1.
Bidang Kenegaraan
(Politik)
Pemikiran Iqbal di bidang kenegaraan,
dalam mewujudkan agama Islam, dimulai ketika ia dipilih menjadi Presiden Liga
Muslimin tahun 1930.
Dalam masalah politik dan kenengaraan,
banyak juga gagasan-gagasan yang disumbangkan Iqbal. Pemikiran Iqbal mengenai
negara misalnya, ia mengisyaratkan bahwa negara Islam merupakan suatu
masyarakat yang keanggotaannya berdasarkan keyakinan agama (the relegious
faith) yang sama, dan bertujuan untuk merealisasikan suatu kebebasan (freedom),
persamaan (egality), dan persaudaraan (brotherhood).
Dengan konsep seperti ini, ia menolak gagasan
nasionalisme wilayah yang dianggapnya bertentangan dengan persaudaraan secara
universal sebagaimana yang ditegakkan Rasulullah SAW. Nasionalisme menurut
Iqbal, merupakan suatu alat yang bisa digunakan untuk memecah belah dunia
muslim yang akan berakibat pada adanya pemisahan sesama manusia, terjadinya
perpecahan antar bangsa-bangsa dan adanya pemisahan agama dari politik. Islam
menurutnya bukan lah nasionalisme, bukan pula imperialism, tapi sebagai Liga
Bangsa-Bangsa. Dari sisnilah cikal bakal lahirnya Negara Islam.
Iqbal mendapat dukungan dari seorang
politikus berpengaruh dari kalangan Islam, yaitu Muhammad Ali Jinnah. Iqbal
mengemukakan gagasannya untuk mendirikan Negara Pakistan, dan itu diakui oleh
Jinnah bahwa datangnya dari Iqbal, hal tersebut untuk menjawab kalangan yang
melontarkan tentang keraguan mengenai ide kenegaraan. Iqbal bersama Jinnah bahu
membahu mengemukakan gagasan tersebut dalam setiap kesempatan, dan bukti tersebut
dapat terlihat dalam sejarah, dengan berdirinya Negara Pakistan.
2.
Bidang Ke-Islaman
Pemikiran Iqbal di bidang ke-Islaman
secar umum, mula-mula ia melihat factor kemunduran Islam banyak ditentukan oleh
pelaksanaan hukum Islam. Sebagai ahli hukum , menurutnya umat Islam mundur
karena cenderung melaksanakan hukum secara statis dan konservatif. Kelompok
konservatif menuduh golongan pemikir rasionalis Mu’tazilah sebagai biang
perpecahan umat Islam.
Akibat dari garakan tersebut , lahirlah pemikiran
yang menutup pintu ijtihad. Para ulama yang memiliki pengaruh dan kekuasaan di
bidang agama, menganggap kalau dibiarkan umat Islam bebas berfikir yang
berkenaan dengan syari’at, akan membuat mereka makin terpecah belah. Akhirnya
ijtihad diberhentikan dari konsep hukum Islam. Dan hukum Islampun menjadi
mandeg dan statis.[1]
Iqbal mengkritik pemikiran sufis yang
ekstrim, yaitu dalam konsep zuhud..
Menurutnya , zuhud yang
dikumandangkannya tersebut ternyata telah menarik perhatian umat Islam yan
hanya terfokus pada akhirat. Sehingga mengabaikan kepentingan duiawi. Keadaan
demikian telah mengubah masyarakat yang aktif-dinamis, menjadi pasif-statis.
Seyogyanya , berdasarkan prinsip Al-Quran dan Al-Hadis, Islam itu bersifat
“dinamis”. Syair-syair Iqbal memang berisi gugatan dan gugahan yang menderu
dalam membangkitkan semangat umat Islam. Salah satu pendapatnya yang brilian
adalah, orang kafir yang aktif-dinamis
lebih baik daripada orang Muslim yang suka tidur. Dengan demikian, segala
kritik dapat dilontarkannya ke semua penjuru, baik kawan maupun lawan.
3.
Menghargai Alam Fisik
Inti pemikiran Iqbal adalah menghargai
alam fisik, menghargai diri manusia dan pengukuhan unsur rohani dalam kehidupan
manusia. Iqbal melihat kelemahn umat Islam sebagai individu dan jama’ah, adanya
kebekuan pemahamna umat Islam terhadap agamanya. Iqbal terus memotivasi manusia
yang lemah dan pasif tersebut untuk terus berusaha dalam kehidupan dengan
kekuatannya. Iqbal memang seorang tokoh yang memiliki wawsan intelektual dan
intelegensia yang luar biasa.
