Tuesday 29 May 2012

FILOSOFIS/PEMIKIRAN MUHAMMAD IQBAL



1.      Bidang Kenegaraan (Politik)

Pemikiran Iqbal di bidang kenegaraan, dalam mewujudkan agama Islam, dimulai ketika ia dipilih menjadi Presiden Liga Muslimin tahun 1930.
Dalam masalah politik dan kenengaraan, banyak juga gagasan-gagasan yang disumbangkan Iqbal. Pemikiran Iqbal mengenai negara misalnya, ia mengisyaratkan bahwa negara Islam merupakan suatu masyarakat yang keanggotaannya berdasarkan keyakinan agama (the relegious faith) yang sama, dan bertujuan untuk merealisasikan suatu kebebasan (freedom), persamaan (egality), dan persaudaraan (brotherhood).
 Dengan konsep seperti ini, ia menolak gagasan nasionalisme wilayah yang dianggapnya bertentangan dengan persaudaraan secara universal sebagaimana yang ditegakkan Rasulullah SAW. Nasionalisme menurut Iqbal, merupakan suatu alat yang bisa digunakan untuk memecah belah dunia muslim yang akan berakibat pada adanya pemisahan sesama manusia, terjadinya perpecahan antar bangsa-bangsa dan adanya pemisahan agama dari politik. Islam menurutnya bukan lah nasionalisme, bukan pula imperialism, tapi sebagai Liga Bangsa-Bangsa. Dari sisnilah cikal bakal lahirnya Negara Islam.
Iqbal mendapat dukungan dari seorang politikus berpengaruh dari kalangan Islam, yaitu Muhammad Ali Jinnah. Iqbal mengemukakan gagasannya untuk mendirikan Negara Pakistan, dan itu diakui oleh Jinnah bahwa datangnya dari Iqbal, hal tersebut untuk menjawab kalangan yang melontarkan tentang keraguan mengenai ide kenegaraan. Iqbal bersama Jinnah bahu membahu mengemukakan gagasan tersebut dalam setiap kesempatan, dan bukti tersebut dapat terlihat dalam sejarah, dengan berdirinya Negara Pakistan.




2.      Bidang Ke-Islaman

Pemikiran Iqbal di bidang ke-Islaman secar umum, mula-mula ia melihat factor kemunduran Islam banyak ditentukan oleh pelaksanaan hukum Islam. Sebagai ahli hukum , menurutnya umat Islam mundur karena cenderung melaksanakan hukum secara statis dan konservatif. Kelompok konservatif menuduh golongan pemikir rasionalis Mu’tazilah sebagai biang perpecahan umat Islam.
Akibat dari garakan tersebut , lahirlah pemikiran yang menutup pintu ijtihad. Para ulama yang memiliki pengaruh dan kekuasaan di bidang agama, menganggap kalau dibiarkan umat Islam bebas berfikir yang berkenaan dengan syari’at, akan membuat mereka makin terpecah belah. Akhirnya ijtihad diberhentikan dari konsep hukum Islam. Dan hukum Islampun menjadi mandeg dan statis.[1]
Iqbal mengkritik pemikiran sufis yang ekstrim, yaitu dalam konsep zuhud.. Menurutnya , zuhud yang dikumandangkannya tersebut ternyata telah menarik perhatian umat Islam yan hanya terfokus pada akhirat. Sehingga mengabaikan kepentingan duiawi. Keadaan demikian telah mengubah masyarakat yang aktif-dinamis, menjadi pasif-statis. Seyogyanya , berdasarkan prinsip Al-Quran dan Al-Hadis, Islam itu bersifat “dinamis”. Syair-syair Iqbal memang berisi gugatan dan gugahan yang menderu dalam membangkitkan semangat umat Islam. Salah satu pendapatnya yang brilian adalah, orang kafir yang aktif-dinamis lebih baik daripada orang Muslim yang suka tidur. Dengan demikian, segala kritik dapat dilontarkannya ke semua penjuru, baik kawan maupun lawan.

3.      Menghargai Alam Fisik

Inti pemikiran Iqbal adalah menghargai alam fisik, menghargai diri manusia dan pengukuhan unsur rohani dalam kehidupan manusia. Iqbal melihat kelemahn umat Islam sebagai individu dan jama’ah, adanya kebekuan pemahamna umat Islam terhadap agamanya. Iqbal terus memotivasi manusia yang lemah dan pasif tersebut untuk terus berusaha dalam kehidupan dengan kekuatannya. Iqbal memang seorang tokoh yang memiliki wawsan intelektual dan intelegensia yang luar biasa.
Maksud dari alam fisik, karena melalui pemikiran tersebut mengikis ketakutan umat Islam menghadapi kehidupan duniawi yang merupakan dampak ajaran paham sufisme. Suatu kekeliruan apabila ajaran Islam mengharuskan menjauhi kehidupan fisik, sebab cirri ajaran Islam adalah keseimbangan antarea kehidupan duniawi dan ukhrowi.. Dalam Islam pun mengajarkan bahwa “seorang mukmin yang kuat lebih baik daripada seorang mukmin yang lemah.” Atas dasar tersebut, umat Islam harus maju dalam segala bidang mengikuti perkembangan zaman sesuai dengan nilai-nilai Islam untuk menjadi umat yang kuat agar tidak tertindas dan tersingkirkan, baik dalam buday maupun politik.[2]

4.       Insan Kamil (Manusia Ideal)

Sebagai seorang pemikir dan sufi, Iqbal mempunyai konsep manusia ideal yang menjadi puncak tujuan dari tasawufnya. Dengan menempuh jalan yang tidak biasa dikenal oleh sufi-sufi lainnya. Iqbal menyatakan bahwa puncak yang dituju oleh tasawufnya adalah insan al-kamil atau mardi’i khuda yaitu insan sebagai teman kerja Tuhan di muka bumi ini. Secara dialektis manusia mampu menyelesaikan ciptaan Tuhan yang belum selesai. Tuhanlah yang menciptakan bahan bakunya, sedangkan manusia yang mengelolanya menjadi barang-barang konsumtif.
Menurutnya, insan al-kamil adalah manusia yang telah mampu mengungkap dan membumikan sifat-sifat Tuhan ke dalam dirinya. Kendatipun demikian, kesadaran dirinya tidak luluh ke dalam kesadaran Tuhan, melainkan tetap mempunyai kesadaran yang utuh. Oleh karenanya ia mampu menjelaskan indikasi-indikasi kemampuannya secara analogis rasional. Dengan demikian corak tasawuf Iqbal adalah rasional transendental. Dan inilah yang membedakan dengan faham kaum panteisme yang menyatakan bahwa tujuan tertinggi dan ideal manusia adalah untuk melenyapkan dan meleburkan dirinya dengan yang mutlak. Dengan demikian akan menghapuskan kesatuan individualitasnya.


5.      Paham Dinamis

Masih menurut dia, Islam pada hakekatnya menganjurkan dinamisme. Al-Qur’an senantiasa menganjurkan pemakaian akal di dalam menginterpretasikan ayat ataupun tanda yang ada dalam alam semesta, sebagaimana adanya rotasi bumi, matahari, dan bulan. Orang-orang yang tidak peduli dan tidak memperhatikan tanda-tanda tersebut akan buta terhadap masa yang akan datang. Konsep Islam tentang alam adalah dinamis dan senantiasa berkembang. Islam menolak konsep lama yang menyatakan bahwa alam itu statis, dan mempertahankan konsep dinamisme serta menengahi adanya gerak dan perubahan dalam kehidupan sosial. Prinsip yang dipakai dalam gerak tersebut adalah ijtihad. Ijtihad mempunyai kedudukan penting dalam pembaharuan Islam.
Paham dinamisme yang dilontarkan Iqbal tertuang dalam syair-syairnya yang selalu mendorong manusia agar senantiasa bergerak dan tidak tinggal diam. Intisari hidup adalah gerak, sedang hukum hidup adalah mencipta. Maka Iqbal menyerukan kepada umat Islam agar membangun dan mencipta dunia baru. Untuk mengembalikan semangat masyarakat sesuai dengan konsep Islam tersebut, Iqbal mengkritik faham Panteisme yang mempercayai adanya wahdah al-wujud. Faham ini menurutnya mendorong manusia menjauhkan diri dari persoalan-persoalan dan kesulitan-kesulitan hidup. Karena hidup ini dianggap suatu khayalan sehingga tidak ada yang harus diperjuangkan. Hal inilah yang menyebabkan kejumudan umat Islam.
Dalam rangka mengatasi kejumudan di atas, Iqbal menawarkan sebuah diagnosis dengan menyatakan bahwa intelektualisme harus dibenarkan sesuai dengan semangat al-Qur’an. Al-Qur’an menyatakan bahwa sumber pengetahuan adalah alam, sejarah dan diri. Di dalam diri terdapat tiga sumber lagi yaitu serapan inderawi, rasio, dan intuisi. Ketiga sumber terakhir ini sekaligus sebagai penimba dan pengolahan bahan baku pengetahuan agar seseorang menjadi tahu.


TUJUAN
A.    Dalam Bidang Politik
Membentuk suatu bangsa yang lahir dari suatu internalisasi semua ras dan kebangsaan. Maksudnya, bahwa terpadunya ikatan batin masyarakat ini, muncul tidak dari kesatuan geografis dan etnis. Akan tetapi dari kesatuan cita-cita politik dan agamanya. Keanggotaan atau kewarganegaraannya didasarkan atas suatu pernyataan kesatuan pendapat yang hanya berakhir apabila kondisi ini tidak berlaku lagi.
Bagi Iqbal masyarakat Muslim harus menyusun suatu tujuan baik jangka pendek maupun jangka panjang. Pertama, tiap negara muslim harus memperoleh kemerdekaannya, mengurusnya sendiri, dan membereskan rumah tangganya sendiri. Hal ini akan menjadikan masing-masing negara memiliki kekuasaan yang diperlukan untuk melaksanakan tujuan. Kedua, berkumpul bersama dan membentuk suatu keluarga kuat yang terdiri atas republik-republik dengan ikatan yang mempersatukannya adalah spiritual Islam.
Dalam kasus umat Islam di India, Iqbal menyatakan bahwa kaum muslimin di negeri ini menghadapi bahaya kehilangan kebebasannya untuk berkembang. Sementara menurutnya, setiap muslim memerlukan komunitas Islam guna perkembangannya. Statement seperti ini sengaja dilontarkan Iqbal menyusul penolakannya terhadap pembentukan suatu negara India sekuler yang menggabungkan Hindu dan Muslim di mana Islam dapat dijadikan hanya sekedar etika pribadi yang terpisah dari lingkungan sosio-politik. Iqbal mengatakan, umat Islam India berhak untuk berkembang penuh dan bebas atas dasar kebudayaan dan tradisinya sendiri di tanah air Indianya sendiri. Mengingat umat Islam tidak bisa hidup bersama dengan orang Hindu di India sebagaimana disinggung di atas, maka umat Islam harus hidup dalam satu unit atau negara sendiri.
Gagasan Iqbal tersebut tampaknya menjadi inspirasi bagi umat Islam India untuk mendirikan sebuah negara Islam. Di bawah pimpinan Muhammad Ali Jinnah, murid dan sahabat Iqbal – umat Islam India berhasil mendirikan sebuah negara Islam yang sekarang lebih dikenal dengan negara Pakistan. Negara tersebut secara resmi terpisah dari negara India mulai tahun 1947, sembilan tahun setelah Muhammad Iqbal meninggal dunia.



B.     Paham Dinamisme
Tujuannya adalah untuk mendorong umatnya supaya berfikir dan menggunakan akal rasional. Untuk memahami agama Islam secara mendalam, harus memperhatikan pergantian siang dan malam, orang mendapatkan makna tentang dinamika sunatulloh. Kemajuan dan kemunduran suatu bangsa di alam semesta ini adalah sebuah dinamika yang mesti ditarik manfaatnya.

C.     Alam Fisik
Tujuannya adalah untuk memotivasi manusia yang lemah dan pasif agar selalu berusaha dalam kehidupan dengan kekuatannya. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang dilontarkan Iqbal, yaitu “orang kafir yang aktif-dinamis lebih baik daripada Muslim yang suka tidur.

D.    Insan Kamil
Tujuannya adalah supaya manusia mampu mengungkap dan membumikan sifat-sifat Tuhan ke dalam dirinya, serta dapat membumikan ajaran agama, dengan menempuh dua fase.  Pertama, fase pembuatan formulasi (siyaghah). Pada fase ini merupakan suatu fase penyiapan rencana yang sahih yang didasarkan pada hasil pemahaman atas hakekat agama yang membentuk perhatian secara khusus. Kedua, fase implementasi. Sebuah fase perencanaan pelaksanaan yang sahih terhadapa kehidupan nyata umat manusia dengan menyelaraskan tatanan pada hukum terhadap seluruh segi yang terdapat dalam kehidupan nyata.[3]

Biografi Muhammad Iqbal.
Muhammad Iqbal dilahirkan pada tanggal 3 Dzulqaidah 1294 H/ 9 November 1877 M di Sialkot, salah satu kota tertua bersejarah di perbatasan Punjab Barat dan Kashmir. Ia berasal dari keluarga miskin, akan tetapi dengan bantuan beasiswa yang diperolehnya ia mendapat pendidikan yang lebih bagus. Nenek moyangnya berasal dari keturunan golongan Brahmana yang berasal dari Kashmir yang telah menganut agama Islam kira-kira tiga abad sebelum Iqbal lahir. Ayahnya bernama Muhammad Nur, seorang sufi yang salih. Sejak menginjak usia anak-anak, agama sudah tertanam dalam jiwanya. Pendidikan agamanya selain dari orang tuanya, juga didapatkan dengan mengaji kepada Miss Hassan. Di rumah sang guru ini, ia selain belajar mengaji agama juga belajar menggubah sajak.
Pendidikan Iqbal bermula di Scottish Mission School di Sialkot. Di sekolah inilah ia mendapat bimbingan secara intensif dari Mir Hassan, seorang guru dan sastrawan yang ahli tentang sastra Persia dan menguasai bahasa Arab. Setelah lulus dari sekolah ini, Iqbal melanjutkan studinya lagi ke Lahore di government college yang diasuh oleh Sir Thomas Arnold. Pada tahun 1899 ia mendapat gelar MA dengan konsentrasi di bidang tasawuf, yang kemudian ia diangkat langsung menjadi dosen bahasa Arab di Oriental College, Lahore. Selepas dari Goverment College, ia atas saran Thomas Arnold meneruskan lagi ke Universitas Cambridge, London. Bidang yang ia tekuni yaitu filsafat moral. Ia mendapat bimbingan dari Jamest Ward dan seorang Neo-Hegellian yaitu JE. Mac Taggart.
Ketika di Eropa, ia juga belajar di Universitas Munich, Jerman. Ia mendapat gelar Doktor dengan desertasinya yang berjudul “The Development of Methaphysies In Persia” pada tanggal 4 November 1907 di bawah bimbingan F. Homenel. Selepas studinya di Eropa, ia kembali lagi kuliah di School of Political Sciences. Setelah mendapat gelar Doktor ia kembali lagi ke Lahore dan bekerja sebagai pengacara di High Cort, Punjab Lahore. Namun, kemudian dilepaskannya karena ia aktif di dalam praktek hukum.
Semasa kuliah, ia sering mengunjungi dan berdialog dengan sejumlah filosof besar sezamannya. Dan selama di Eropa, ia dapat menyaring secara kritis pemikiran-pemikiran Barat yang membuatnya tidak hanyut ke dalam pusaran peradaban Barat. Berbekal dari sejumlah keahlian, ia memulai karirnya sebagai dosen dan pengacara di India. Ia juga aktif dalam masalah politik. Selebihnya, ia sering memberikan ceramah ke seluruh bagian negara India dan bahkan ke negara-negara Islam. Tentu saja di sini disertai pembacaan sajak yang sempat menggugah dan membangkitkan semangat tinggi atas cita-cita ajaran Islam. Selain itu ia juga sangat produktif dalam hal menulis terutama yang berbentuk lirik puisi.
Pada tahun 1926, ia ikut mencalonkan diri sebagai dewan perwakilan Punjab dan pada tahun 1930 terpilihlah ia sebagai Presiden Liga Muslimin. Berikutnya tahun 1930, yakni pada saat sidang Liga Muslimin di Alahabat, ia mengemukakan tentang gagasan adanya penyatuan moral dan politik umat Islam India dalam kesatuan budaya dan wilayah (the unity of culture and countries) yang kelak menjadi embriologi berdirinya negara Pakistan. Sebelum gagasan negaranya tersebut terealisir, Iqbal keburu meninggal dunia, tepatnya pada tanggal 18 April 1938.
Dari ilustrasi singkat di atas, dapat kita fahami bahwa Iqbal merupakan salah seorang pemikir Islam yang memiliki cakrawala pemikiran dan intelegensia yang luar biasa. Ia selain dikenal sebagai seorang filosof, politikus, dan spiritual, ternyata juga dikenal sebagai seorang penyair. Dan bakat yang terakhir inilah, yaitu sebagai seorang penyair, merupakan suatu bakat alam yang tidak banyak dimiliki oleh para pemikir Muslim yang lainnya.



[1] H. A. R. Gibb, Aliran-Aliran Modern Dalam Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1978), hlm. 20.
[2] Ahmad Taufik, M. Pd, M. Dimyati Huda, M. Ag, Binti Maunah, M. Ag, Sejarah Pemikiran dan Tokoh Modernisme Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 114-119.
[3] Bahrudin Fanani, Pemahaman Islam Antara Ra’yu dan Wahyu (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1997), hlm. xxxiv.








No comments: