaulan yang positif. Pahamkan bahwa inilah Indonesia yang
hebat, warganya beraneka ragam suku atau etnis, bahasa, tradisi namun bisa
bersatu karena sama-sama berbahasa Indonesia dan bangga menjadi bangsa
Indonesia. Bila bertemu saling bertegur sapa, ”Halo Tigor, senang bertemu
denganmu, kapan ya saya bisa berkunjung ke Danau Toba yang indah”, ”Wah, pemain
bola dari Papua hebat-hebat ya, ada Eduard Ivakdalam, Emanuel Wanggai, Elly
Eboy, dan lainnya. Suatu saat kamu bisa seperti mereka”. Ciptakan kultur dan
kehidupan sekolah yang Bhinneka Tunggal Ika dengan interaksi dan komunikasi
yang positif.
6.
Menghargai perbedaan kemampuan
Sekolah
tidak semua siswanya berkemampuan sama atau standar. Dalam psikologi sosial
dikenal istilah disability, artinya terdapat sebuah kondisi fisik dan mental
yang membuat seseorang kesulitan mengerjakan sesuatu yang mana orang kebanyakan
dapat mengerjakannya dengan mudah. Dalam orientasi awal masuk dan pengamatan
proses guru dan siswa dapat saling memahami kelebihan dan kelemahan
masing-masing. Karena siswa sudah menjadi bagian warga sekolah, maka jangan
sampai sikap, ucapan, dan perilaku yang meremehkan atau mentertawakan kelemahan
yang sudah dipahami. Hal itu sangat berdampak negatif, baik bagi siswa yang
unggul maupun siswa yang lemah. Yang unggul akan merasa jumawa dengan
keunggulannya sehingga bisa membuatnya lalai dan tidak berprestasi optimal.
Bagi siswa yang lemah akan menjadi tidak termotivasi belajar dan merasa terkucilkan.
Sebaiknya dibiasakan pembauran siswa unggul dan lemah dalam kelompok atau
kelas agar terjadi pembimbingan sebaya, yang unggul semakin kuat pemahamannya
tentang suatu materi dan merasa bermanfaat dengan ilmunya, serta yang kurang
memperoleh guru sebaya yang lebih komunikatif dan merasa diterima oleh
teman-temannya.
7.
Menghargai perbedaan umur
Setiap
individu siswa mengalami pertumbuhan fisik dan perkembangan kejiwaannya sesuai
pertambahan umurnya. Guru harus memahami ini, terutama tentang karakteristik
psikologis dan tingkat kemampuan sesuai umurnya. Sebagai misal kemampuan
berbahasa, analisis masalah, berkarya siswa SMP kelas VII akan berbeda dengan
kelas IX, apalagi dibandingkan dengan siswa SMA, mahasiswa atau gurunya. Selain
itu jangan sampai ada deskriminasi, sikap, ucapan, dan perilaku negatif
diantara warga sekolah dengan sebutan dominasi senior atas yunior, pelecehan
berdasar perbedaan ukuran fisik, kata sebutan atau panggilan yang tidak disukai
(misal ”si Unyil” untuk siswa bertubuh kecil, ”bayi ajaib” untuk siswa berusia
lebih muda tapi pintar, ”tuyul” untuk adik kelas yang berkepala gundul, dan
sebagainya). Seharusnya yang lebih tua memberi tauladan, memberi motivasi,
memberi kepercayaan, demokratis, membimbing, mengasuh, dan melindungi yang
lebih muda. Yang muda menghormati, sopan santun, menauladani kebaikan, dan
membantu yang lebih tua.
Menyikapi
kondisi sekolah sebagai ”dunia” multikultural, pengambil kebijakan dan warga
sekolah harus mengubah paradigma dan sistem sekolah menjadi paradigma dan
sistem sekolah yang multikultural. Secara serentak atau bertahap harus disusun
kembali sistem, peraturan, kurikulum, perangkat-perangkat pembelajaran, dan
lingkungan fisik atau sarana prasarana sekolah yang berbasis multikultural
berdasarkan kesepakatan warga sekolah. Selanjutnya yang terpenting adalah
secara kontinyu dilakukan orientasi kepada warga sekolah terutama warga baru,
sosialisasi, tauladan guru dan kakak kelas, pembiasaan kultur sikap dan
perilaku multikultural, serta pemberian reward dan punishment tentang
pelaksanaan kultur sekolah dengan konsisten.
Rohidi
(2002) dan Tilaar (2002) menegaskan bahwa pendidikan dengan pendekatan
multikultural sangat tepat diterapkan di Indonesia untuk pembentukan
karakter generasi bangsa yang kokoh berdasar pengakuan keragaman. Kemudian
dalam penerapannya harus luwes, bertahap, dan tidak indoktriner.
Implementasinya menyesuaikan dengan situasi dan kondisi sekolah. Pendekatan
multikulturalisme erat dengan nilai-nilai dan pembiasaan sehingga perlu wawasan
dan pemahaman yang mendalam untuk diterapkan dalam pembelajaran, tauladan,
maupun perilaku harian. Proses itu diharapkan mampu mengembangkan kepekaan
rasa, apresiasi positif, dan daya kreatif. Kompetensi guru menjadi sangat
penting sebagai motor pendidikan dengan pendekatan multikulural.