Wednesday 23 May 2012

AHLAK BERNEGARA



  1. Musyawarah
Setjara etimolgis, musyawarah berasal dari kata syawara yang pada mulanya bermakna mengeluarkan madu dari sarang lebah. Dan makna tersebut terus berkembang, sehingga mentjangkup segala sesuatu yang dapat diambil atau dikeluarkan dari yang lain, termasuk pendapat. Musyawarah djuga dapat berarti mengatakan sesuatu atau mengadjukan sesuatu, dan pada dasarnya musyawarah hanja di gunakan untuk hal-hal yang positive. Sedjalan dengan makna dasarnya, maka musyawarah haruslah bersifat dialogis, bukan monologis (terdapat perbuatan yang dilakukan timbal balik). Semua anggota musyawarah bebas berpendapat dan diharapkan dari prosesi musyawarah tersebut menghasilkan keputusan yang tepat.
Musyawarah sangat penting guna menciptakan peraturan di dalam masyarakat manapun. Setiap Negara maju menginginkan keamanan, ketrentaman, kebahagiaan, dan kesuksesan bagi rakyat-rakyatnya tetap memegang prinsip musyawarah ini. Maka tidak aneh jika Islam sangat memperhatikan hal tersebut sebagaimana firman-Nya:
”Dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji, dan apabila mereka marah, mereka memberi maaf. Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan sholat asedangkan keputusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rizqi yang Kami berikan kepada mereka.”(QS. Asyura 42: 37-38)
Dalam ayat tersebut menjelaskan bahwa musyawarah mempunyai martabat sesudah ibadah terpenting dan sekaligus menggambarkan bahwa musyawarah merupakan satu ibadah yang tingkatannya sama dengan shalat dan zakat.
Dalam Islam musyawarah pun ada batas-batasannya, yaitu apa-apa yang sudah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak boleh dimusyawarahkan, sebab pendapat tidak boleh mengungguli wahyu (Al-Qur’an dan As-Sunnah). Jadi Musyawarah hanyalah terbatas pada hal-hal yang bersifat ijtihadiyah.
Allah SWT mengisyaratkan  ada beberapa sikap yang harus dilakukan agar musyawarah tersebut data berjalan dengan lancar, yaitu sikap lemah lembut, pemaaf, dan mohon ampunan Allah SWT. Tanpa adanya etika tersebut, musyawarah tak akan dapat menghasilkan suatu keputusan yang bijak, bahkan dapat menimbulkan kebencian antar peserta dan hal-hal negativ yang lainnya.

  1. Menegakan Keadilan
Istilah keadilan berasal dari kata ‘adl, yang mempunyai arti antara lain sama dan seimbang. Dari pengertian di atas, keadilan dapat diartikan sebagai membagi sama banyak, atau memberikan hak yang sama kepada orang-orang atau kelompok dengan setatus yang sama. Dan ada pula yang berpendapat bahwa keadilan ialah, memberikan hak yang seimbang dengan kewajiban, dalam artian sesuai dengan  kebutuhannya.
Agama Islam sangat menekankan akan berlaku adil dan menegakkan keadilan sebagaimana dalam firman-Nya:
”Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran terhadapmu agar kamu dapat mengambil pelajaran.”(QS. An-Nahl 16: 90)
Dalam bidang hukum Islam mengajarkan bahwa semua orang dapat perlakuan yang sama dan sederajat dalam hukum, tidak ada deskriminasi hukum karena perbedaan kulit, status sosial, ekonomi, politik dll. Keadilan hukum harus ditegakkan walaupun terhadap diri  sendiri, maupun kerabat dan orang-orang yang dicintai. Dan mengingat pentingnya keadilan dalam Islam dalam mengangkat seorang hakim haruslah yang memenuhi syarat keahlian dan kepribadian. Selain memiliki wawasan yang luas seorang hakimpun dituntut untuk memiliki ahlak yang mulia, terutama kejujuran dan amanah.
Di samping keadilan dalam hukum, umat manusia khususnya umat muslim pun dituntut untuk bersikap adil dalam segala aspek kehidupan. Baik adil terhadap diri sendiri, keluarga, dalam mendamaikan perselisihan, dalam bertutur kata, bahkan adil terhadap musuh sekalipun. Dan adil terhadap segala aspek yang lain.

