- Musyawarah
Setjara etimolgis, musyawarah berasal
dari kata syawara yang pada mulanya
bermakna mengeluarkan madu dari sarang lebah. Dan makna tersebut terus
berkembang, sehingga mentjangkup segala sesuatu yang dapat diambil atau
dikeluarkan dari yang lain, termasuk pendapat. Musyawarah djuga dapat berarti
mengatakan sesuatu atau mengadjukan sesuatu, dan pada dasarnya musyawarah hanja
di gunakan untuk hal-hal yang positive. Sedjalan dengan makna dasarnya, maka musyawarah
haruslah bersifat dialogis, bukan monologis (terdapat perbuatan yang dilakukan
timbal balik). Semua anggota musyawarah bebas berpendapat dan diharapkan dari
prosesi musyawarah tersebut menghasilkan keputusan yang tepat.
Musyawarah sangat penting guna
menciptakan peraturan di dalam masyarakat manapun. Setiap Negara maju
menginginkan keamanan, ketrentaman, kebahagiaan, dan kesuksesan bagi
rakyat-rakyatnya tetap memegang prinsip musyawarah ini. Maka tidak aneh jika Islam sangat memperhatikan
hal tersebut sebagaimana firman-Nya:
”Dan (bagi) orang-orang yang
menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji, dan apabila mereka marah, mereka
memberi maaf. Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya
dan mendirikan sholat asedangkan keputusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah
antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rizqi yang Kami berikan
kepada mereka.”(QS. Asyura 42: 37-38)
Dalam ayat tersebut
menjelaskan bahwa musyawarah mempunyai martabat sesudah ibadah terpenting dan
sekaligus menggambarkan bahwa musyawarah merupakan satu ibadah yang
tingkatannya sama dengan shalat dan zakat.
Dalam Islam
musyawarah pun ada batas-batasannya, yaitu apa-apa yang sudah ditetapkan dalam
Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak boleh dimusyawarahkan, sebab pendapat tidak boleh
mengungguli wahyu (Al-Qur’an dan As-Sunnah). Jadi
Musyawarah hanyalah terbatas pada hal-hal yang bersifat ijtihadiyah.
Allah SWT mengisyaratkan ada beberapa sikap yang harus dilakukan agar
musyawarah tersebut data berjalan dengan lancar, yaitu sikap lemah lembut, pemaaf,
dan mohon ampunan Allah SWT. Tanpa adanya etika tersebut, musyawarah tak akan
dapat menghasilkan suatu keputusan yang bijak, bahkan dapat menimbulkan
kebencian antar peserta dan hal-hal negativ yang lainnya.
- Menegakan Keadilan
Istilah keadilan berasal dari kata ‘adl, yang mempunyai arti antara lain
sama dan seimbang. Dari pengertian di atas, keadilan dapat diartikan sebagai
membagi sama banyak, atau memberikan hak yang sama kepada orang-orang atau
kelompok dengan setatus yang sama. Dan ada pula yang berpendapat bahwa keadilan
ialah, memberikan hak yang seimbang dengan kewajiban, dalam artian sesuai
dengan kebutuhannya.
Agama Islam
sangat menekankan akan berlaku adil dan menegakkan keadilan sebagaimana dalam
firman-Nya:
”Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu)
berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kerabat, dan Allah melarang
dari perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran
terhadapmu agar kamu dapat mengambil pelajaran.”(QS. An-Nahl 16: 90)
Dalam
bidang hukum Islam mengajarkan bahwa semua orang dapat perlakuan yang sama dan
sederajat dalam hukum, tidak ada deskriminasi hukum karena perbedaan kulit,
status sosial, ekonomi, politik dll. Keadilan hukum harus ditegakkan walaupun
terhadap diri sendiri, maupun kerabat
dan orang-orang yang dicintai. Dan mengingat pentingnya keadilan dalam Islam
dalam mengangkat seorang hakim haruslah yang memenuhi syarat keahlian dan
kepribadian. Selain memiliki wawasan yang luas seorang hakimpun dituntut untuk
memiliki ahlak yang mulia, terutama kejujuran dan amanah.
Di samping
keadilan dalam hukum, umat manusia khususnya umat muslim pun dituntut untuk
bersikap adil dalam segala aspek kehidupan. Baik adil terhadap diri sendiri,
keluarga, dalam mendamaikan perselisihan, dalam bertutur kata, bahkan adil
terhadap musuh sekalipun. Dan adil terhadap segala aspek yang lain.
- Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Setjara harfiah amar ma’ruf nahi
mungkar berarti menyuruh kepada yang baik dan mencegah dari yang mungkar. Ma’ruf secara etimologis berarti yang
dikenal, sebaliknya munkar berarti yang tidak dikenal. Menurut Muhammad Abduh, ma’ruf adalah yang dikenal (baik) oleh
akal sehat dan hati nurani, sedangkan munkar adalah apa yang ditolak oleh akal
sehat dan hati nurani.
Berbeda dengan
Abduh, Muhammad Ali ash-Shabuni mendefinisikan ma’ruf dengan ”apa-apa yang di
perintahkan oleh syara’ (agama) dan di nilai baik oleh akal, sedangkan munkar
adalah apa-apa yang dilarang syara’ dan dinilai buruk oleh akal sehat.”
Dari dua
pengertian tersebut, bahwa yang menjadi tolak ukur ma’ruf dan munkar adalah
agama, akal sehat, dan juga nurani. Dan dari pengertian di atas ruang lingkup
ma’ruf dan munkar sangat luas sekali, baik dalam aspek aqidah, ibadah, ahlak,
maupun mu’amalat.
Dan amar
ma’ruf nahi mungkar adalah kewajiban orang-orang yang beriman, baik secara
individu maupun kolektif. Allah berfirman:
”Dan hendaklah di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada
kebajikan, dan menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar.
Merekalah orang-orang yang beruntung.”(QS. Ali ’Imron 3: 104)
Di samping itu, amar ma’ruf nahi munkar
merupakan tugas yang menentukan eksistensi
dan kualitas umat Islam. Keberadaan umat Islam sebagai umat terbaik
ditentukan oleh perannya dalam mengemban tugas amar ma’ruf nahi munkar
tersebut. Bila tugas tersebut diabaikan, dengan sendirinya umat Islam akan
terpuruk menjadi umat buruk kalau tidak yang terburuk sebagai lawan yang
terbaik. Bila hal itu benar-benar terjadi, keberadaan umat Islam sama sekali
tidak akan diperhitungkan oleh umat-umat yang lain. Umat muslim akan kehilangan posisi yang kokoh di
atas permukaan bumi. Dan hal tersebut pun sudah mulai tampak pada realitas yang
terjadi akhir-akhir ini.
Melakukan amar
ma’ruf dan nahi munkar tidaklah ringan, hal tersebut merupakan tugas yang sangat berat maka
diperlukannya tekad, ketegaran, dan ketetapan hati untuk melakukannya.Untuk itu
umat Islam harus bersatu dan bahu membahu dalam menjalankanya. Dan hal itu juga tak hanya dilakkan oleh
laki-laki, melainkan juga perempuan. Dan juga segala elemen baik tua maupun
muda, miskin dan kaya, pemimpin dan rakyat dll.
Dibandingkan
dengan amar ma’ruf, nahi mungkar lebih berat tingkatanya karena beresiko
tinggi. Dan hal tersebut dilakukan sesuai dengan kemampuan masing-masing.
Sebagaimana sabda Rosulullah SAW:
”Barang siapa di antara kalian yang melihat kemunkaran, hendaklah dia
merubah dengan tangannya. Kalau tidak sanggup (dengan tangan, maka rubahlah)
dengan lisannya. Dan apabila tidak sanggup (dengan lisan), maka rubahlah dengan
hatinya Yang demikian itu merupakan selemah-lemah iman.”(HR. Muslim)
- Hubungan Pemimpin dan yang Dipimpin
Sesungguhnya
dalam Islam kepemimpinan berada di tangan Allah SWT dan secara oprasionalnya
dilaksanakan oleh Rosulullah SAW, dan sepeninggal beliau kepemimpinan
dilaksanakan oleh orang-orang yang beriman. Hal itu dinyatakan dalam Al-Qur’an:
”Sesungguhnya pemimpin kamu adalah Allah, Rosul-Nya, dan orang-orang yang
beriman, yaitu yang mendirikan sholat dan menunaikan zakat, seraya mereka
tunduk (kepada Allah).”(QS.
Al-Ma’idah 5: 55)
Dari ayat di atas seorang pemimpin
haruslah beriman kepada Allah SWT. Seorang pemimpin tanpa keimanan diragukan
dan tidak mungkin dapat membawa umat menempuh jalan yang yang lurus. Maka dari
itu, Islam melarang memilih pemimpin dari golongan orang-orang kafir. Allah
berfirman:
”Janganlah orang-orang mu’min mengambil orang-orang kafir menjadi wali-wali
dengan meninggalkan orang-orang mu’min. Barang siapa berbuat demikian, niscaya
lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari
sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap
diri(siksa)-Nya. Dan Hanya kepada Allah (Kamu) kembali.”(QS.Ali ”imron 3: 28)
Dan selain
itu pemimpin haruslah mendirikan sholat menunaikan zakat dan tunduk patuh
kepada Allah SWT. Dan hal ini merupakan simbol kepatuhan secara mutlak dan
dekat kepada Allah SWT dan Rosul-Nya yang secara kongret dimanifestasikan
dengan menjadi seorang muslim yang kaffah (total), baik dalam aspek aqidah,
ibadah, ahlak, maupun mu’amalat.
Sebagai umat,
kepemimpinan Allah dan Rosul-Nya adalah kepemimpinan yang mutlak diikuti dan
dipatuhi. Sedangkan orang-orang yang beriman adalah kepemimpinan yang nisbi
(relatif) kepatuhan terhadapnya tergantung pada kualitas dan integritasnya
serta arah dan corak kepemimpinannya. Kemana umat itu akan dibawa, apakah tuk
menegakkan Islam atau tidak.
Sekalipun dalam setruktur bernegara terdapat
hirarki kepemimpinan yang mengharuskan umat atau rakyat patuh terhadap
pemimpinnya, akan tetapi dalam kehidupan sehari-hari hubungan antara pemimpin
dan yang dipimpin haruslah berlandaskan kepada prinsip-prinsip ukhuwah
Islamiyah, bukan prinsip atasan bawahan dan terciptanya hubungan horisontal,
sebagaimana lagu Iwan Fals: ”wakil rakyat seharusnya merakyat”. Hal yang
demikian tersebut bukan melemahkan kepemimpinan, melainkan akan semakin
memperkokoh, karena tidak hanya disadari hubungan formal tapi disadari juga
hubungan hati yang penuh kasih sayang.
No comments:
Post a Comment