BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Berbagai
dinamika dan problematika silih beganti menghiasi sejarah pendidikan di
Indonesia ini. Perjuangan masyarakat Indonesia untuk mendapatkan kemerdekaan ,
permasalahan-permasalahan pendidikan
nasional pada masa krisis yang mana pendidikan tak dapat mengeluarkan
masyarakat dari cengkraman kemiskinan. Serta dinamika pendidikan yang terjadi
sekarang ini yang penuh dengan gejolak penuntutan dari rakyat serta realitas
anak bangsa sekarang ini yang hanya berpangku tangan dalam artian hanya
menuntut tanpa adanya kesadaran bahwa perubahan berada di tangan mereka. Itu semua perlu kita renungi, akan dibawa
kemanakah pendidikan kita?
Indonesia
Sekarang ini sedang mencari sistem pendidikan yang sesuai untuk di terapkan. Sistem
yang bagaimanakah yang sesuai untuk mencapai pendidikan yang transformatif dan
ideal. Masyarakat Indonesia ini sekarang sedang resah. Berbagai problematika dalam segala sektor, dari
sektor politik, ekonomi, maupun pendidikan dll. Dan mereka mencari solusi untuk
menyelesaikannya. Dan semua itu dapat ditemukan dalam pendidikan yang relevan. Ada pepatah berkata bahwa harta yang
menjaga adalah kita sedangkan yang menjaga kita adalah ilmu. Indonesia dikenal
akan kekayaan alamnya, akan tetapi dalam realitanya mayoritas rakyat Indonesia
miskin. Untuk itulah kemajuan
dalam pendidikan sangat di perlukan di Indonesia ini.
B.
Rumusan Masalah
·
Bagaimana
sejarah dan dinamika pendidikan yang terjadi di Indonesia?
·
Solusi
untuk mencapai pendidikan yang transformatif?
BAB II
SEJARAH DAN DINAMIKA PENDIDIKAN
INDONESIA
- Pendidikan Masa Hindu-Buddha
Sistem pendidikan pada masa
lalu baru dapat terekam dengan baik pada masa Hindu-Buddha. Menurut Agus Aris
Munandar dalam tesisnya yang berjudul Kegiatan Keagamaan di Pawitra Gunung
Suci di Jawa Timur Abad 14—15(1990).[1]
Sistem pendidikan Hindu-Buddha dikenal dengan istilah karsyan. Karsyan
adalah tempat yang diperuntukan bagi petapa dan untuk orang-orang yang
mengundurkan diri dari keramaian dunia dengan tujuan mendekatkan diri dengan
dewa tertinggi. Karsyan dibagi menjadi dua bentuk yaitu patapan dan mandala.
Patapan memiliki arti tempat bertapa, tempat
dimana seseorang mengasingkan diri untuk sementara waktu hingga ia berhasil
dalam menemukan petunjuk atau sesuatu yang ia cita-citakan. Ciri khasnya adalah
tidak diperlukannya sebuah bangunan, seperti rumah atau pondokan. Bentuk patapan
dapat sederhana, seperti gua atau ceruk, batu-batu besar, ataupun pada bangunan
yang bersifat alami. Tapa berarti menahan diri dari segala bentuk hawa
nafsu, orang yang bertapa biasanya mendapat bimbingan khusus dari sang guru,
dengan demikian bentuk petapan biasanya hanya cukup digunakan oleh seorang
saja.
mandala, atau disebut juga kedewaguruan.
Berbeda dengan patapan, mandala merupakan tempat suci yang
menjadi pusat segala kegiatan keagamaan, sebuah kawasan atau kompleks yang
diperuntukan untuk para pendeta, murid,
dan mungkin juga pengikutnya. Mereka hidup berkelompok dan membaktikan seluruh
hidupnya untuk kepentingan agama dan nagara. Mandala tersebut
dipimpin oleh dewaguru.
Dapat diketahui bahwa nagara
atau ibu kota atau juga pusat pemerintahan, biasanya dikelilingi oleh mandala.
Dalam hal ini, antara mandala dan nagara tentunya mempunyai
sifat saling ketergantungan. Nagara memerlukan mandala untuk
dukungan yang bersifat moral dan spiritual, mandala dianggap sebagai
pusat kesaktian, dan pusat kekuatan gaib.
Dengan demikian masyarakat
yang tinggal di mandala mengemban tugas untuk melakukan tapa. Kemakmuran suatu negara, keamanan
masyarakat serta kejayaan raja sangat tergantung dengan sikap raja terhadap
kehidupan keagamaan. Oleh karena itu, nagara perlu memberi
perlindungan dan keamanan, serta sebagai pemasok keperluan yang bersifat
materiil (fasilitas dan makanan), agar para pendeta dan murid dapat dengan
tenang mendekatkan diri dengan dewata.
- Pendidikan Masa Islam
Dalam permulaan abad XIV,
bangsa Hindu yang telah memeluk agama Islam membaawa agama baru ini ke tanah
air Indonesia. Sudah barang tentu pemikiran, perasaan, serata kehendak maupun tingkah
laku masih di pengaruhi oleh adat istiadat agama Hindu dan Buddha.