Maksud dari alam fisik, karena melalui
pemikiran tersebut mengikis ketakutan umat Islam menghadapi kehidupan duniawi
yang merupakan dampak ajaran paham sufisme. Suatu kekeliruan apabila ajaran
Islam mengharuskan menjauhi kehidupan fisik, sebab cirri ajaran Islam adalah
keseimbangan antarea kehidupan duniawi dan ukhrowi.. Dalam Islam pun
mengajarkan bahwa “seorang mukmin yang kuat lebih baik daripada seorang mukmin
yang lemah.” Atas dasar tersebut, umat Islam harus maju dalam segala bidang
mengikuti perkembangan zaman sesuai dengan nilai-nilai Islam untuk menjadi umat
yang kuat agar tidak tertindas dan tersingkirkan, baik dalam buday maupun
politik.[2]
4.
Insan Kamil (Manusia Ideal)
Sebagai
seorang pemikir dan sufi, Iqbal mempunyai konsep manusia ideal yang menjadi
puncak tujuan dari tasawufnya. Dengan menempuh jalan yang tidak biasa dikenal
oleh sufi-sufi lainnya. Iqbal menyatakan bahwa puncak yang dituju oleh
tasawufnya adalah insan al-kamil atau mardi’i khuda yaitu insan
sebagai teman kerja Tuhan di muka bumi ini. Secara dialektis manusia mampu
menyelesaikan ciptaan Tuhan yang belum selesai. Tuhanlah yang menciptakan bahan
bakunya, sedangkan manusia yang mengelolanya menjadi barang-barang konsumtif.
Menurutnya,
insan al-kamil adalah manusia yang telah mampu mengungkap dan membumikan
sifat-sifat Tuhan ke dalam dirinya. Kendatipun demikian, kesadaran dirinya
tidak luluh ke dalam kesadaran Tuhan, melainkan tetap mempunyai kesadaran yang
utuh. Oleh karenanya ia mampu menjelaskan indikasi-indikasi kemampuannya secara
analogis rasional. Dengan demikian corak tasawuf Iqbal adalah rasional
transendental. Dan inilah yang membedakan dengan faham kaum panteisme
yang menyatakan bahwa tujuan tertinggi dan ideal manusia adalah untuk
melenyapkan dan meleburkan dirinya dengan yang mutlak. Dengan demikian akan
menghapuskan kesatuan individualitasnya.
5.
Paham Dinamis
Masih
menurut dia, Islam pada hakekatnya menganjurkan dinamisme. Al-Qur’an
senantiasa menganjurkan pemakaian akal di dalam menginterpretasikan ayat
ataupun tanda yang ada dalam alam semesta, sebagaimana adanya rotasi bumi,
matahari, dan bulan. Orang-orang yang tidak peduli dan tidak memperhatikan
tanda-tanda tersebut akan buta terhadap masa yang akan datang. Konsep Islam
tentang alam adalah dinamis dan senantiasa berkembang. Islam menolak konsep
lama yang menyatakan bahwa alam itu statis, dan mempertahankan konsep dinamisme
serta menengahi adanya gerak dan perubahan dalam kehidupan sosial. Prinsip yang
dipakai dalam gerak tersebut adalah ijtihad. Ijtihad mempunyai kedudukan
penting dalam pembaharuan Islam.
Paham
dinamisme yang dilontarkan Iqbal tertuang dalam syair-syairnya yang selalu
mendorong manusia agar senantiasa bergerak dan tidak tinggal diam. Intisari
hidup adalah gerak, sedang hukum hidup adalah mencipta. Maka Iqbal menyerukan
kepada umat Islam agar membangun dan mencipta dunia baru. Untuk mengembalikan
semangat masyarakat sesuai dengan konsep Islam tersebut, Iqbal mengkritik faham
Panteisme yang mempercayai adanya wahdah al-wujud. Faham ini
menurutnya mendorong manusia menjauhkan diri dari persoalan-persoalan dan
kesulitan-kesulitan hidup. Karena hidup ini dianggap suatu khayalan sehingga
tidak ada yang harus diperjuangkan. Hal inilah yang menyebabkan kejumudan umat
Islam.
Dalam
rangka mengatasi kejumudan di atas, Iqbal menawarkan sebuah diagnosis dengan
menyatakan bahwa intelektualisme harus dibenarkan sesuai dengan semangat
al-Qur’an. Al-Qur’an menyatakan bahwa sumber pengetahuan adalah alam, sejarah
dan diri. Di dalam diri terdapat tiga sumber lagi yaitu serapan inderawi,
rasio, dan intuisi. Ketiga sumber terakhir ini sekaligus sebagai penimba dan
pengolahan bahan baku pengetahuan agar seseorang menjadi tahu.
TUJUAN
A.
Dalam Bidang Politik
Membentuk suatu bangsa yang lahir dari suatu
internalisasi semua ras dan kebangsaan. Maksudnya, bahwa terpadunya
ikatan batin masyarakat ini, muncul tidak dari kesatuan geografis dan etnis.
Akan tetapi dari kesatuan cita-cita politik dan agamanya. Keanggotaan atau
kewarganegaraannya didasarkan atas suatu pernyataan kesatuan pendapat yang
hanya berakhir apabila kondisi ini tidak berlaku lagi.
Bagi Iqbal masyarakat Muslim harus
menyusun suatu tujuan baik jangka pendek maupun jangka panjang. Pertama,
tiap negara muslim harus memperoleh kemerdekaannya, mengurusnya sendiri, dan
membereskan rumah tangganya sendiri. Hal ini akan menjadikan masing-masing
negara memiliki kekuasaan yang diperlukan untuk melaksanakan tujuan. Kedua,
berkumpul bersama dan membentuk suatu keluarga kuat yang terdiri atas
republik-republik dengan ikatan yang mempersatukannya adalah spiritual Islam.
Dalam kasus umat Islam di India, Iqbal
menyatakan bahwa kaum muslimin di negeri ini menghadapi bahaya kehilangan
kebebasannya untuk berkembang. Sementara menurutnya, setiap muslim memerlukan
komunitas Islam guna perkembangannya. Statement seperti ini sengaja dilontarkan
Iqbal menyusul penolakannya terhadap pembentukan suatu negara India sekuler
yang menggabungkan Hindu dan Muslim di mana Islam dapat dijadikan hanya sekedar
etika pribadi yang terpisah dari lingkungan sosio-politik. Iqbal mengatakan, umat
Islam India berhak untuk berkembang penuh dan bebas atas dasar kebudayaan dan
tradisinya sendiri di tanah air Indianya sendiri. Mengingat umat Islam tidak
bisa hidup bersama dengan orang Hindu di India sebagaimana disinggung di atas,
maka umat Islam harus hidup dalam satu unit atau negara sendiri.
Gagasan Iqbal tersebut tampaknya menjadi
inspirasi bagi umat Islam India untuk mendirikan sebuah negara Islam. Di bawah
pimpinan Muhammad Ali Jinnah, murid dan sahabat Iqbal – umat Islam India
berhasil mendirikan sebuah negara Islam yang sekarang lebih dikenal dengan
negara Pakistan. Negara tersebut secara resmi terpisah dari negara India mulai
tahun 1947, sembilan tahun setelah Muhammad Iqbal meninggal dunia.
B.
Paham Dinamisme
Tujuannya adalah untuk mendorong umatnya
supaya berfikir dan menggunakan akal rasional. Untuk memahami agama Islam
secara mendalam, harus memperhatikan pergantian siang dan malam, orang
mendapatkan makna tentang dinamika sunatulloh. Kemajuan dan kemunduran suatu
bangsa di alam semesta ini adalah sebuah dinamika yang mesti ditarik
manfaatnya.
C.
Alam Fisik
Tujuannya adalah untuk memotivasi
manusia yang lemah dan pasif agar selalu berusaha dalam kehidupan dengan
kekuatannya. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang dilontarkan Iqbal, yaitu
“orang kafir yang aktif-dinamis lebih baik daripada Muslim yang suka tidur.
D.
Insan Kamil
Tujuannya adalah supaya manusia mampu
mengungkap dan membumikan sifat-sifat Tuhan ke dalam dirinya, serta dapat
membumikan ajaran agama, dengan menempuh dua fase. Pertama, fase pembuatan formulasi (siyaghah).
Pada fase ini merupakan suatu fase penyiapan rencana yang sahih yang didasarkan
pada hasil pemahaman atas hakekat agama yang membentuk perhatian secara khusus.
Kedua, fase implementasi. Sebuah fase perencanaan pelaksanaan yang sahih
terhadapa kehidupan nyata umat manusia dengan menyelaraskan tatanan pada hukum
terhadap seluruh segi yang terdapat dalam kehidupan nyata.[3]
Biografi
Muhammad Iqbal.
Muhammad Iqbal dilahirkan pada tanggal 3 Dzulqaidah 1294 H/ 9
November 1877 M di Sialkot, salah satu kota tertua bersejarah di perbatasan
Punjab Barat dan Kashmir. Ia berasal dari keluarga miskin, akan tetapi dengan
bantuan beasiswa yang diperolehnya ia mendapat pendidikan yang lebih bagus.