  1. Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Setjara harfiah amar ma’ruf nahi mungkar berarti menyuruh kepada yang baik dan mencegah dari yang mungkar. Ma’ruf secara etimologis berarti yang dikenal, sebaliknya munkar berarti yang tidak dikenal. Menurut Muhammad  Abduh, ma’ruf adalah yang dikenal (baik) oleh akal sehat dan hati nurani, sedangkan munkar adalah apa yang ditolak oleh akal sehat dan hati nurani.
Berbeda dengan Abduh, Muhammad Ali ash-Shabuni mendefinisikan ma’ruf dengan ”apa-apa yang di perintahkan oleh syara’ (agama) dan di nilai baik oleh akal, sedangkan munkar adalah apa-apa yang dilarang syara’ dan dinilai buruk oleh akal sehat.”
Dari dua pengertian tersebut, bahwa yang menjadi tolak ukur ma’ruf dan munkar adalah agama, akal sehat, dan juga nurani. Dan dari pengertian di atas ruang lingkup ma’ruf dan munkar sangat luas sekali, baik dalam aspek aqidah, ibadah, ahlak, maupun mu’amalat.
Dan amar ma’ruf nahi mungkar adalah kewajiban orang-orang yang beriman, baik secara individu maupun kolektif. Allah berfirman:
”Dan hendaklah di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, dan menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar. Merekalah orang-orang yang beruntung.”(QS. Ali ’Imron 3: 104)
Di samping itu, amar ma’ruf nahi munkar merupakan tugas yang menentukan eksistensi  dan kualitas umat Islam. Keberadaan umat Islam sebagai umat terbaik ditentukan oleh perannya dalam mengemban tugas amar ma’ruf nahi munkar tersebut. Bila tugas tersebut diabaikan, dengan sendirinya umat Islam akan terpuruk menjadi umat buruk kalau tidak yang terburuk sebagai lawan yang terbaik. Bila hal itu benar-benar terjadi, keberadaan umat Islam sama sekali tidak akan diperhitungkan oleh umat-umat yang lain. Umat muslim akan kehilangan posisi yang kokoh di atas permukaan bumi. Dan hal tersebut pun sudah mulai tampak pada realitas yang terjadi akhir-akhir ini.
Melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar tidaklah ringan, hal tersebut  merupakan tugas yang sangat berat maka diperlukannya tekad, ketegaran, dan ketetapan hati untuk melakukannya.Untuk itu umat Islam harus bersatu dan bahu membahu dalam menjalankanya. Dan hal itu juga tak hanya dilakkan oleh laki-laki, melainkan juga perempuan. Dan juga segala elemen baik tua maupun muda, miskin dan kaya, pemimpin dan rakyat dll.
Dibandingkan dengan amar ma’ruf, nahi mungkar lebih berat tingkatanya karena beresiko tinggi. Dan hal tersebut dilakukan sesuai dengan kemampuan masing-masing. Sebagaimana sabda Rosulullah SAW:
”Barang siapa di antara kalian yang melihat kemunkaran, hendaklah dia merubah dengan tangannya. Kalau tidak sanggup (dengan tangan, maka rubahlah) dengan lisannya. Dan apabila tidak sanggup (dengan lisan), maka rubahlah dengan hatinya Yang demikian itu merupakan selemah-lemah iman.”(HR. Muslim)

  1. Hubungan Pemimpin dan yang Dipimpin
Sesungguhnya dalam Islam kepemimpinan berada di tangan Allah SWT dan secara oprasionalnya dilaksanakan oleh Rosulullah SAW, dan sepeninggal beliau kepemimpinan dilaksanakan oleh orang-orang yang beriman. Hal itu dinyatakan dalam Al-Qur’an:
”Sesungguhnya pemimpin kamu adalah Allah, Rosul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yaitu yang mendirikan sholat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah).”(QS. Al-Ma’idah 5: 55)
Dari ayat di atas seorang pemimpin haruslah beriman kepada Allah SWT. Seorang pemimpin tanpa keimanan diragukan dan tidak mungkin dapat membawa umat menempuh jalan yang yang lurus. Maka dari itu, Islam melarang memilih pemimpin dari golongan orang-orang kafir. Allah berfirman:
”Janganlah orang-orang mu’min mengambil orang-orang kafir menjadi wali-wali dengan meninggalkan orang-orang mu’min. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri(siksa)-Nya. Dan Hanya kepada Allah (Kamu) kembali.”(QS.Ali ”imron 3: 28)
Dan selain itu pemimpin haruslah mendirikan sholat menunaikan zakat dan tunduk patuh kepada Allah SWT. Dan hal ini merupakan simbol kepatuhan secara mutlak dan dekat kepada Allah SWT dan Rosul-Nya yang secara kongret dimanifestasikan dengan menjadi seorang muslim yang kaffah (total), baik dalam aspek aqidah, ibadah, ahlak, maupun mu’amalat.
Sebagai umat, kepemimpinan Allah dan Rosul-Nya adalah kepemimpinan yang mutlak diikuti dan dipatuhi. Sedangkan orang-orang yang beriman adalah kepemimpinan yang nisbi (relatif) kepatuhan terhadapnya tergantung pada kualitas dan integritasnya serta arah dan corak kepemimpinannya. Kemana umat itu akan dibawa, apakah tuk menegakkan Islam atau tidak.
 Sekalipun dalam setruktur bernegara terdapat hirarki kepemimpinan yang mengharuskan umat atau rakyat patuh terhadap pemimpinnya, akan tetapi dalam kehidupan sehari-hari hubungan antara pemimpin dan yang dipimpin haruslah berlandaskan kepada prinsip-prinsip ukhuwah Islamiyah, bukan prinsip atasan bawahan dan terciptanya hubungan horisontal, sebagaimana lagu Iwan Fals: ”wakil rakyat seharusnya merakyat”. Hal yang demikian tersebut bukan melemahkan kepemimpinan, melainkan akan semakin memperkokoh, karena tidak hanya disadari hubungan formal tapi disadari juga hubungan hati yang penuh kasih sayang.

No comments: