Friday 1 June 2012

KEPEMIMPINAN ISLAM


KEPEMIMPINAN ISLAM

A. Latar Belakang
Kemajuan suatu kelompok atau bangsa tidak terlepas dari pemimpinnya. Dengan kepemimpinannya seseorang dapat menggerakkan seluruh bawahannya agar bekerja sesuai dengan apa yang dikehendakinya. Dengan kepemimpinan yang baik serta progress yang tinggi maka bangsa tersebut dipastikan dapat  maju dan berkembang.
Begitu pula dengan Islam. Sebagai sebuah kesatuan umat, Islam memerlukan seseorang yang memang benar-benar kompeten dalam memimpin umat. Dalam sejarah, umat Islam pernah memiliki beberapa pemimpin hebat yang dapat memajukan peradaban. Kepemimpinan tersebut dapat dilihat melalui kepemimpinan Muhammad SAW, Khulafaurrasyidin, Dinasti Umayah (Umar bin abdul azis) serta Dinasti Abassiyah (Harun Ar Rasyid). Bahkan, sejarah mencatat bahwa Islam pernah berjaya di era abad pertengahan dimana pada saat itu Islam menguasai hampir sepertiga wilayah di bumi. Kekuasaan Dinasti maupun Dinasti Abbasiyah merupakan dua kerajaan terbesar dalam sejarah umat Islam. Dari fakta sejarah tersebut maka dapat diketahui bahwa Islam memiliki sebuah konsep tersendiri mengenai kepemimpinan sehingga dapat maju pada saat itu.
Namun jika dilihat pada saat ini dimana terdapat berbagai macam aliran dan golongan, serta tantangan global yang tinggi, deklarasi kepemimpinan yang mengacu pada satu pimpinan sangat sulit untuk diterapkan. Karena umat Islam saat ini tidak hanya menetap dalam satu wilayah saja namun menyebar di seluruh pelosok penjuru dunia sehingga sangat sulit untuk menyatukan dalam satu wadah yang disebut negara.
Begitu pula indonesia yang terdiri dari berbagai suku bangsa dan agama. Apakah kepemimpinan Islam dapat diterapkan dalam ke-pluralitas-an Indonesia atau malah akan menjadikan mundur bangsa.



Maka dari itu perlu diketahui beberapa hal mengenai kepemimpinan Islam, baik konsepnya maupun sosok pemimpin itu sendiri. Juga perlu diketahui dapatkah konsep tersebut diterapkan di Indonesia.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep kepemimpinan Islam itu?
2. Bagaimana  jika konsep kepemimpinan Islam diterapkan di Indonesia?
























BAB II
PEMBAHASAN

A. Kepemimpinan Islam
            Sebelum mengenal lebih jauh mengenai kepemimpinan Islam, perlu diketahui bahwa menurut pandangan AL Qur’an kekuasaan tertinggi di alam semesta yaitu Allah SWT. Manusia hanyalah sebagai wakil Allah di bumi yang disebut khalifah. Seperti dalam QS. Al Baqarah ayat 2 yang artinya :

”Dan ingatlah ketika Tuhan mu berfirman : “Sesungguhnya Aku akan menjadikan seorang khalifah di muka bumi...”

            Yang dimaksud khalifah dalam ayat tersebut adalah manusia. Sesuai ayat tersebut menyatakan bahwa manusia adalah wakil tuhan di bumi sehingga manusia dibekali akal, hati dan pikiran untuk menjalankan kekhalifahannya
1. Pemimpin
Setiap kepemimpinan tidak akan terlepas dari sosok seorang pemimpin yaitu orang yang menjadi wakil dari golongannya. Begitu pula dengan umat Islam, sebagai kesatuan umat membutuhkan sosok seorang pemimpin. Sosok pemimpin dapat kita lihat dalam pribadi Rosulullah SAW.
Rasulullah SAW sebagai uswatun khasanah merupakan contoh yang baik dalam kepemimpinan. Hal ini terbukti dengan keberhasilan beliau dalam menghadapi segala tantangan yang ada. Seperti ancaman kaum Quraisy, mempersatukan kaum Anshor dan Muhajirin serta beberapa peperangan yang terjadi.Untuk itu sebagai umat Islam hendaknya selalu mencontoh kepemimpinan Rosulullah SAW.
Adapun kepemimpinan nabi didasarkan pada empat sifat yaitu[1] :
a. Sidiq, yaitu kebenaran dan kesungguhan dalam bersikap.
b. Amanah, yaitu dapat kepercayaan, dalam hal ini seorang pemimpin harus bertanggung jawab dalam menjalankan amanat yang diberikan kepadanya sebagai seorang pemimpin.
c. Fathanah, yaitu kecerdasan yang mampu melahirkan kemampuan menghadapi segala tantangan.
d. Tabligh, penyampaian yang jujur dan bertanggung jawab, atau dapat diistilahkan dengan keterbukaan.
                                        
2. Perundang-undangan
Suatu kepemimpinan jikaa hendak berjalan dengan baik dan tertata harus mempunyai sistem perundang-undangan. Pokok dasar perundangan Islam terlihat  dalam QS. An Nisa’ ayat 59 yang artinya :

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rosul-Nya dan Ulil Amri di antara kamu. Kemudian, jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian....”

Konstitusi Dasar berdasarkan ayat tersebut adalah sebagai berikut [2]:
a. Ketaatan pada Allah SWT dan Rasul didahulukan dari ketaatan yang lainnya.
b. Ketaatan pada ulil amri
c. Ulil amri adalah orang-orang mukmin
d. Rakyat mempunyai hak menggugat pemerintahan.
e. Kekuatan penentu dalam setiap perselisihan adalah undang-undang Allah dan Rasul-Nya.
f. Diperlukan suatu badan yang merdeka dimana tidak tertekan oleh rakyat maupun penguasa.



3.Prinsip Kepemimpinan Menurut Islam
Kepemimpinan menurut islam yaitu musyawarah, adil, dan kebebasan berfikir:[3] ketiga hal tersebut merupakan prinsip hablumminannas dalam Islam.
a. Musyawarah
Dalam QS. Ali Imran : 159 disebutkan :

“...bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu...”

       Sesuai dengan ayat tersebut dalam perselisihan dan persoalan harus diselesaikan dengan musyawarah untuk mencapai mufakat. Melalui musyawarah memungkinkan seluruh komunitas islam akan turut beserta berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, dan sebagai wahana dalam mengawasi tingkah laku para pemimpin. Setiap hasil keputusan yang dihasilkan musyawarah harus ditaati oleh seluruh komponen bangsa.

b. Adil
Dalam surat An Nisa ayat 58, Alloh berfirman :
 “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat”
           
Sifat adil dalam pemerintahan Islam adalah dengan tidak membeda-bedakan rakyat baik kaya maupun miskin, hitam maupun putih, golongan atau ras, dan lain sebagainya. Hubungan antar sesama manusia adalah sama.



c. Kebebasan berfikir
Dalam kepemimpinan Islam kebebasan berfikir sangat diperhatikan agar prinsip pertama dapat terwujud (musyawarah). Pemimpin yang baik adalah mereka yang mampu memberikan ruang bagi kelompoknya untuk mengemukakan kritik. Mereka diberikan kebebasan untuk mengeluarkan pendapat baik saran maupun kritik yang konstrusional. Sehingga agar suatu kepemimpinan dapat sukses, seorang pemimpin hendaknya menciptakan suasana kebebasan dan pertukaran gagasan yang sehat. Kesuksesan tersebut akan berdampak pada majunya suatu kelompok.
Mengenai saling bertukar pendapat tersebut sesuai dengan hadits, Rasulullah bersabda: “agama adalah nasehat. Kami berkata kepada siapa? Beliau menjawab: Kepada Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, Pemimpin umat islam, dan kepada masyarakat kamu” H.R Muslim.

B. Kepemimpinan Islam di Indonesia
Seperti yang telah diketahui di atas, ada beberapa landasan mengenai kepemimpinan Islam seperti hakekat pemimpin, pokok perundang-undangan, dan prinsip-prinsip pemerintahan Islam. Dengan konsep tersebut Nabi Muhammad SAW telah berhasil menyebarkan Islam di jazirah Arab yang kemudian dilanjutkan oleh Khulafaurrasyidin.
Sebagai agama rahmatan lil ‘alamin tentunya konsep tersebut harus dinamis dan dapat diterapkan di seluruh bumi termasuk Indonesia. Jika kita lihat Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari berbagai macam  suku bangsa, ras, agama dan budaya. Tentunya konsep kepemimpinan Islam seperti di atas harus mengalami contextualisation agar sesuai dengan keragamannya tersebut. Untuk itulah Indonesia saat ini menggunakan Pancasila sebagai landasan kepemimpinan.
Secara harfiah konsep kepemimpinan yang terkandung dalam Pancasila sudah sesuai dengan yang tertera dalam konsep kepemimpinan Islam. Hal iini terlihat dalam sila-sila Pancasila yaitu berlandaskan ketuhanan yang maha esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sila pertama, Ketuhannan yang maha esa, sesuai dengan konstitusi dasar kepemimpinan Islam yaitu ketaatan pada Allah dan Rasul. Sedangkan sila kedua dan selanjutnya merupakan prinsip hablumminannas yang tercakup dalam Islam dalam menjalani kehidupan.
Namun tentunya bangsa Indonesia juga mempunyai banyak masalah yang menyangkut kepemimpinan seperti persatuan  umat, transparansi keuangan, profil pemimpin itu sendiri serta masalah lain.
Mengenai persatuan umat, permasalahannya saat ini yaitu sifat fanatis yang menghinggapi warga negara bangsa Indonesia. Dengan sifat fanatis yang berlebihan persatuan umat tidak akan bisa terwujud.
Masalah transparansi keuangan, terlihat saat ini banyak pemimpin yang korupsi. Padahal mereka adalah wakil-wakil rakyat yang dibayar dengan uang namun berusaha menyelundupkan uang rakyat untuk kepentingan sendiri.
Profil pemimpinan saat ini terlihat lebih mengutamakan golongannya daripada kemaslahatan umum. Hal yang paling menonjol adalah ketika Soeharto (Alm) sangat mengandalkan partainya. Meskipun bangsa Indonesia terlihat maju namun dominasi partai Golkar sangat kentara. Demikian juga dengan SBY, terlihat mementingkan golongan dengan tidak bertindak cepat ketika kasus korupsi yang menyangkut partainya.
Oleh karena itu dibutuhkan seorang pemimpin yang mampu meng-handle negeri yang luas dan kaya ini serta mampu menggerakkan seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Dan konsep pemimpin yang mampu seperti itu sesuai dengan konsep Islam meski Indonesia terdiri dari berbagai macam budaya dan agama.
Kita lihat sejarah Nabi dan Khulafaurrasyidin yang dapat menyatukan Tanah Arab dengan berbagai fanatisme kesukuan. Semua keberhasilan tersebut karena mereka menggunakan konsep Islam dalam memimpin.
Profil kepemimpinan jugadapat dilihat pada diri Umar bin Abdul Azis sebagai khalifah Bani Umayyah ketika mencapai zaman keemasan. Umar bin Abdul Azis adalah profil pemimpin yang menjunjung tinggi kesederhanaan. Seluruh harta dan kekayaan negara dipergunakan seluas-luasnya untuk kepentingan rakyat. Tidak untuk dikorupsi atau memperkaya sendiri.
            Dengan profil kepemimpinan Islam yang sangat menjunjung tinggi permusyawaratan, keadilan dan kebebasan saangat cocok untuk bangsa Indonesia. Karakter pemimpin yang adil, demokratis, tegas dan cerdas sangat dibutuhkan bangsa saat ini untuk memajukan peradaban bangsa Indonesia yang lebih maju.
           





















BAB III
PENUTUP

Simpulan
            Dari beberapa ulasan di atas dapat disimpulkan bahwa kepimpinan Islam memiliku beberapa prinsip dan peraturan perundangan yang telah dituntunkan oleh Al Qur’an.
            Pemimpin yang baik harus berlandaskan pada empat sifat yaitu sidiq, amanah, tabligh, fathonah. Konstitusi dasar peraturan perundangan sesuai dengan QS. An Nisa : 59 yaitu ketaatan pada Allah SWT dan Rasul didahulukan dari ketaatan yang lainnya, ketaatan pada ulil amri, ulil amri adalah orang-orang mukmin, rakyat mempunyai hak menggugat pemerintahan, kekuatan penentu dalam setiap perselisihan adalah undang-undang Allah dan Rasul-Nya, diperlukan suatu badan yang merdeka dimana tidak tertekan oleh rakyat maupun penguasa. Dang yang terakhir prinsip  kepemimpinan yaitu musyawarah, keadilan dan kebebasan berfikir.
            Konsep kepemimpinan Islam dapat diterapkan di Indonesia dengan melalui proses kontekstualisasi. Hasil dari kontekstualisasi tersebut dapat kita lihat dalam Pancasila. Di dalam Pancasila menganut nilai-nilai luhur sebagai pedoman menjadi seorang pemimpin.
            Namun dalam praktik kehidupan berbangsa saat ini dimana terjadi  banyak sekali pemimpin-pemimpin yang korup dan fanatis diperlukan perubahan dalam mengamanahkan sebuah tanggung jawab besar kepada seorang pemimpin. Untuk itu dalam setiap pemilihan hendaknya setiap pemilih melihat konsep-konsep Islam menngenai pemimpin. Hal ini diharapkan nantinya pemimpin yang terpilih dapat menjadi imam bagi seluruh bangsa.





DAFTAR PUSTAKA

Abul A’la Al Maududi. 2007. Khilafah dan Kerajaan. Bandung : Karisma
Al Qur’an dan terjemahan
Munawir, Imam. Asas-asas Kepemimpinan dalam Islam. Surabaya : Usaha Nasional
Rivai, Veithzal dan Arviyan Arifin.2009. Islamic Leadership. Jakarta: Bumi Aksara
Tobroni. 1994. Islam, Pluralisme, Budaya dan Politik. Jogjakarta : Sipress


[1] Veithzal Rivai dan Arviyan Arifin, Islamic Leadership, (Jakarta: Bumi Aksara,2009), hal.
[2] Abul A’la Al Maududi, Khilafah dan Kerajaan,Cetakan ke-1(Bandung:Karisma,2007), hal. 67
[3] Veithzal Rivai dan Arviyan Arifin, Islamic Leadership, (Jakarta: Bumi Aksara,2009), hal. 154

TAFSIR Q.S. AL-BAQOROH:177


TAFSIR Q.S. AL-BAQOROH:177
* }§øŠ©9 §ŽÉ9ø9$# br& (#q9uqè? öNä3ydqã_ãr Ÿ@t6Ï% É-ÎŽô³yJø9$# É>̍øóyJø9$#ur £`Å3»s9ur §ŽÉ9ø9$# ô`tB z`tB#uä «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# Ïpx6Í´¯»n=yJø9$#ur É=»tGÅ3ø9$#ur z`¿ÍhÎ;¨Z9$#ur tA#uäur tA$yJø9$# 4n?tã ¾ÏmÎm6ãm ÍrsŒ 4n1öà)ø9$# 4yJ»tGuŠø9$#ur tûüÅ3»|¡yJø9$#ur tûøó$#ur È@Î6¡¡9$# tû,Î#ͬ!$¡¡9$#ur Îûur ÅU$s%Ìh9$# uQ$s%r&ur no4qn=¢Á9$# tA#uäur no4qŸ2¨9$# šcqèùqßJø9$#ur öNÏdÏôgyèÎ/ #sŒÎ) (#rßyg»tã ( tûïÎŽÉ9»¢Á9$#ur Îû Ïä!$yù't7ø9$# Ïä!#§ŽœØ9$#ur tûüÏnur Ĩù't7ø9$# 3 y7Í´¯»s9'ré& tûïÏ%©!$# (#qè%y|¹ ( y7Í´¯»s9'ré&ur ãNèd tbqà)­GßJø9$# ÇÊÐÐÈ  
(177). bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. mereka Itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka Itulah orang-orang yang bertakwa.
A.  TAFSIR MUFRODAD
1.      ŽÉ9ø9$#= secara bahasa berarti memperbanyak kebaikan. Asal katanya adalah al-barr (daratan), lawan katanya adalah al-bahr (laut). Menurut syara’ adalah setiap sesuatu yang dijadikan sebagai sarana untuk taqorrub kepada Allah, yakni iman, amal saleh dan akhlak mulia.
2.      É>̍øóyJø9$#urŸ É-ÎŽô³yJø9$# @t6Ï% =mengarah kepada dua arah tersebut (timur dan barat)
3.        È@Î6¡¡9$#ûøó$#= orang yang mengadakan perjalanan jauh. Sehingga ia tidak bisa menghubungi kerabatnya untuk meminta bekal.
4.      û,Î#ͬ!$¡¡9$#u= orang yang meminta-minta kepada orang lain karena terdesak kebutuhan hidup. Pekerjaan ini dalam syari’at islam diharamkan kecuali dalam keadaan yang darurat, dan tidak ada pilihan kecuali meminta-minta.
5.      ä!$yù't7ø9$#= diambil dari kata al-busu’, yang artinya fakir atau sangat miskin.
6.      ä!#§ŽœØ9$#u= setiap sesuatu yang membahayakan manusia, seperti penyakit atau kehilangan yang dicintai.

B.  ASBABUN NUZUL Q.S. AL-BOQOROH: 177
Ketika Allah memerintahkan kepada kaum muslimin untuh memindahkan arah kiblat dari Baitul maqdis kearah Ka’bah, Antara kaum Muslim dan orang-orang ahli kitab (kaum Nasrani dan kaum Yahudi), terjadi pertengkaran dan perdebatan yang sengit. Ahli Kitab berpendapat bahwa sholat yang dilakukan dengan menghadap selain kearah Baitul Maqdis, maka sembahyangnya tidak sah dan ditolak oleh Allah dan mereka yang melakukannya tidak mengikuti petunjuk dan ajaran para Nabi. Sedangkan sebaliknya, kaum Muslim mengatakan bahwa sembahyang yang sah dan mendapat ridho-Nya adalah menghadap kearah Ka’bah (Masjidil Haram), yakni kiblat Nabi Ibrahim As sebagai bapak segala Nabi.
Melihat hal tersebut maka Allah menjelaskan  bahwa pokok kebajikan bukanlah menghadap kiblat secara tertentu. Sebab, disyari’atkannya menghadap kiblat itu hanya untuk mengingatkan orang yang sedang mengerjakan sholat bahwa dirinya sedang dalam keadaan menghadap Tuhannya.[1] Dan menghadap kiblat merupakan suatu tanda dan merupakan syi’ar untuk kesatuan umat guna mencapai suatu tujuan dalam mengabdikan diri kepada Allah. Dengan demikian, dapatlah umat membiasakan diri untuk menjaga persatuan dan kesatuan dalam segala urusan dan perjuangan. Selain itu, ayat ini juga mengajarkankepada umat Islam untuk terbiasa mengambil kesepakatan  dalam mengambil kesepakatan, bersatu dan melangkah bersama-sama untuk mencapai tujuan bersama.
Menurut riwayat Ar Rabi’ dan Qatadah, sebab turunnya ayat ini adalah bahwa orang-orang Yahudi, sembahyang menghadap barat, sedang orang Nasrani menghadap timur. Masing-masing golongan mengatakan: golongannya adalah yang paling benar dan oleh karena itu golongannya lah yang berbakti dan berbuat kebajikan. Sedang golongan lain salah dan tidak dianggap berbakti dan berbuat kebajikan.[2] Oleh karena itu ayat ini diturunkan untuk membantah prasangka mereka.



C.  KANDUNGAN Q.S. AL-BAQOROH:177
        Dalam ayat ini deterangkan bahwa kebajikan bukan sekedar menghadap kearah Timur maupun Barat. Akan tetapi kebajikan yang sesungguhnya adalah beriman kepada Allah secara sungguh-sungguh, iman yang tertancap dan bersumber dari lubuk hati yang terkristalisasi dalam  sikap tingkah laku dan perbuatan.
Iman kepada Allah ini akan menciptakan suasana jiwa yang tentram, dan penolakan terhadap sikap diktator para pemimpin agama (selain Islam) yang hanya menindas manusia atas nama agama, mendakwakan dirinya sebagai perantara manusia dengan Tuhannya. Orang-orang yang benar-benar beriman tidak akan pernah bersedia menjadi budak manusia lainnya. Ia hanya mau tunduk dan taat terhadap Allah dan syari’at-Nya serta menjauhi segala larangan-Nya.
Iman kepada hari akhir sebagai tujuan akhir dari kehidupan dunia yang serba kurang dan fana ini. Hal ini mengingtakan kepada manusia bahwa ternyata ada alam lain yang ghoib yang akan dihuni. Sehingga manusia hendaknya usahanya tidak hanya dipusatkan untuk memenuhi kebutuhan  dan kepentingan duniawi.
Iman kepada malaikat adalah titik tolak iman kepada wahyu. Bahwa diantara tugas dari malaikat adalah menyampaikan wahyu kpada para Nabi dan memberikan ilham mengenai persoalan agama.
Iman kepada kitab-kitab Allah (Al-Qur’an, Injil, Taurot, Zabur)  yang dibawa oleh para Nabi sebagai petunjuk kejalan yang benar dan memerintahkan manusia untuk mengamalkan kandungan kitab baik perintahnya maupun menjauhi laranganya. Seorang yang yakin, bahwa sesuatu yang benar, akan terdorong untuk mengamalkannya, dan apabila ia yakin bahwa sesuatu akan membahayakan dirinya maka ia akan menjauhi dan meninggalkanya.
Iman-iman tersebut harus ada follow up yang menyertai dengan tindakan yang nyata, sebagaimana yang dijelaskan dalam ayat ini:
1.    Memberikan harta yang dicintainya kepada orang-orang yang membutuhkannya karena belas kasihan yang ditujukan kepada orang-orang sebagaimana berikut:
a.         Kerabat atau sanak family. Mereka adalah orang yang paling berhak mendapatkan uluran tangan. Karena berdasarkan fitrahnya, manusia memiliki rasa kasih sayang yang lebih terhadap sanak famili yang miskin disbanding orang lain. Ia akan merasakan kesengsaraan yang diderita oleh keluarganya dan begitu pula sebaliknya, kesejahteraan keluarga merupakan kesejahteraan dirinya.
b.        Anak yatim, yakni anak kecil dari kaum miskin yang tidak memiliki ayah atau ibu yang dapat memberikan nafkah kepada mereka. Mereka membutuhkan pertolongan agar dapat menyambung hidupnya dan meneruskan pendidikannya. Juga dapat menghindarkan bahaya yang dapat menimpa mereka dan orang lain sebagai akibat dari salah didik atau serba kekurangan.
c.         Kaum fakir miskin, mereka tidak mampu untuh memenuhi kehidupannya. Oleh karena itu umat Islam yang mampu diwajibkan untuk menolong mereka. Karena mereka juga bagian dari tubuh umat islam. Menolong mereka berarti menjaga keutuhan tubuh dan menghindarkannya dari kecacatan yang dapat merobohkan pembangunan umat.
d.        Ibnu Sabil (orang yang melakukan perjalanan jauh), ibnu sabil melakukan perjalanan yang panjang dan jauh dari sanak keluarga yang dapat membantunya, sehingga ia mengalami kekurangan. Dengan membantunya, ia akan dapat melanjutkan perjalanannya dan memberikan motivasi kepada umat muslim untuk mengembara mencari pengalaman maupun pengetahuan yang dapat membangun kejayaan umat.
e.         Orang yang terpaksa meminta-minta karena tidak ada jalan lain untuk memenuhi kebutuh yang dirasakan sangat berat dan terdesak.
f.         Memerdekakan budak atau hamba sahaya sehingga ia dapat memperoleh kemerdekaannya. Dan hal ini menunjukan bahwa Islam sebagai pembebas umat dari segala bentuk penindasan dan penganiayaan.
Kebanyakan orang tidak menyadari bahwa menunaikan hak-hak yang dianjurkan Al-Qur’an mengandung unsur kebersamaan antar sesama umat muslim dan dapat membangun kesejahteraan umat. Sehingga terciptalah suasana yang penuh dengan rasa persatuan dan kesatuan serta rasa akrab dan saling memiliki.
                                 
2.    Mendirikan sholat, artinya mendirikan sholat sesuai dengan syari’at Islam. Sudah tentuk tidak hanya berupa gerak dan doa, melainkan perlu adanya penghayatan makna yang terkandung didalamnya. Sholat merupakan tiang agama, dan barang siapa yang menegakkannya maka sesungguhnya ia telah mendirika  agama, dan begitu pula sebaliknya barang siapa yang meninggalkannya, maka ia telah meruntuhkan agama. Karena sholat yang benar akan menciptakan perilaku yang mulia dan menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan yang keji.

3.    Menunaikan zakat kepada yang berhak menerimanya, sebagaimana yang tercantum dalam surah At-Taubah ayat 60. Dan dalam alqur’an apabila diperintahkan untuk mendirikan sholat selalu diiringi dengan perintah zakat. Hal ini dikarenakan ada hubungan yang sangat erat antara melaksanakan kebaktian dan kebajikan. Sebab sholat merupakan pembersih jiwa, sedang zakat merupakan pembersih harta.[3] Karena kebaktian tidak cukup dengan jiwa saja tetapi harus juga dengan harta.


4.    Menepati janji bagi yang telah mengadakan perjanjian, baik kepada Allah maupun sesama manusia kecuali janji yang bertentangan dengan syari’at Allah. Menepati janji berarti menjaga keutuhan masyarakat. Dengan demikian, akan membentuk suasana saling percaya yang dapat mengharmoniskan hubungan antar individu. Mengingkarinya berarti menimbulkan perpecahan, karena ingkar janji akan menimbulkan pertengkaran dan mengakibatkan kerusakan tatanan dalam masyarakat sekaligus menghambat laju pembangunan. Mengingat hal yang seperti ini, maka setiap individu yang hendak mengadakan perjanjian, berupaya seketat mungkin dengan syarat-syarat perjanjian yang berat yang disebabkan oleh rasa saling curiga. Sikap mereka hanyalah saling iri dan dendam.

5.    Keharusan sabar terhadap beberapa hal, yakni bersikap sabar ketika tertimpa kesengsaraan atau ketika miskin, atau tertimpa musibah. Allah mengkhususkan sabar atas hal tiga tersebut, sebab orang yang dapat bersabar dalam hal tersebut sudah barang tentu dapat bersabar terhadap hal-hal yang lainnya karena ketiga hal tersebut merupakan keadaan yang terlampau berat, dada terasa sesak, dan dapat menjerumuskan orang dalam kekafiran.

Dan mereka orang-orang yang benar-benar beriman yang terealisasikan dalam tindakan-tindakan seperti diatas bukan hanya sebatas ucapan, adalah orang-orang yang membuat benteng antara dirinya dengan murka Allah dengan cara menjalankan perintah-Nya serta meninggalkan segala larangan-Nya. Bahkan sebagian ulama berpendapat bahwa siapapun yang telah melaksanakan ayat ini, berarti ia telah mempunyai kesempurnaan iman, atau ia telah mencapai derajat tertinggai dalam keimanan.[4]




KESIMPULAN

Surah Al-Baqoroh ayat 177 termasuk sejumlah ayat al-Quran terlengkap yang menerangkan prinsip-prinsip kebaikan terpenting dari sisi keyakinan, amal perbuatan dan akhlak dalam Islam. Sebagaimana Rasulullah Saw bersabda, "Barang siapa mengamalkan ayat ini, maka sempurnalah imannya."
Dalam ayat ini turun sebagai jawaban atas kasus perdebatan antara kaum muslim dan ahli kitab tentang arah menghadap arah kiblat. Bahwasannya sembahyang seseorang tidak akan sah dan ditolak oleh Allah apabila tidak mengarahkan mukanya kearah kiblat mereka. Dan untuk itu Allah memperingatkan melalui ayat ini bahwa urusan kebajikan tidalah hanya menghadapkan mukanya kearah timur atau barat, melainkan beriman dengan iman yang sebenar-benarnya. Yakni iman kepada Allah yang disertai dengan iman kepada hari akhir, malaikat, kitab-kitab Allah, para Nabi.
Jdan iman yang demikian harus disertai dengan tindakan yang jelas dalam bentuk amal perbuatan dengan melaksanakan tugas-tugas ibadah, seperti; solat, menolong para fakir dan orang-orang yang memerlukan dalam bentuk pemberian infak dan zakat yang merupakan bagian lain dari agama.
Namun, hanya menciptakan hubungan dengan Allah dan ciptaan-Nya tidaklah cukup, tetapi pemeliharaan hubungan dengan cara yang benar dan istiqomah memerlukan pemeliharaan prinsip-prinsip akhlak seperti; kesabaran, ketabahan, kesetiaan dan komitmen terhadap seluruh perjanjian Ilahi dan insani. Ayat ini menilai seorang Mukmin yang baik selain menunaikan infak wajibnya, yaitu zakat, juga menunaikan infak tidak wajib. Berbeda dengan sebagian orang saat menolong orang-orang yang memerlukan, mereka tidak mengeluarkan lagi hak-hak wajibnya. Dan sebagian lagi mengeluarkan zakat wajib, namun acuh tak acuh terhadap orang-orang miskin.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan terjemahnya
Al-Maroghi, Ahmad Musthofa.  1974. Tafsir Al-Maroghi 2. Semarang: Toha Putra
Dewan Penyelenggara Pentafsir Al-Qur’an. 1975.  Al-Qur’an dan Tafsirnya 1. Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penerjemah/Penafsiran Al-Qur’an


[1] Ahmad Musthofa Al-Maroghi. Tafsir Al-Maroghi 2 (Semarang: Toha Putra, 1974). Hal. 97
[2]. Dewan Penyelenggara Pentafsir Al-Qur’an. Al-Qur’an dan Tafsirnya 1 (Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penerjemah/Penafsiran Al-Qur’an, 1975). Hal.309
[3] Ibid,hal. 310
[4] Ibid, Tafsir Al-Maroghi.hal 101