Pengajaran agama Islam yang
terdapat di tanah jawa dapat di bedakan menjadi
dua macam, yaitu langgar dan pesantren. Pengajaran di langgar-langgar
merupakan pengajaran permulaan sedang
pengajaran di pesantren ditujukan kepada mereka yang ingin mencurahkan
perhatiannya kepada pelajaran keagamaan. Pondok maupun langgar menggunakan
sistem sorogan, yaitu para murid
maupun santri yang berkumpul di langgar maju satu persatu kehadapan gurunya
untuk diberi pelajaran olehnya, sedang
murid yang lain menunggu gilirannya.
Murid-murid tidak diwajibkan
membayar uang sekolah sebagaimana halnya sekolah pada zaman sekarang ini.
Biasanya orang tua murid mengantarkan anaknya ke pesantren pada umunya membawa
hadiah bagi guru, berupa uang maupun bahan makanan. Selanjutnya penghargaan
kepada guru tergantung dari adat istiadat setempat.
Tentang pemilihan lokasi
pesantren yang jauh dari keramaian dunia, keberadaannya jauh dari permukiman
penduduk, jauh dari ibu kota kerajaan maupun kota-kota besar. Pemilihan lokasi
tersebut mencontoh sistem petapan yang mencari lokasi jauh dari keramaian
dunia.akan tetapi ada juga pesantren yang lokasinya seperti halnya mandala,
pada masa Islam istilah tersebut lebih dikenal dengan sebutan ”depok” Istilah depok itu
sendiri berasal dari kata padepokan yang berasal dari kata patapan
yang merujuk pada arti yang sama, yaitu “tempat pendidikan. Dengan demikian
padepokan atau pesantren adalah sebuah sistem pendidikan yang merupakan
kelanjutan sistem pendidikan sebelumnya.
Isi dari pengajaran pesantren yaitu:
1.
Aqidah, ilmu kepercayaan
2.
Fikih, ilmu kewajiban/hokum
Di samping al-Qur’an juga di pergunakan buku-buku yang ditulis dalam
bahasa arab maupun bahasa jawa.guru membaca ayat-ayat, menerjemahkan dan
menerangkan.
- Pendidikan Masa Kolonial Belanda
Pada abad ke XVI bangsa barat,
pada permulaannya bangsa Portugis, lalu disusul oleh bangsa Belanda dan
diselingi oleh Bangsa Inggris masuk ke tanah air kita dan lambat laun menjajah
indonesia secara keseluruhan. Kekuasaan negara dipegang oleh bangsa Belanda yang tidak menghendaki
perkembangan pendidikan dan pengajaran agama Islam. Sehingga usaha dalam
lapangan ini dari bangsa kita tidak mengalami kemajuan sebagaimana mestinya.
Mulai zaman Kartasura kekuasaan
kerajaan Islam makin melemah. Dan usaha dalam lapangan pendidikan dan
pengajaran di urus oleh masyarakat tanpa campur tangan kerajaan. Mungkin ini
juga sebagai salah satu faktor tidak adanya kemajuan dari pondok pesantren.
Akan tetapi pada kenyataannya sebagian rakyat berusaha mendapatkan kecakapan
membaca dan menulis, jadi merupakan usaha sendiri atau mendidik diri sendiri.
Kolonial Belanda datang ke
tanah air kita untuk berdagang, dalam artian untuk mencari keuntungancbagi
dirinya sendiri. Sudah barang tentu tidak menaruh perhatian terhadap pendidikan
dan pengajaran dan hanya memperhatikan orang-orang Indonesia yang beragama
kristen yang merupakan agama yang di bawa oleh kolonial Belanda. Akibatnya bangsa Indonesia berabad-abad
tidak mendapatkan pendidikan dan pengajaran. Dan membatasi pendidikan dan
pengajaran di pondok pesantren, langgar dan surau sehingga tidak dapat
berkembang sebagaimana mestinya.
Baru pada abad XIX
pemerintahan Belanda mulai memperhatikan pendidikan dan pengajaran bagi bangsa
kita, sebagai akibat dari perubahan ketatanegaraan di negeri Belanda, dengan terbentuknya
parlemen. Akan tetapi kemauan ini selalu mendapat rintangan sehingga baru pada
tahun 1848 diputuskan, bahwa pemeritahan Hindia Belanda di haruskan menyelenggarakan
sekolah-sekolah untuk memberi pendidikan dan pengajaran bagi anak-anak bangsa
kita dengan menggunakan sistem pendidikan dan pengajaran barat sebagaimana
sistem pendidikan sekarang ini, yaitu sistem klasikal yang diciptakan oleh
Johan Heinrich Pestalozzi (1746-1829).[2]
Sistem pengajaran klasikal ialah, bahwa suatu pengajaran diberikan kepada
sekelompok anak pada wakt bersamaan. Jadi bahan pengajarannya yang di berikan
kepada anak-anak sama.
Akan tetapi, wajah pendidikan
Indonesia lebih terlihat sebagai sosok yang memperjuangkan hak pendidikan. Hal
ini dikarenakan pada saat itu, sistem pendidikan yang diberlakukan oleh
pemerintah kolonial adalah sistem pendidikan dan pengajaran yang bersifat
diskriminatif. Artinya hanya orang Belanda dan keturunannya saja yang boleh
bersekolah, adapun pribumi yang dapat bersekolah merupakan pribumi yang berasal
dari golongan priyayi.
