BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Di
banyak negara, begitu juga di Indonesia, sekolah adalah lembaga yang dibentuk
oleh yang dibentuk oleh negara, demi kepentingan negara. Sebagaimana negara
menjadi cenderung konservatif, demikian juga sekolah sebagai lembaga
bentukannya cenderung tak suka berubah. Karena tuntutan zaman, banyak
organisasi yang bergerak maju dan mau berubah. Sekolah termasuk lembaga yang
paling malas berubah, atau malah cebderung tidak mau berubah. Karena itu,
sekolah pada dasarnya sulit unutk mereformasikan diri.
Karena
kelemahannya itu, sekolah terutama guru sering menjadi kambing hitam dari banyak
hal yang tidak diinginkan masyarakat. Ketika anak-anak keranjingan televisi,
sekolahlah yang bersalah karena tidak memberikan pendidikan media. Ketika
sering terjadi tawuran, sekolahlah penyebabnya karena sekolah kurang menanamkam
pendidikan nilai. Ketika masyarakat tidak mengenal jauh teknologi, sekolahlah
yang disalahkan karena kurang perhatian terhadap perkembngan zaman.
Masih
banyak lagi kesalahan yang sering ditimpakan kepada sekolah. Padahal bukan
hanya sekolah yang bertanggung jawab terhadap apa yang terjadi di dunia
pendidikan saat ini. Semua anggota mempunyai seharusnya menyadari bahwa ini
adalah tanggung jawab bersama. Pendidikan kita akan terjamin dan bermasa depan
jika taggung jawab pendidikan tidak hanya dilakukan oleh sekolah. Namun, pendidikan
harus dikembalikan kepada masyarakat. Untuk itu makalah ini akan membahas tentang bagaimana demokratisasi
pendidikan dalam rangka untuk menghadapi arus globalisasi.
B. Rumusan
Masalah
1. Apa
hakikat demokrasi dan demokratisasi pendidikan?
2. Bagaimana
demokratisasi pendidikan di
Indonesia?
3. Bagaimana
implikasi demokrasi pendidikan?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Hakikat Demokrasi dan Demokrasi Pendidikan
1. Definisi Demokrasi Pendidikan
Demokrasi
berasal dari bahasa Yunani kuno, yakni dari kata demoscratia. Demos yang berarti rakyat dan cratos yang berarti
kekuasaan atau undang-undang. Jadi demokrasi adalah kekuasaan atau
undang-undang yang berakarkan pada rakyat.
Thurdur
Baker mengatakan demokrasi adalah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Dan menurut Peter Salim, “Demokrasi adalah pandangan hidup yang mengutamakan
persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua Negara. Sedangkan menurut Zaki Badawi
berpendapat, “demokrasi adalah menetapkan dasar-dasar kebebasan dan persamaan
terhadap individu-individu yang tidak membedakan asal, jenis, agama dan bahasa.
Dan
apabila dihubungkan dengan pendidikan maka definisi demokrasi pendidikan
menurut beberapa ahli sebagaimana berikut:
a.
Dalam kamus New book of Knowledge volum
4 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan demokrasi pendidikan adalah demokrasi
yang memberikan kesempatan pendidikan yang sama kepada semua orang, tanpa
membedakan suku, kepercayaan, warna dan status social.
b.
Vebrianto
Demokrasi
pendidikan adalah pendidikan yang memberikan kesempatan yang lama kepada setiap
anak (pesert didik) mencapai tingkat
pendidikan sekolah yang setinggi-tingginya sesuai dengan kemampuannya.
c.
Sugarda Purbakatwaja
Demokrasi
pendidikan adalah pengajaran pendidikan yang semua anggota masyarakat
mendapatkan pengajaran dan pendidikan secara adil.
d.
M. Muchyidin Dimjati dan M. Roqib
Demokrasi
pendidikan adalah pendidikan yang berprinsip dasar rasa cinta dan kasih sayang
terhadap semua.
Berdasarkan
definisi diatas dapat dipahami bahwa demokrasi pendidikan merupakan suatu pandangan
yang mengutamakan hak, kewajiban dan perlakuan oleh tenaga kependidikan terhadap peserta didik dalam proses
pendidikan.
Dan
menurut Fuad Ichsan definisi demokrasi pendidikan secara luas mengandung
tiga hal, yaitu:
a.
Rasa hormat terhadap harkat sesame
manusia
b.
Setiap manusia memililiki perubahan
ke arah pikiran yang sehat
c.
Rela berbakti pada kepentingan/
kesejahteraan bersama
Dan
untuk memiliki hal tersebut maka setiap warga Negara diperlukan:
a. Suatu
pengetahuan yang cukup tentang soal-soal kewarganegaraan, ketatanegaraan,
kemasyarakatan, soal-soal pemerintahan yang penting.
b. Suatu
keinsafan dan kesanggupan suatu semangat menjalankan tugasnya, dengan
mendahulukan kepentingan Negara atau masyarakat daripada kepentingan sendiri atau sekelompok kecil manusia.
c. Suatu
keinsafan dan kesanggupan memberantaskecurangan-kecurangan dan
perbuatan-perbuatan yang menghalangi kemajuan dan kemakmuran masyarakat.
2. Prinsip-prinsip demokrasi
dalam pendidikan
Sebelum
kita melangkah kearah prinsip demokrasi dalam pendidikan alangkah baiknya kita
mengenal prinsip demokrasi terlebih dahulu, yaitu:
a. Kebebasan
b. Penghormatan
terhadap manusia
c. Persamaan
d. Pembagian
kekuasaan
Dari
prinsip-prinsip demokrasi diatas maka akan ditemukan dalam pelaksanaan
pendidikan tidak akan terlepas dengan permasalahan-permasalahan yang terkait
dengan:
a. Hak
asasi setiap warga Negara untuk memperoleh pendidikan.
b. Kesempatan
yang sama bagi warga Negara untuk memperoleh pendidikan.
c. Hak
dan kesempatan atas dasar kemampuan mereka.
Dari
prinsip-prinsip demokrasi diatas maka dapat dipahami bahwa ide dan nilai
demokrasi sangat dipengaruhi oleh alam pikiran, sifat dan jenis masyarakat
dimana ia berada. Dan dari sini dapat ditarik beberapa hal yang sangat
penting diantaranya:
a. Keadilan
dalam pemerataan kesempatan belajar bagi semua warga Negara dengan cara adanya
pembuktian kesetiaan dan konsisten pada system politik yang ada.
b. Dalam
rangka pembentukan karakter bangsa sebagai bangsa yang baik.
c. Memiliki
suatu ikatan yang erat dengan cita-cita nasional.
Dan
melihat dari hal-hal diatas, bahwa bangsa Indonesia memiliki karakteristik yang
bebeda dengan yang lainnya. Untuk itu, dalam pengemangan prinsip demokrasi
pendidikan yang harus berorientasikan pada cita-cita dan nilai demokrasi bangsa
dengan menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia sesuai dengan nilai
luhurnya, wajib melindungi dan menghormati hak asasi manusia yang bermartabat
dan berbudi pekerti luhur serta pemenuhan setiap hak warga Negara untuk
memperoleh pendidikan dan pengajaran nasional dengan mengembangakan potensi
yang dimiliki.
Pelaksanaan demokrasi pendidikan di indonesia ini sebenarnya telah
diatur sejak diproklamasikan kemerdekaan hingga masa pembangunan saat ini. hal
ini tercantum dalam:
1. UUD
45 Pasal 31:
a. Tiap-tiap
warga Negara berhak mendapatkan pengajaran.
b. Pemerintah
mengusahakan dan menyelenggarakan satu system pengajaran nasional, yang diatur
undang-undang.
2. UU
Republik Indonesia Nomor 2 tahun 1989 tentang system pendidikan Nasional:
BAB III
HAK WARGA NEGARA
UNTUK MEMPEROLEH PENDIDIKAN
Pasal 5
Setiap
warga Negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan.
Pasal 6
Setiap
warga Negara berhak atas kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengikuti
pendidikan agar meperoleh pengetahuan, kemampuan dan keterampilan
sekurang-kurangnya setara
dengan pengetahuan, kemampuan dan keterampilan tamatan pendidikan sekolah
dasar.
Pasal 7
Penerimaan
seseorang sebagai peserta didik dalam suatu satuan pendidikan diselenggarakan
dengan tidak membedakan jenis kelamin, agama, suku, ras, kedudukan social dan
tingkat kemampuan ekonomi, dan dengan tetap mengindahkan kekhususan satuan
pendidikan yang bersangkutan.
3. GBHN
di sektor pendidikan
sebagaimana berikut:
Ayat 1. Pendidikan nasional berdasarkan pancasila,
bertujuan untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia, yaitu manusia yang
beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur,
berkepribadian disiplin, bekerja keras, tangguh, bertanggung jawab, mandiri,
cerdas dan terampil serta merta jasmani dan rohani. Pendidikan juga harus mampu
menumbuhkan dan memperdalam rasa cinta terhadap tanah air, mempertebal semangat
kebangsaan dan rasa kesetiakawanan sosial. Sejalan dengan itu dikembangkan
iklim belajar da mengajar yang dapat menumbuhkan rasa percaya diri sendirinya
sikap dan perilaku yang inovatif dan kreatif. Dengan demikian pendidikan
nasional akan dapat membangun dirinya sendiri serta bersama-sama bertanggung
jawab atas pembangunan bangsa.
Ayat 8. Dalam rangka memperluas kesempatan untuk
memperoleh pendidikan perlu ditetapkan diperhatikan kesempatan belajar dan
kesempatan meningkatkan keterampilan bagi anak dari keluarga yang krang mampu,
menyandang cacat ataupun bertempat tinggal yang terpencil. Anak didik berbakat
istimewa perlu mendapat perhatian khusus agar mereka dapat mengembangkan
kemampuan sesuai tingkatan pertumbuhan pribadinya.
Dari
apa yang tercantum dalam undang-undang dan GBHN, demokrasi adalah suatu proses
untuk memberikan suatu jaminan dan kepastian
adanya
persamaan dan pemerataan kesempatan untuk memperoleh pendidikan bagi seluruh
warga Negara Indonesia.