Nenek moyangnya berasal dari keturunan golongan Brahmana yang berasal dari
Kashmir yang telah menganut agama Islam kira-kira tiga abad sebelum Iqbal
lahir. Ayahnya bernama Muhammad Nur, seorang sufi yang salih. Sejak menginjak
usia anak-anak, agama sudah tertanam dalam jiwanya. Pendidikan agamanya selain
dari orang tuanya, juga didapatkan dengan mengaji kepada Miss Hassan. Di rumah
sang guru ini, ia selain belajar mengaji agama juga belajar menggubah sajak.
Pendidikan Iqbal bermula di Scottish Mission School di Sialkot. Di sekolah
inilah ia mendapat bimbingan secara intensif dari Mir Hassan, seorang guru dan
sastrawan yang ahli tentang sastra Persia dan menguasai bahasa Arab. Setelah
lulus dari sekolah ini, Iqbal melanjutkan studinya lagi ke Lahore di government
college yang diasuh oleh Sir Thomas Arnold. Pada tahun 1899 ia
mendapat gelar MA dengan konsentrasi di bidang tasawuf, yang kemudian ia
diangkat langsung menjadi dosen bahasa Arab di Oriental College,
Lahore. Selepas dari Goverment College, ia atas saran Thomas Arnold meneruskan
lagi ke Universitas Cambridge, London. Bidang yang ia tekuni yaitu filsafat
moral. Ia mendapat bimbingan dari Jamest Ward dan seorang Neo-Hegellian
yaitu JE. Mac Taggart.
Ketika di Eropa, ia juga belajar di Universitas Munich, Jerman. Ia
mendapat gelar Doktor dengan desertasinya yang berjudul “The
Development of Methaphysies In Persia” pada tanggal 4 November 1907
di bawah bimbingan F. Homenel. Selepas studinya di Eropa, ia kembali lagi
kuliah di School
of Political Sciences. Setelah mendapat gelar Doktor ia kembali
lagi ke Lahore dan bekerja sebagai pengacara di High Cort,
Punjab Lahore. Namun, kemudian dilepaskannya karena ia aktif di dalam praktek
hukum.
Semasa kuliah, ia sering mengunjungi dan berdialog dengan sejumlah
filosof besar sezamannya. Dan selama di Eropa, ia dapat menyaring secara kritis
pemikiran-pemikiran Barat yang membuatnya tidak hanyut ke dalam pusaran
peradaban Barat. Berbekal dari sejumlah keahlian, ia memulai karirnya sebagai
dosen dan pengacara di India. Ia juga aktif dalam masalah politik. Selebihnya,
ia sering memberikan ceramah ke seluruh bagian negara India dan bahkan ke
negara-negara Islam. Tentu saja di sini disertai pembacaan sajak yang sempat
menggugah dan membangkitkan semangat tinggi atas cita-cita ajaran Islam. Selain
itu ia juga sangat produktif dalam hal menulis terutama yang berbentuk lirik
puisi.
Pada tahun 1926, ia ikut mencalonkan diri sebagai dewan perwakilan
Punjab dan pada tahun 1930 terpilihlah ia sebagai Presiden Liga Muslimin.
Berikutnya tahun 1930, yakni pada saat sidang Liga Muslimin di Alahabat, ia
mengemukakan tentang gagasan adanya penyatuan moral dan politik umat Islam
India dalam kesatuan budaya dan wilayah (the unity of culture and countries) yang kelak
menjadi embriologi berdirinya negara Pakistan. Sebelum gagasan negaranya tersebut
terealisir, Iqbal keburu meninggal dunia, tepatnya pada tanggal 18 April 1938.
Dari ilustrasi singkat di atas, dapat kita fahami bahwa Iqbal
merupakan salah seorang pemikir Islam yang memiliki cakrawala pemikiran dan
intelegensia yang luar biasa. Ia selain dikenal sebagai seorang filosof,
politikus, dan spiritual, ternyata juga dikenal sebagai seorang penyair. Dan
bakat yang terakhir inilah, yaitu sebagai seorang penyair, merupakan suatu
bakat alam yang tidak banyak dimiliki oleh para pemikir Muslim yang lainnya.
[1] H. A. R. Gibb, Aliran-Aliran Modern Dalam Islam (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1978), hlm. 20.
[2] Ahmad Taufik, M. Pd, M. Dimyati Huda, M. Ag, Binti Maunah, M. Ag, Sejarah Pemikiran dan Tokoh Modernisme Islam
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 114-119.
[3] Bahrudin Fanani, Pemahaman Islam Antara Ra’yu dan Wahyu (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 1997), hlm. xxxiv.
No comments:
Post a Comment