Pendidikan
memiliki ruang lingkup yang amat sangat luas. Hal tersebut dikarenakan
pendidikan merupakan masalah yang berhubungan langsung dengan hidup dan
kehidupan manusia. Pendidikan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari
hidup dan kehidupan manusia. Hal tersebut disebabkan karena pendidikan
merupakan dasar kesuksesan bagi individu dan masyarakat. Secara umum ada
pandangan teoritis umum tujuan pendidikan, pertama pandangan yang
berorientasi pada kemasyarakatan dan yang kedua lebih berorientasi
pada individu yang lebih memfokuskan diri pada kebutuhan, daya tampung, dan
minat pelajar. Oleh karena itu mengapa pemerintah di
negara-negara maju sangat memperhatikan pendidikan. Hal itu disebabkan oleh
anggapan mereka tentang adanya kekuatan besar dalam pendidikan untuk
meningkatkan kemampuan individu dan juga masyarakat dalam rangka mencapai
kehidupan yang lebih maju dan sejahtera.
Hubungan antara demokrasi dan pendidikan sangat erat
dan bersifat saling member dan saling membutuhkan. John Dewey mengatakan:”Democracy has to be born anew each
generation and education is it’s midwife”. Dan menurut Dewey pula,
pendidikan tanpa demokrasi akan menjadi kering, menjemukan dan merana.
Demokrasi adalah system bentuk kehidupan social yang ditandai dengan kontak
interaksi yang terbuka diantara warga masyarakat. Kontak-kontak interaksi ini
memungkinkan setiap individu mendapatkan pengalaman yang tidak terbatas.
Pengalaman yang diperoleh masing- masing individu ada hakikatnya merupakan
pendidikan, sehingga masing-masing individu akan mampu mengembangkan pengalaman
yang diperoleh dan dapat memperhitungkan pengalaman baru yang akan diperoleh
sebagai hasil mendapatkan pengalaman sebelumnya. Tanpa kontak interaksi tidak
akan ada pengalaman, dan tanpa pengalaman tidak ada learning. Dan berikutnya, tanpa ada learning kontak-kontak
interaksi social sangat terbatas dan pada gilirannya akan membatasi terwujudnya
demokrasi.[1]
Demokratisasi
pendidikan adalah implikasi dari dan sejalan dengan kebijakan mendorong
pengelolaan sektor pendidikan pada daerah, yang implementasinya di timgkat
sekolah. Gagasan demokratis ini didasari oleh pertimbangan yang simpel, yakni
memperbesar partisipasi masyarakat dalam pendidikan, tidak sekedar dalam konteks retribusi
uang sumbangan pendidikan. Kemudian, gagasan demokratisasi juga dikembangkan
dengan sebuah
paradigma baru tentang pelibatan siswa dalam proses pembelajaran, yang juga
memberi kesempatan dalam menentukan aktivitas belajar yang akan mereka lakukan.
Pendidikan
demokrasi merupakan proses sepanjang
hayat. Bermula dari pendidikan keluarga,di dalam masyarakat, di sekolah dasar
hingga sekolah menengah, diteguhkan di perguruan tinggi untuk dilanjutkan
sebagai pola hidup dalam berkarya. Pedidikan demokatis hanya dapat berlangsung
dengan lancar apabila kondisi lingkungan juga demokratis.[2]
Artinya, orangtua, masyarakat, guru, karyawan, kepala sekolah juga memiliki
pola hidup demokraris.
B. Demokrasi
Pendidikan di Indonesia
Gloabalisasi adalah suatu keniscayaan yang takkan
terhindarkan. Dan bangsa Indonesia harus mengarungi arus globalisasi tersebut.
Membabi buta dan membebek pada globalisasi akan menjadikan pecundang dalam
proses globalisasi. Sebagaimana yang dikutip oleh Zamroni dari Gibson-Graham
globalisasi meruapakan suatu konsep yang sudah masuk dalam pikaran masyarakat,
dan merupakan suatu fenomena yang mengandung suatu perubahan yang bersifat
majemuk dan drastis dalam keseluruhan aspek kehidupan masyarakat, khusunya aspek
ekonomi, politik dan kultural.
Dari aspek ekonomi,perekonomian di Indonesia bergerak
ke arah perdagangan bebas, hal ini memperbesar peran tangan-tangan asing untuk
menentukan nasib negara-negara miskin. Aspek social politik Indonesia bergerak
dari sentralisasi kearah desentralisasi, kehidupan politik dan masyarakat
semakin demokratis, kebebasan berpendapat dan berserikat semakin berkembang,
dan pers semakin kokoh. Aspek cultural ditunjukan dengan adanya perubahan
perilaku masyarakat termasuk dalam berkonsumsi. Semakin deras aliran informasi
antar bangsa dan semakin intensnya komunikasi yang terjadi baik dalam sekala
nasional maupun internasional.[3]
Globalisasi berdampak luas menyusup dalam segala aspek
kehidupan masyarakat. Dampak tersebut mengakibatkan semakin terpuruknya
Negara-negara berkembang dan semakin mengokohkan Negara-negara maju. Hal ini
dikarenakan negara-negara maju memegang monopoli lima bidang yakni, teknologi,
pasar uang dunia, kekuasaan untuk memanfaatkan sumberdaya alam, media komunikasi,
senjata penghancur masal. Dan bagaimanakah dampak globalisasi ini pada
pendidikan?
Memasuki abad ke-21 isu tentang perbaikan sektor
pendidikan di Indonesia mulai mencuat ke permukaan. Bahkan upaya advokasi untuk
jalur pendidikan yang dikelola oleh beberapa departemen teknis, dengan tuntunan
social equity sangat kuat, karena
semua jenis, jalur dan jenjang pendidikan merupakan unsur-unsur yang memberikan
kontribusi terhadap rata-rata hasil pendidikan secara nasional. Dengan
demikian, kelemahan proses dan hasil pendidikan dari jalur pendidikan akan
mempengaruhi proses indeks keberasilan pendidikan secara keseluruhan.[4]
Bersamaan dengan hal itu, prestasi pendidikan di
Indonesia tertinggal jauh di bawah negara-negara lainnya, baik dalam aspek
angka partisipasi pendidikan, maupun rata-ratanya lamanya setiap anak
bersekolah. Bahkan dilihat dari indeks SDM, yang salah satu indikatornya adalah
sector pendidikan, posisi Indonesia kian turun dari tahun ke tahun. Padahal
Indonesia kini sudah menjadi bagian dari masyarakat dunia. Lemahnya SDM hasil
pendidikan berdampak pada lambannya Indonesia bangkit dari keterpurukannya
dalam sektor ekonomi yang merosot secara signifikan pada tahun 1998. Hal ini
diakibatkan oleh kekeliruan dalam pembangunan yang berjalan cukup lama pada
masa orde baru yang menekankan pada pembangunan fisik dan kurang memperhatikan
pembinaan sumber daya manusia. Dan hal tersebut berdampak besar terhadap
perkembangan pendidikan.
Globalisasi
merambah dunia pendidikan melalui beberapa bentuk. Pertama, efisiensi
dan dan produktifitas tenaga kerja senantiasa dikaitkan latar belakang
pendidikan yang dimiliki. Kedua, terjadi pergeseran kurikulum yang bersifat child centered atau subject centered berubah kearah kurikulum yang bersifat economy-centered vocational training.
Ketiga, pendidikan bergeser dari pelayanan umum menjadi komoditas ekonomi.
Akibatnya peran, kemampuan dan tanggung jawab pemerintah semakin terbatas.
Hal tersebut membentuk pola pikir materialistic
terhadap masyarakat, yang menimbulkan konsekwensi pendidikan bahwa segala aspek
pendidikan akan diarahkan dan difokuskan untuk mengembangkan pertumbuhan
ekonomi sehingga hal-hal yang bersifat noneconomic akan dikesampingkan. Dan hal
ini akan membentuk focus lembaga pendidikan
pada client dan customer yang memiliki arti “donator”. Sehingga lembaga pendidikan
akan senantiasa didikte oleh kekuatan penyandang dana dan tidak lagi
mempersoalkan masalah etika dan pengkajian yang kritis.[5]
Selain itu lembaga-lembaga pendidikan akan dipegang oleh orang-orang yang
mempunyai modal, dan orang-orang yang kurang mampu akan mendapatkan pendidikan
yang ala kadarnya. Dan terciptalah suatu pandangan bahwa pendidikan milik orang
yang berduit. Dapat dilihat dari Indikasinya, yakni bisnis pendidikan mulai dirasakan. Maraknya
pembukaan program ekstensi atau non-reguler di PTN (Perguruan Tinggi Negeri)
ada kecenderungan untuk memperoleh dana ketimbang untuk demokratisasi
pendidikan. Sehingga pendidikan semakin elitis. Membesarnya pemungutan biaya
yang relatif tinggi tampaknya belum diikuti dengan peningkatan mutu pendidikan.
Karena nuansa bisnisnya semakin menguat, maka orang juga mulai mempertanyakan
eksistensi lembaga pendidikan sebagai
lembaga pelayanan publik. Fenomena lain berbagai gedung pendidikan
beralih fungsi menjadi pusat bisnis.
Masalah mahalnya
pendidikan antara lain disebabkan kurang adanya komitmen dari pemerintah maupun
partai politik untuk memprioritaskan bidang pendidikan. Ini terlihat dari
anggaran pendidikan yang sangat minim. Negara sebagai penanggung jawab utama
pendidikan nasional seharusnya menyediakan fasilitas pendidikan yang realistik
dan memadai. Secara normatif dalam sejarah pernah ada kebijakan negara yang
mengamanatkan anggaran pendidikan 25% dari APBN (Tap MPRS No. XXVII
/MPRS/1966). Begitu pula di era reformasi UUD 1945 mengamanatkan anggaran
pendidikan 20 % dari APBN. Dalam kenyataan empirik dana pendidikan dewasa ini
diperkirakan hanya sekitar 4 % dari APBN.
Pendidikan Indonesia
telah didominasi politik yang merupakan akibat adanya transisi politik dari
system otoriter ke system demokrasi. Pendidikan yang semula dikelola secara
sentralisasi berubah kea rah system desentralisasi. Dan kewenangan pengambilan
keputusan didistribusikan ke pemerintah propinsi, pemerintah kota bahkan
didistribusikan lansung ke sekolah. Hal ini diharapkan akan lebih sesuai dengan
kebutuhan sekolah dan dapat meningkatkan proses demokratisasi dengan mendorong
partisipasi masyarakat. Akan tetapi terdapat berbagai hambatan yang terutama
disebabkan oleh kalangan birokrat sendiri yang disebabkan mereka ini tidak
memahami dengan benar hakekat desentralisasi pendidikan. Bisa disebut kontra
produktif dengan upaya demokratisasi.
Disamping itu, dunia
pendidikan Indonesia masih terjerat pada hal-hal teknis, warisan dari orde
baru, seperti penekanan yang berlebihan terhadap standar yang dicapai peserta
didik, kualitas kelulusan harus dapat diukur dan diperbandingkan baik didalam
sekolah, propinsi, maupun luar propinsi, dan menegakkan disiplin atasperaturan-peraturan
yang bersifat birokratis dari pada edukatif.
Selain itu, selama ini
pendidikan menanamkan pandangan bahwa belajar adalah untuk menghadapi ujian.
Ujian merupakan derajat tertinggi yang harus dikuasai dan dilalui. Makna
belajar sudah menjadi semakin sempit dan dangkal. Pendidikan melupakan betapa
pentingnya memperhatikan dan memberikan penghargaan kepada peserta didik dalam
rangka mengembangkan potensi yang dimiliki masing-masing individu secara
optimal.
Dalam pergerakan arus globalisasi, pendidikan di
Indonesia menghadapi dua masalah besar sekaligus, yakni persoalan internal dan
eksternal. Secara internal pendidikan di
Indonesia masih dihadapkan dengan synergy beragai regulasi yang dihasilkan,
lemahnya synergy berbagai kebijakan system yang telah dihasilkan oleh
pemerintah. Sedangkan secara eksternal, berbagai tantangan dan peluang justru
menunggu peningkatan kualitas hasil pendidikan agar mereka kopentitif. Dan
untuk itu pendidikan di Indonesia ditutut untuk menghasilkan lulusan yang kopetitif
yang memiliki skill, keterampilan dan keahlian yang sesuai dengan kebutuhan
pasar.
Skill dan keterampilan adalah hak semua anak bangsa,
semua siswa berhak memperoleh keterampilan, dan skill untuk memasuki pasar
tenaga kerja sebagaimana mereka juga berhak untuk memasuki jenjang pendidikan
yang stinggi-tingginya. Untuk itu, lembaga pendidikan harus mempersiapkan para
siswa dengan berbagai pengalaman, wawasan, keterampilan serta basis keilmuan
yang memadai. Sekolah bukanlah sebuah formalitas untuk memiliki ijazah,
melainkan proses penguatan kompetensi.
C. Implementasi
demokrasi pendidikan
1.
Demokratisasi
Pendidikan
Nilai-nilai dan cita-cita demokrasi, dalam era modern,
merebak hampir bersamaan dengan revolusi industry. Karena sudah bukan hal yang
tabu, revolusi industry melahirkan berbagai perubahan dalam kehidupan, baik
lingkup keluarga dan dalam hubungan kerja yang menyebabkan kehidupan yang
bersifat individualistic, sehingga masyarakat memerlukan tatanan social yang
baru yang harus dikembangkan berdasarkan nilai-nilai dan cita-cita demokrasi.[6]
Untuk membentuk lembaga pendidikan yang sesuai dengan
proses globalisasi harus melakukan berbagai upaya dengan mengadaptasi argument
William J. Mathis, yaitu:
a.
Perubahan
pola pikir masyarakat akibat demokratisasi yang terus berpenetrasi pada seluruh
aspek kehidupan, sehingga sekolah harus mampu memberikan layanan kepada
masyarakat konstituennya secara fair, karena mereka adalah stake holder-nya, dan sekaligus client
dari sekolah tersebut. Masyarakat adalah konstributor terhadap sekolah, dan
mereka memiliki hak untuk dilayani.
b.
Perubahan
dunia semakin cepat, dan para siswa harus dipersiapkan untuk menghadapi
berbagai perubahan tersebut. Tantangan terdepan adalah keragaman permintaan
pasar, dan sekolah harus mampu mempersiapkan orang-orang yang mengisi kebutuhan
tersebut. Dan sumber daya manusia yang diterima oleh sekolah juga mengandung
keberagaman, sehingga tidaklah fair apabila semua siswa harus memiliki hanya
satu keterampila yang sama.
c.
Kemajuan
tekhnologi dalam semua sector industry dan pelayanan akan menggeser posisi
manusia. Dengan demikian pendidikan harus mempersiapkan SDM agar tidak tergeser
oleh alat-alat modern tersebut.
d.
Peranan
wanita semakin menguat dan posisi wanita tidak lagi marginal. Mereka memiliki
hak dan peluang yang sama dalam hal pekerjaan dan karir. Tidak ada deskriminasi
atas dasar gender.
e.
Pemahaman
doktrin keagamaan kian terbuka dan inklusif. Agama tidak menjadi halangan untuk
kemajuan, tetapi justru mendorong perubahan-perubahan untuk perbaikan.
f.
Pekembangan
ekonomi yang semakin mengglobal dan peran media masa yang semakin menguat.
Dari gambaran diatas dapat kita suatu upaya dalam
demokratisasi pendidikan. Peran pendidikan dalam mewujudkan demokratisasi
adalah mengembangkan kepribadian dan watak individu bagi terwujudnya warga
Negara yang baik. The Association for Education in Citizenship (1947)
menegaskan bahwa setiap peserta didik hendaknya:
a.
Diberikan
kesempatan penuh mengembangkan dirinya sendiri sebagai seorang individu yang
memiliki kepribadian sehingga mampu menikmati hidupnya dengan mengembangkan
kemampuannya sendiri dan dapat hidup sesuai dengan realita yang dihadapi.
b.
Memiliki
kemampuan memainkan peran peran social dan politik secara aktiv sebagai warga
masyarakat.
c.
Disiapkan
dengan kemapuan untuk melaksanakan pekerjaan sesuai dengan minat dan
interesnya.
d.
Dikembangkan
kemampuannya untuk dapat berkomunikasi secara efektif dengan masyarakat dan
budayanya dengan senantiasa meningkatkan kemampuan dan kreativitasnya.
Dalam kaitannya dengan pendidikan demokrasi, Snauwaret
(2001) berpendapat bahwa pendidikan deokrasi senantiasa harus berdasarkan diri
terhadap prinsip-prinsip kemanusiaan, dan menitik beratkan pada tujuan untuk
mengembangkan pada diri peserta didik emphaty, respek pada yang lain, dan
memiliki pandangan sebagai warga Negara, bangsa dan global.
Demokrasi suatu system social politik yang menekankan
bahwa kebebasan individu harus disertai tanggung jawab. Oleh karena itu,
demokrasi senantiasa menekankan keberadaan pendidikan yang memadai untuk
mengembangkan sikap dan perilakudisiplin warga bangsa. Tanpanya, kebebasan yang
dimiliki warga harus dibayar dengan mahal dan akan menciptakan anarki.[7]
Demokrasi yang didasarkan pada keyakinan akan martabat
dan kehormatan setiap individu hanya akan berhasil apabila didampingi dengan
pendidikan yang bertujuan mengembangkan manusia seutuhnya. Oleh karena itu,
pendidikan demokrasi harus menekankan pada pengembangan intelektual skill yang
ditekankan pada critikcal thinking peserta didik, personal skill dikembangkan
pada percaya diri dan political self efficacy, dan social skill ditekankan
empati dan respek pada orang lain, kemampuan untuk berkomunikasi dan memiliki
toleransi. Dan hal ini akan terjadi apabila sekolah dapat menstransfer
pengajaran yang bersifat akademis sempit kedalam realitas kehidupan yang amat
luas di masyarakat.
Dan secara singkatnya, pendidikan demokrasi memiliki
empat tujuan:
1.
Mengembangkan
kepribadian peserta didik sehingga memiliki sikap empati, respek, toleransi dan
kepercayaan pada orang lain.
2.
Mengembangkan
kesadaran selaku warga suatu bangsa dan warga dunia.
3.
Meningkatkan
kemampuan mengambil keputsan secara rasional efisiensi individu.
4.
Meningkatkan
kemampuan berkomunikasi diantara sesama warga.
Pendidikan untuk demokrasi memerlukan dua hal: kultur
sekolah dan kurikulum, khususnya ilmu pengetahuan social yang memadai untuk
mengembangkan demokrasi. Kultur sekolah dan dinamika hubungan serta interaksi
yang terjadi disekolah merupakan factor yang amat penting bagi setiap peserta
didik untuk menghayati the way of life dan
nilai-nilai yang mempengaruhi hubungan antar pribadi diantara mereka. Dan
pendidikan demokrasi akan berjalan apabila sekolah itu sendiri bersifat
demokratis, memiliki kultur demokrasi yang mengilhami nilai-nilai, cita-cita,
prinsip-prinsip yang akan mendorong setiap warga sekolah dalam praktek
sehari-hari akan mencerminkan suatu kehidupan social yang demokratis. Selain
itu kurikulum sebagai jantung pendidikan
harus memberikan kesempatan peserta didiki untuk memperoleh pengalaman untuk
mengembangkan watak, keyakinan, cita-cita, dan sikap serta perilaku yang cocok
dengan nilai-nilai demokrasi.[8]
2. Pengembangan demokratisasi
kurikulum
Kurikulum
yang bisa mengantarkan siswa sesuai dengan harapan idealnya bukan hanya
kurikulum yang dipelajari saja tatapi merupakan kurikulum yang secara teoritis
bisa mempengaruhi siswa, baik menyangkut lingkungan sekolah, suasana kelas,
pola interaksi guru dan siswa dalam kelas, bahkan pada kebijakan dan menanjemen
sekolah secara lebih luas. Kurikulum merupakan jantung pendidikan. Sehingga
kurikulum selalu mengalami pengembangan agar kemampuan siswa dapat sesuai
dengan tuntutab dan tantangan perkembangan zaman.
Kurikulum
pada dasarnya berintikan empat aspek utama yaitu : tujuan-tujuan pendidikan,
isi pendidikan, penglaman belajar, dan penilaian. Interelasi antara keempat
aspek tersebut serta antar aspek-aspek tersebut dengan kebijakan pendidikan
perlu selalu mendapat perhatian dalam pengembngan kurikulum[9].
Pengembangan
kurikulum merupakan proses yang komplek terdiri dari berbagai kegiatan
mengakses kebutuhan, mengidentifikassi harapan hasil belajar, mempersiapkan
proses pembelajaran untuk mencapai outcome hasil belajar dan menyesuaikan
program pembelajaran dengan budaya, sosial dan berbagai kebutuhan orang-orang
yang untuk merekalah kurikulum tersebut disiapkan[10].
Dalam pengembangan kurikulum terdapat berbagai aspek yang harus dianalisis
antara lain
a. Kebijakan,
yakni kebijakan pokok tentang kurikulum itu sendiri yang meliputi tujuan,
struktur kurikulum dan prosedur penyusunan kurikulum.
b. Standar
kelulusan yang diharapkan serta pencapainnya. Keduanya harus dianalisis untuk
mencari kesenjangan antara keduanya.
c. Mengakses
berbagai opsi rumusan tujuan dengan orang-orang terkait untuk menetapkan
prioritas yang akan dijadikan rumusan akhir dalam kurikulum.
Pengembangan
kurikulum harus didasarkan pada hasil analisis terhadap berbagai permintaan
klien. Klien utama sekolah adalah siswa, merekalah yang harus dipertimbangkan dalam pengembangan kurikulum, dengan menganalisis
tingkat usia, kemampuan intelegensi, latar belakang yang terkait dengan
pengembangan kurikulum pada mata pelajaran tertentu, arah kompetensi yang akan
diberikan, cita-cita ke depan serta berbagai permasalahan yang dihadapi siswa.
Selain
siswa, masyarakat juga berpengaruh dalam pengembangan kurikulum. Yakni
masyarakat yang lekat dengan sekolah yaitu orang yang menginspirasi sekolah dalam
menyusun kurikulumnya untuk
konservasi maupun perubahan ke arah kemajuan[11].
Kendatipun demikian, aspek konsep keilmuan tidak bisa dikorbankan. Pengembangan
kurikulum harus tetap memperharikan struktur kelimuan, karena siswa harus
diberi pelajaran yang benar dalam setiap bidang ilmu, sehingga mereka memiliki
peluang untuk mengembangkan ilmu tersebut.
Pengembangan
kurikulum merupakan tugas rutin dari sekolah, karena harus dilakukan secara
reguler, berkala dan konsisten. Oleh sebab itu, sekolah harus mempunyai tim
yang bertanggung jawab dalam pengembangan
kurikulum. Mereka harus banyak menyerap banyak informasi dari siswa, orangtua
serta berbagai kalangan terkait dengan kurikulum sehingga mampu merekontruksi
kurikulum sekolah yang mempunyai validitas dengan dukungan masyarakat yang
sangat kuat. Hasil kajian tim inilah yang akan diimplementasikan oleh guru
dalam kelas.
3. Manajemen
Berbasis Sekolah
Manajemen
berbasis sekolah merupakan salah satu isu yang kuat didorong ke permukaan dalam
konteks implementasi. Keberhasilan manajemen berbasis sekolah di bebrapa negara
maju kini mulai nampak pada negara-negara berkembang,bahkan Indonesia yang kini
sedang melakukan reformasi pendidikan, mengangkat konsep manajemen berbasis
sekolah sebagai salah satu paket dari paket reformasi pendidikan.
Menurut
Joseph Murphy manajemen berbasis sekolah merupakan sebuah proses formal yang
melibatkan kepala sekolah, guru, siswa, orangtua, dan masyarakat yang berada
dekat dengan sekolah[12].
Dalam proses pengambilan berbagai keputusan.manajemen berbasis sekolah ini
diadopsi dan diangkat ke permukaan sebagai sebuah subsitusi terhadap pola
pengambilan berbagai kebijakan pengembangan sekolah, dari mulai kurikulum,
strategi, evaluasi dan berbagai sarana pembelajaran lainnya, yang semula lebih
banyak ditentukan oleh pemerintah pusat atau daerah. Dalam manajemen berbasis
sekolah, semua itu lebih banyak digagas oleh sekolah.
Kewenangan
sekolah unutk secara otonom memutuskan sendiri bersama mitra horisontalnya ada
lima perkara, yaitu :
a.
Perumusan berbagai tujuan merupakan
otoritas yang seharusnya diotonomisasikan pada sekolah, karena sekolah sangat
mengetahui apa yang harus diperbaiki, ditingkatkan atau diadakan serta
dikembangkan.Dalam pola manajemen berbasis sekolah, penyusunan program-program
strategis yang harus berbasis pada kenyataan sekolah dan harapan-harapan klien,
analisis kebutuhan dan permintaan klien harus dilakukan dengan menganalis
kebutuhan dan permintaan stage holder
sekolahnya sendiri
b.
Pembiayaan merupakan jantungnya manajemen
berbasis sekolah. Kontrol terhadap kurikulum dan personalia sangat tergantung
pada keuangan.
c.
Personalia yakni kewenangan sekolah
untuk menentukan rencana pengadaan, serta pembinaan tenaga yang ada, karena
sekolahlah yang paling tahu kebutuhan tenaga pengajarnya.
d.
Kurikulum. Biasanya pembiayaan disusun
untuk mendukung pelaksanaan kurikulum yang disusun oleh pemerintah pusat. Dalam
manajemen berbasis sekolah otonomi dilakukan secara totalitas termasuk
kurikulum. Namun, tampaknya Indonesia belum mampu sepenuhnya melepas penyusunan
kurikulum pada sekolah. Depdiknas telah menyiapkan outline tentang kompetensi
yang harus dijangkau beserta indikator kompetensinya, dengan tetap memberi
ruang pada sekolah unutk mengembngkan keunggulannya.
e.
Struktur organisasi yang mendukung
terhadap proses pendelegasian kewenangan tersebut,agar ada divisi yang dapat
melakukan pengelolaan sarana dan prasarana, pengembngan teknologi dalam
pelayanan adsminitrasi maupun sumber belajar. Sehingga sekolah mampu berkembang
serta maju seiring kemajuan teknologi.
Dalam
manajemen berbasis sekolah, masyarakat mempunyai peran penting dalam
pengembangan sekolah. Terdapat dua kategori masyarakat sekolah, yaitu pertama,
unsur-unsur sekolah, yang jika salah satu unsur tersebut tidak ada maka proses persekolahan
menjadi terganggu. Inilah yang bias disebut stage
holder.oleh sebab itu, dalam konotasi ini kepala sekolah, guru, orangtua
siswa, siswa dan pemerintah termasuk di dalamnya.
Yang
kedua adalah unsur-unsur yang diharapkan daat memberi masukan dalam
pengembangan program sekolah, pengembangan kurikulum dan pengembangan dan
pembinaan personil sekolah. Kelompok inilah yang disebut dengan komite sekolah.
Keanggotaan komite sekolah bervariasi. Ada yang hanya memperluas stage holder
dengan unsur pakar dan tokoh masyarakat setempat dan ada lagi yang lebih
pro-posional sehingga tidak semua unsur stage holder memiliki perwakilan dalam
komite sekolah.
Tugas
komite sekolah antara lain sebagai berikut :
a. Mengembangkan
akses sekolah pada bidang dana.
b. Mengembangkan
budgetting sekolah dalam konteks
pengembangan kemampuan pembiayaan untuk mendanai program sekolah.
c. Memutuskan
struktur anggaran sekolah.
d. Berpatisipasi
dalam pemilihan kepala sekolah dan wakil kepala sekolah
e. Ikut
serta dalam curah pendapat tentang kurikulum dalam konteks peningkatan kualitas
hasil pembelajaran dan memberikan masukan-masukan pada sekolah tentang
kualifikasi kompetensi siwa yang akan dihasilkan sekolah.
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Demokrasi
pendidikan merupakan suatu pandangan yang mengutamakan hak, kewajiban dan
perlakuan oleh tenaga kependidikan
terhadap peserta didik dalam proses pendidikan. Dan demokrasi dalam pendidikan mengfandung unsur:
1. Hak
asasi setiap warga Negara untuk memperoleh pendidikan.
2. Kesempatan
yang sama bagi warga Negara untuk memperoleh pendidikan.
3. Hak
dan kesempatan atas dasar kemampuan mereka.
Demokratisasi pendidikan di Indonesia diatur dalam UUD
45 Pasal 31, UU
Republik Indonesia Nomor 2 tahun 1989 tentang system pendidikan Nasional dan GBHN di sector pendidikan.
Masuknya era globalisasi banyak mempengaruhi segala
aspek kehidupan masyarakat, tak terkecuali dalam bidang pendidikan. Pendidikan
merupakan hak segala bangsa, dan dengan derasnya arus globalisasi, pendidikan
dituntut untuk mampu menghasilkan orang-orang yang memiliki skill, keterampilan
dan keahlian yang mampu bersaing dalam kehidupan global.
Demokratisasi pendidikan dapat terlihat pada
pengembangan kurikulum sekolah dimana dalam pengembangan kurikulum tersebut
masyarakat dilibatkan secara langsung dalam pengembangan dan pengambilan
keputusan. Namun upaya tersebut tidak akan efektif membawa perubahan tanpa
didukung dengan pola pengelolaan yang sesuai. Oleh sebab itulah, model
manajemen yang harus dikembangkan adalah manajemen yang demokratis,yang memperbesar
keterlibatan teamwork dalm perencanaan dan pengambilan keputusan.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Syamsul. 2001. Paradigma Pendidikan Berbasis Plralisme dan Demokrasi. Malang: UMM
Press
Ihsan, Fuad. 2008. Dasar-dasar
Kependidikan. Jakarta: Rineka Cipta
Ramayulis. 2008. Ilmu
pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia
Rosyada, Dede. 2007. Paradigma Pendidikan Demokratis. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group
Shindunata.2000. Menggagas
Paradigma Baru Pendidikan. Yogyakarta: kanisius
Sukmadinata, Nana Syaodih.2010.Pengembangan Kurikulum.Bandung: Remaja Rosda Karya
Zamroni. 2007. Pendidikan
dan Demokrasi Dalam Transisi. Jakarta: PSAP
[1] Prof.
Zamroni Ph. D, Pendidikan dan demokrasi dalam transisi, (Jakarta: PSAP , 2007), hal.46
[2]
Sindhunata,Menggagas paradigma
Baru pendidikan,(Yogyakarta, kanisius) hal 51
[4]
Prof. Dr. Dede Rosyada, MA, Paradigma
Pendidikan Demokratis, (Jakarta: Kencana Media Group, 2007), hal 1
[5] Prof.
Zamroni Ph. D, Op.cit, hal 7
[9] Nana syaodih Sukmadinata,Pengembangan Kurikulum,(Bandung,Remaja
Rosda Karya) hal 152
No comments:
Post a Comment