Adapun bagi rakyat biasa
tujuan pendidikan pada waktu itu hanya di arahkan pada pendidikan pegawai
rendahan (juru tulis, klerk, mantri pegawai, dll). Pendidikan dan pengajaran
diselenggarakan bukan untuk kecerdasan dan kemajuan rakyat melainkan hanya
untuk memenuhi kebutuhan akan pegawai rendahan.
Kemiskinan bangsa kita dalam
ariti lahir batin, yang dirasakan oleh beberapa orang terpelajar, menggerakankan
batinya untuk mempertinggi derajat bangsa. Seingga lahirlah berbagai intuisi
pendidikan yang lebih memihak rakyat seperti B.U. yang didirikan pada tanggal
20 mei 1980 di lingkungan Stovia. B.U. selalu memperjuangkan pendidikan dan
pengajaran bagi rakyat dan mendirikan sekolah-sekolah sendiri yang bertujuan
menghimpun rasa kebangsaan dan kecintaan kepada kebudayaan bangsa.
Pergerakan yang dipelopori
oleh B.U ini mengakibatkan munculnya organisasi-organisasi baik bergerak dalam
bidang pendidikan seperti Muhammadiyah,
perguruan rakyat, Taman Siswa yang didirikan oleh Ki Hajar Dewantoro
Pada tahun 1922 maupun pergerakan kebangsaan yang bersifat kedaerahan oleh NIP
dan selanjutnya oleh PNI yang berada di bawah pimpinan Ir. Soekarno yang
menggalang persatuan Indonesia dengan semboyan ”Indonesia Merdeka” dan berjalan
terus sampai hari proklamasi kemerdekaan di bacakan.
- Pendidikan Zaman Kemerdekaan dan Kedaulatan
Setelah masa kolonialisme
berakhir , Indonesia memasuki masa awal kemerdekaan dimana keadaan negara pada
saat itu masih kacau dan belum stabil . Oleh karena alasan itulah pemerintah
belum memprioritaskan sektor pendidikan dan lebih memfokuskan bidang-bidang
lainnya. Saat itu lembaga pendidikan yang berkembang masih dikelolola oleh
sisa-sisa kaum kolonial ataupun sekolah-sekolah Belanda yang dinasionalisasikan
Walaupun demikian, bukan berarti pemerintah bersikap acuh terhadap pendidikan
di Indonesia. Walaupun gagasan untuk mengembangkan bidang pendidikan telah
dimulai empat bulan setelah kemerdekaan, tetapi rencana itu baru terealisasi
pada tahun 1947 dimana inti dari sistem pendidikan itu adalah sekolah rakyat
enam tahun. Payung hukum yang berfungsi sebagai dasar berjalannya pendidikan
masih sebatas UUD 1945 dan belum ada UU khusus yang mengatur hal tersebut
Selain itu, sistem pendidikan ini belum mempunyai kurikulum yang baku dan
orientasinya sebatas menyediakan tenaga kerja untuk mengisis kekosongan tenaga
kerja di badan-badan yang baru terbentuk. Setelah 10 tahun berjalan, sistem
pendidikan ini akhirnya diperbaharui setelah adanya ketetapan MPRS No
II/MPRS/1960 tentang manusia sosialis Indonesia, dimana didalamnya terdapat
rancangan tentang rumusan induk sistem pendidikan nasional. Akan tetapi sistem
ini baru benar-benar berjalan setelah diperkuat oleh keputusan presiden
(keppres) No 14 Tahun 1965. Keluar Keppres No 19 Tahun 1965 tentang pokok-pokok
Sistem Pendidikan Nasional Pancasila. Sesuai dengan jiwa jaman (zeitgeist)
yang berkembang saat itu, kurikulum yang berlaku saat itu bercorak gotong royong
dan demokrasi terpimpin, Tetapi, kurikulum pada saat itu juga belum mempunyai
bentuk yang baku dan orientasinya tidak jauh berbeda dengan kurikulum yang
telah ada sebelumnya.
Tranformasi kekuasaan dari
Orde Lama pada tahun menjadi Orde Baru pada tahun 1965 ternyata menjadi titik
penting dalam sejarah pendidikan di Indonesia. Pada masa ini, untuk pertama
kalinya disusun suatu kurikulum yang baku. Melalui Ketetapan MPRS No
XXVII/MPRS/1966 yang berisi tujuan pendidikan: membentuk manusia Pancasilais sejati
berdasarkan Pembukaan UUD 1945, lahirlah Kurikulum 1968, sebuah pedoman praksis
pendidikan pertama yang terstruktur . Tujuan Kurikulum 1968 adalah mempertinggi
mental-moral budi pekerti dan memperkuat keyakinan beragama, mempertinggi
kecerdasan, dan keterampilan, serta membina atau mengembangkan fisik yang kuat
dan sehat. Untuk mendukung tujuan ini, diadakanlah kegiatan-kegiatan oleh
yayasan-yayasan swasta seperti munculnya sistem modul yang digagas oleh Ibu
Pakasi dari Malang ataupun sekolah-sekolah pembangunan yang berorientasi pada
kerja serta uji coba cara belajar siswa aktif (CBSA) di Cianjur.
Menginjak tahun 1970 dimana
suasana sudah lebih kondusif, pemerintah mengambil inisiatif untuk mengambil
alih kendali seluruh praksis pendidikan. Bila sebelumnya pendidikan bersifat liberatif dan desentralistis maka
pemerintah mengubahnya menjadi deliberatif dan sentralistis. Hal ini mendorong
perubahan bagi pihak swasta yang tidak lagi dianggap sebagai patner tetapi
sebagai pesaing. Untuk mempertegas ambisi pemerintah disusunlah Kurikulum 1975
yang mengantikan peran Kurikulum 1968. Belum sempat seluruh sekolah menggunakan
kurikulum 1975, pemerintah kemudian mengganti kurikulum yang baru berumur 9
tahun ini dengan kurikulum baru yaitu Kurikulum 1984. Berlakunya kurikulum ini
merupakan kelanjutan dari UU Sistem Pendidikan Nasional yang dihasilkan secara
terencana lewat sebuah panitia penilai. Dalam pelaksanaannya Kurikulum 1984
dianggap sarat beban, lalu muncul gagasan untuk mengganti kembali kurikulum ini
dengan kurikulum yang baru. Tepatnya setelah 10 tahun belaku, akhirnya
kurikulum ini diganti dengan kurikulum 1994 yang menurut pemerintah lebih
ringan dan sederhana .
- Pendidikan Masa Orde Baru ( Masa Krisis )
Pendidikan nasional selama 32
tahun masa orde baru telah diabdikan sebagai motor pertumbuhan ekonomi yang
tinggi dan pelanggengan kekuasaan. Tujuan pendidikan diselewengkan keluar dari esensi pendidikan
yang sebenaranya. Sehingga pada masa orde baru yang ada bukan pendidikan
melainkan penataran, atau indoktrinasi ideologi.
Tanpa disadari intervensi orde
baru dalam pendidikan nasional sampai pada persoaalan individu, sehingga
masyarakat merasa terkekang dan secara pribadi tidak memiliki privacy lagi dalam kehidupannya. Dapat dilihat dalam
kebijakan pakaian seragam.
Selain penyeragaman secara
fisik rezim orde baru juga menyeragamkan pola pikir, sikap, dan cara bertindak
setiap siswa dengan cara pensentralisasian kurikulum, pembakuan metode
mengajar, alat tes sampai dengan penentuan naik tingkat dan kelulusan. Padahal
setiap daerah mempunyai karakteristik yang berbeda-beda dari segi kealaman, SDM, transportasi, infrstruktur,
dll. Akibatnya selain terjadi ketimpangan kualitas antara kota-desa, jawa luar
jawa, kaya-miskin, dan pendidikan itu sendiri malah membuat siswa tercerabut
dari lingkungan sekitarnya. Sebab para siswa mempelajari hal-hal yang sangat
berbeda dengan kehidpan mereka sehari-hari.
Penyeragaman tersebut
merupakan rekayasa penguasa untuk melakukan kontrol terhadap masyarakat. Dengan
pola pikir yang sama, sikap yang seia sekata, dan cara bertindak yang serempak,
masyarakat secara mudah dapat dikendalikan. Pendidikan tidak dimaksudkan untuk
mencerdaskan anak bangsa, mendewasakan pribadi manusia, dan memerdekakan siswa
melainkan sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaannya.
Pada masa ini fungsi guru
telah berubah menjadi kekuatan pengontrol segala penyelewengan dan pmengabaikan
pendidikan.. guru menjadi bagian aparatur negara. Dengan fungsi seperti itu
guru terkooptasi oleh kekuatan politik besar, sehingga tidak mempunyai kekuatan
untuk melawan serta melakukan perubahan terhadap kebijakan pendidikan.[3]
Pendidikan tidak dapat
mengentaskan masalah kemiskinan yang terjadi pada masa krisis ini. Antara
pendidikan dan kemiskinan terbentuk suatu lingkaran setan: karena miskin siswa
tidak sekolah dan karena tidak sekolah orang sulit keluar dari jerat
kemiskinan. Pendidikan pada masa orde baru tersebut justru mempercepat proses
pemiskinan masyarakat, baik karena pengembangan sistem yang keliru tanpa adanya
dukungan dari dari pendanaan yang cukup. Upaya pemerintah untuk mendorong warga
agar bersekolah tinggi-tinggi tidak disertai adanya tanggung jawab yang besar
untuk menyediakan pembiayaan pendidikan, dan sering tidak melihat situasi dan
kondisi sosial ekonomi. Dengan mudahnya menghutang kepada pihak asing dan
menjual aset-aset baerharga negeri ini demi pendidikan yang tidak efisien dan
berdampak negatif tersebut.
- Pendidikan Masa Reformasi-Sekarang
Pada masa transisi pendidikan
nasional masih mengalami problematika yang hampir sama dengan orde baru, bahkan
ada beberapa segi yang lebih kompleks. Beban pendidikan untuk mempertahankan
kekuasaan dan ideologi militerisme masih terasa, belum mengalami
perubahan.kecenderungan mengorbankan pendidikan untuk kepentingan politik
semakin kuat, seperti yang dapat dilihat dari jalannya pendidikan di
daerah-daerah yang sering dilanda kerusuhan
Multi krisis yang ditandai
dengan timbul konflik , ketegangan, dan aksi kekerasan antar kelompok sosial,
etnis, suku, agama, dan antar partai politikdi berbagai tempat telah membawa
kerugian yang sangat besar di dunia pendidikan nasional. Peristiwa tersebut
mengakibatkan terganggunya pelaksanaan pendidikan di tempat yang dilanda
konflik tersebut.
Tetapi diluar itu semua, sejak
kejatuhan rezim orde baru pada tahun 1998 masyarakat
merasa lebih bebas berekspresi menyerukan reformasi untuk mengubah keadaan
menjadi lebih baik, Namun terkesan lebih banyak mengejar kebebasan ketimbang
memperjuangkan program reformasi itu sendiri. Sementara itu kondisi ekonomi
semakin terpuruk, pengangguran meningkat dan angka kemiskinan meroket tajam
yang kesemuanya membuka peluang untuk berbuat kejahatan. Walaupun diawali
dengan gambaran yang serba negatif namun lambat laun keadaan bisa berubah
secara perlan-lahan. Didahului oleh Perubahan Undang Undang pendidikan , dan
dibentuknya kelompok-kelompok masyarakat yang independen untuk membantu
pendidikan agar mampu mandiri yang dinamakan Dewan Pendidikan di tingkat
kota/kabupaten dan Komite Sekolah di tingkat sekolah.
Instrumen-instrumen untuk mewujudkan
desentralisasi pendidikan juga diusahakan seperti MBS(manajemen berbasis
sekolah), Life Skills dan TQM (total quality manajemen), walaupun pada
pelaksanaannya masih terhambat pada masalah sumber daya manusia dan kekurangan
dana.Yang sangat menonjol di zaman demokrasi adalah pendidikan berdemokrasi
rakyat Indonesia sudah banyak mengalami kemajuan.
BAB III
PENDIDIKAN MASA DEPAN KE ARAH PENDIDIKAN YANG TRANSFORMATIF
- Perbaikan Ekonomi
1. Meningkatkan Anggaran Pendidikan
Dalam upaya
membantu masyarakat untuk keluar dari lingkaran kemiskinan, pemerintah perlu
mengambil kebijkan baru agar semua anak usia sekolah, terutama dari golongan
miskin dapat sekolah tanpa dibebani biaya pendidikan. Sekolah-sekolah negeri,
terutama untuk tingkat SMP dan SMA yang 90% anggarannya ditanggung pemerintahan
hendaknya meningkatkan pelayanan terhadap rakyat miskin. Dalam hal ini
pemerintah perlu mengambil kebijakan baru dalam penerimaan murid. Tak hanya
menggunakan nilai UAN (NEM) atau hasil tes semata, tapi perlu melihat kemampuan
ekonomi calon siswa. Hal tersebut agar rakyat miskin pun dapat bersekolah
negeri tanpa adanya deskriminatif dari yang kaya maupun terhadap yang miskin.3
Mekanisme
penerimaan siswa sekolah negeri dengan memberikan alokasi yang besar kepada
anak-anak orang miskin serta peningkatan subsidi kepada sekolah-sekolah swasta
kecil, dapat membantu mempercepat masyarakat keluar dari lingkaran kemiskinan
serta mengurangi pembedaan antar kaya-miskin dan pandai-bodoh. Sebab dengan
kebijakan tersebut orang-orang miskin bodoh pun dapat memperoleh pelayanan
pendidikan yang sama di sekolah-sekolah negeri maupun swasta yang sebagian
besar ditanggung oleh pemerintahan.
Kebijakan
juga dapat di terapkan untuk mengatasi kesenjangan mutu pendidikan antara desa
dan kota dengan memperbesar bantuan untuk sekolah-sekolah di pelosok di satu
pihak mengerem bantuan untuk sekolah-sekolah di kota dan bukan hanya di
sekolah-sekolah negeri saja, melainkan sekolah-sekolah swasta kecil pun tak
luput dari peningkatan anggaran tersebut. Dan bahkan perlu mendapatkan
prioritas utama agar hal tersebut dapat memberikan pelayanan yang baik bagi
goolongan miskin. Dengan demikian setiap anak usia sekolah yang tidak mampu
tetap bisa sekolah, baik di sekolah negeri maupun swasta tanpa dihantui oleh
besarnya iuran-iuran.
2. Bebaskan sekolah dari Suasana Bisnis
Peningkatan
anggaran akan berdampak positif terhadap kemampuan masyarakyat untu
menyekolahkan anaknya bila disertai kebijakan yang mendukung, seperti peniadaan
pungutan uang yang tidak prinsipil. Kebiasaan menjadikan sekolah sebagai ladang
mencari keuntungan bagi perusahaan-perusahaan swasta (penerbit, alat-alat
tulis, seragam dll), yang pada akhirnya hanya membebani masyarakat dengan
berbagai pungutan. Pola seperti itu merupakan kontribusi yang sangat besar
dalam proses pemiskinan masyarakat.
Sekolah
harus dibebaskan dari segala nuansa bisnis yang dilakukan oleh siapapun,
terlebih oleh kepala sekolah, guru dan BK dengan dalih apapun. Sekolah adalah
tempat untuk mencerdaskan anak bangsa, bukan sebagai ladang bisnis maupun pasar
untuk mencari keuntungan. Fugsi guru adalah mendidik, melatih dan membimbing
siswa menuju ke alam kedewasaan. Bukan sebagai calo, rentenir dan sebagainya.
Dan para pengelola sekolah pun harus jujur pada diri sendiri dan perlu
menjernihkan misinya terjun ke lapangan pendidikan.
Mulai
sekarang, praktek-praktek bisnis dalam lingkungan sekolah harus ditiadakan.
Sulit diharapkan pendidikan dapat memberikan kontribusi bagi penghapusan
korupsi, bila instituisi pengelolanya sendiri tergolong dalam departemen
pemerintahan yang paling korup.
- Perbaikan Kurikulum
1. Kurikulum Berbasis Masyarakat
Kritik yang
sangat tajam yang sekarang sering dilontarkan terhadap kurikulum pendidikan
nasional yang bersifat sentralistik yang hanya memusatkan di jawa (Jawa
Centris). Dan ternyata kurikulum seperti itu telah terbukti tidak efektif atau
gagal karena tidak mampu menciptakan manusia secara individu maupun bangsa yang
mandiri. Oleh sebab itu kurikulum sekarang dan masa-masa yang akan datang harus
disusun berdasarkan semangat desentralisasi.
Pendidikan
sekolah itu membekali pelajar dengan kerangka yang memungkinkannya menyusun dan
memahami pengetahuan yang diperoleh dari lingkungan. Oleh karena itu,
penyusunan kurikulum perlu memperhatikan dan mempertimbangkan segala potensi
alam, SDM, maupun sarana prasarana
mendukung yang ada di setiap daerah. Dengan demikian materi kurikulum
tidak seluruhnya mengacu pada jakarta, akan tetapi berbasis pada kebutuhan dan
potensi masyarakat.
Agar lebih
efektif dan efisien, desentralisasi kurikulum
(berbasisikan masyarakat) harus diikuti dengan desentralisasi sistem
evaluasi. Artinya setiap daerah dapat menentukan sistem evaluasinya sendiri,
sehingga tidak diperlukan lagi yang namanya UAN. UAN selama ini dinilai hanya
merupakan pemborosan dana dengan hasil yang minimum.
2. Penghapusan Agama dan Konsep SARA
”Pencarian terhadap Tuhan, kebenaran, perasaan
yang sepenuhnya baik-bukan pemupukan kebaikan, rendah hati, tapi pencarian
terhadap sesuatu yang berada di luar tipuan-tipuan akal budi, yang berarti
mempunyai perasaan untuk sesuatu itu, hidup di dalamnya, bersatu
dengannya-itulah agama yang sejati”. Kata Krishnamurti.3
Dengan
konsep agama di atas, kita tempatkan pendidikan agama sebagai dogma atau
pengetahuan salah satu agama tertentu kepada seorang siswa, tetapi sebagai
penginternalisasian nilai-nilai kebaikan yang selama ini telah dimiliki dan
diwujdkan oleh banyak orang dari berbagai aliran. Penginternalisasian
nilai-nilai kebaikan, kerendahan hati, cinta kasih, dan peduli pada nasib
sesama itu tidak cukup berdasarkan pada satu sudut pandang tertentu, tetapi
perlu pengitegrasian berbagai sudut pandang, yaitu mencakup seluruh nilai-nilai
yang berkembang di masyarakat.
Berdasarkan
pernyataan di atas, pendidikan agama pada masa yang akan datang khususnya bagi sekolah-sekolah
multikultural sebaiknya tidak lagi di tunjukan kepada siswa secara individu
menurut agama yang di anutnya, melainkan secara kolektif dan berdasarkan
kepentingan bersama. Hal tersebut merangsang pemahaman para siswa agar dapat menentukan agamanya sendiri (bukan
dari faktor keturunan) dan memahami pluralitas berdasarkan kesadaran kritisnya,
mengajarkan keterbukaan, dan toleran.
3. Kurikulum Menanamkan Demokrasi
Belajar
dari pengalaman masa lulu, pendidikan telah gagal dalam medemonstrasikan
individu maupun bangsa. Hal ini dikarenakan pendidikan di jadikan sebagai alat
politik bagi penguasa untuk
mempertahankan status quo dan
ideologi militeristik. Menurut Ignas Kleden, dalam pendidikan yang dikendalikan
oleh negara, perkembangan individu akan tercapai jikalau di kaitkan dengan kepentingan negara.
Individ yang berhasil adalah warga negara yang dapat mengabdi dengan baik.
Pandangan ini memiliki beberpa kekurangan-kekurangan pokok, pendidikan yang
diberikan oleh pemerinahan tidak mempertimbangkan kelas sosial yang berakibat
sekolah-sekolah yang lemah baik yang secara ekonomis maupun sosial akan
mengabdi kepada sekolah-sekolah yang lebih kuat. Dan patriotisme serta nasionalisme dapat
berkembng menjadi chauvimisme yang justru dapat membahayakan keamanan dan
kesejahteraan umat manusia. Untuk itu diperkkannya pendidikan yang lebih
demokratis.
Dalam
pendidikan yang demokratis siswa dengan segala keberaniannya akan mengungkap
suatu kebenaran yang disakralkan. Siswa diajarkan untuk berbeda pendapat,
sehingga kebenaran tidak dapat dimonopoli oleh penguasa, melainkan hasil dari
rumusan bersama. Sejarah tidak boleh di palsukan, dengan demikian pelajaran
sejarah di sekolah tidak di manipulasi oleh penguasa. Sejarah yang jujur dan
haq.
Untuk itu
pemerintah sudah saatnya pemerintah mengembalikan hak-hak kepada setiap warga
negara untuk melakukan eksperimen dalam dunia pendidikan.
4. Pendidikan Melatih Kesadaran Kritis
Tujuan
pendidikan adalah memungkinkan orang menemukan kepribadiannya, ”membentuk
kepribadian” dengan konsep memanusiakan manusia.3
Pendidikan sebagai proses pemerdekaan manusia. Manusia memilki kebebasan dalam
berpikir yang telah menjadi haknya dan dapat memperkaya masyarakatnya, memperkaya
pergaulan hidup, dan nilai-nilai kerohaniannya. Manusia mempergunakan haknya
untuk mengatur diriya sendiri tanpa mengacuhkan tata tertib damai masyarakat.
Konsep
pendidikan yang seperti itulah pendidikan yang bersifat kooperatif terhadap
segenap kemampuan individu mencapai proses berpikir yang lebih bebas dan
kreatif. Model pendidikan
tersebut menghargai potensi yang ada pada diri individu. Artinya pendidikan tak
mematok atau mematikan potensi-potensi individual dengan berbagai penyeragaman
dan sanksi-sanksi, melainkan dibiarkan tumbuh berkembang secara wajar dan
manusiawi akan tetapi juga di perlukan bimbingan.
Sikap yang
selalu kritis terhadap hal-hal yang baru, akan menumbuhkan kepekaan sosial dan
ras keadilan pada diri individu.sikap tersebut menjadi penting dalam mengatasi
persoalan-persoalan sosial, budaya,
politik, dan ekonomi bangsa ini.
- Menghapuskan Ideologi Militeristik dalam Pendidikan
1. Menghapus Seragam Sekolah dan Upacara
Cita rasa
dan naluri manusia sangat beragam, tidak bisa di satukan begitu saja menjadi
satu wadah tunggal. Hal tersebut sama saja membatasi dan mengurung keberagaman
yang memiliki potensi dalam menciptakan suatu kemajuan tersebut. Dan fungsi
pendidikan bukanlah bukan untuk menyatukan keberagaman serta perbedaan-perbedaan
yang multikultural, melainkan memelihara dan mengembangkan agar tetap beragam.
Sebab keberagaman merupakan keindahan dunia. Tanpa keberagaman dunia tak akan
ada.
Kewajiban
berseragam sangatlah tidak sesuai untuk diterapkan dalam kehidupan demokrasi. Begitu
pula keharusan melaksanakan upacara setiap hari senin maupun hari-hari momentum
indonesia yang mana alih-alih untuk mengembangkan serta menumbuhkan rasa
nasionalisme dan patriotisme hanya
serangkaian acara yang menghabiskan energi dan sebagai cerminan pendukung
penguasa yang fasis. Terbukti meskipun
tetap di lakukannya upacara setiap hari senin dan menyanyikan lagu kebangsaan
gejala disintegrasi merebak di mana-mana. Maka dapat disimpulka bahwa tak ada
kaitannya sama sekali upacara bendera dengan nasionalisme, patriotisme, atau
kedisiplinan.
2. Kembalikan Otonomi Sekolah Swasta
Sejarah
membuktikan bahwa pendidikan di Indonesia ini di mulai dari swasta, seperti
Muhammadiyah, Taman Siswa dll. Dan pendidikan yang diseenggarakan oleh swasta
masih menonjol sampai akhir tahum 1970 dan di intervensi kebijakannya oleh
pemerintah melalui kebijakan pakaian seragam, kurikulum, kebijakan akreditasi,
dan aturan-aturan yang mengikat dan semua itu di tentukan oleh pemerintah,
sekolah-sekolah swasta tersebut tak punya wewenang sama sekali hanya penyediaan
fisiknya saja. Dan yang membedakannya antara sekolah swasta dan sekolah negeri
hanya sebatas penyelenggaranya dan sumber dananya saja. Sekolah negeri dikelola
dan biaya di tanggung oleh negara, sedangkan sekolah swasta dikelola dan sumber
dananya oleh masyarakat. Akan tetapi sekolah swasta tidak memiliki otonomi sama
sekali untuk menentukan kurikulum, pakaian dan aturan-aturan lain yang
ditujukan untuk pengembangan sekolah itu sendiri.
Untuk hal
tersebut pemerintah harus meninjau kembali kebijakan-kebijakannya terhadap
sekolah-sekolah swasta. Otonomi sekolah swasta pun hendaknya dikembalikan,
tidak ada alasan yang rasional bagi pemerintah untuk tetap mengontrol
pendidikan swasta.
- Pemberdayaan guru
1. Melatih Kepekaan Guru
Guru
merupakan slah satu pelaku pendidikan yang paling utama. Dan para guru dituntut
untuk meninggalakan rasa takut dan pasif (malas), dan hendaknya lebih kreatif,
inisiatif, dan konsekuen dan memiliki sikap politik yang jelas. Sehingga posisi
guru bukan lagi sebagai subkoordinat birokrasi, melainkan sebagai pribadi yang
yang mandiri dan memiliki otonomi. Untuk menciptakan hal tersebut diperlukannya
pemberdayaan guru secara sungguh-sungguh.
Progam-progam
pelatihan untuk guru dirancang utuk mendorong tumbuhnya kreatifitas,
keberanian, serta inisiatif para guru, sehingga mereka mampu mengembangkan
model-model pengajaran yang variatif. Serta meninggalkan progam-program yang
bersifat indoktrinatif dan kurang memberdayakan para guru yang membuat para
guru semakin patuh dan takut seperti yang terjadi dalam program penataran pada
masa rezim orde baru yang terbukti gagal.
Dengan
demikian guru pada masa depan tidak mengajar secara monoton, melainkan dengan
berbagai variatif dan mempunyai nafas dan mencipyakan suasana yang hidup, bukan
sebagai tutor atau penatar yang hanya berdiri di depan murid, melainkan sebagai
fasilitator yang baik bagi para siswa-siswanya. Dan untuk itu perlu adanya
evaluasi pendidikan agar tidak menjadikan UAN sebagai satu-satunya indikator
mengukur mutu pendidikan.
2. Memperbaiki kesejahteraan Guru
Perbaikan
kesejahteraan guru merupakan upaya perbaikan pendidikan nasional. Kita telah
mengetahui bahwa guru merupakan faktor dominan serta perangkat vital dalam
penyelenggaraan pendidikan. Selama ini pemerintah maupun masyarakat tidak adil.
Mereka hanya menuntut untuk meningkatkan wawasan maupun mutu mengajar para
guru, namun di pihak lain mereka tidak pernah memenuhi kebutuhan pokok para
guru seperti informasi. Gaji guru hanya
cukup untuk membeli makan, sehingga tidak mampu berlangganan koran, majalah,
dll untuk meningkatkan wawasan mereka.
Berbeda
dari pegawai negeri biasa, bagi seorang guru, kebutuhan membaca koran,
buku-buku baruu, dll merupakan kebutuhan yang paling vital. Sebab jika
kebutuhan tersebut tidak dipenuhi, mereka akan ketinggalan oleh murid-muridnya
(katrok), sehingga kehilangan kewibawaan di hadapan para siswa. Hanya dengan
mengikuti informasi-inforasi terbaru dan terus belajar yang dapat meningkatkan
kemampuannya. Untuk itulah diperlukannya meningkatkan kesejahteraan para guru
sehingga tak ada lagi guru yang beralasan tidak ada uang untuk meningkatkan
mutunya.
PENUTUP
KESIMPULAN
Dunia pendidikan dalam lintas sejarah mengalami berbagai
problematika baik secara kuantitas maupun kualitas. Pendidikan Indonesia
terus berkembang melalui banyak hambatan. Pada masa colonial, penjajah selalu
menghalang-halangi perkembangan pendidikan serta kecerdasan anak bangsa.
Setelah mendapat kemerdekaan pendidikan di Indonesia mengalami perkembangan
yang sangat pesat. Bahkan Negara malaisia pun mengimpor guru dari Negara
tersebut. Akan tetapi pada masa orde baru pendidikan Indonesia mengalami kemunduran.
Berbagai masalah muncul dari berbagai sector, baik secara kuintatif berupa
besarnya anak bangsa yang krang mampu tidak dapat bersekolah (putus sekolah)
maupun secara kualitatif berupa program-program yang tidak mampu menyelesaikan
permasalahan-permasalahan Baik permasalahan ekonomi, politik, dll. Bahkan
pendidikan pun membentuk lingkaran setan. Rakyat bersekolah mempercepat
kemiskinan, padahal sekolah tersebut merupakan wadah untuk mengentaskan
kemiskinan tersebut. Begitu pula pada masa setelah reformasi-sekarang yang mana
permasalahan-permasalahan pendidikan pun belum terselesaikan secara tuntas.
Banyak respon yang telah di berikan oleh pemerintah,
masyarakat, organisasi-organisasi sosial, maupun LSM terhadap permasalahan
pendidikan tersebut. Semua respon tersebut ditujukan untuk mempertahankan
kondisi dasar agar tidak menjadi lebih buruk dan secara maksimal dapat
diarahkan untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional. Untuk tiu kita perlu mengevaluasi terus
perkembangan-perkembangan pendidikan untuk mencapai hasil yang maksimal.
DAFTATAR PUSTAKA
Darmaningtyas.
1999. Pendidikan Pada dan Setelah Krisis.
Pustaka Pelajar: Yogyakarta
Brajanagara,
Sutejo. 1956. Sejarah Pendidikan
Indonesia. Jogjakarta
phadli23.multiply.com
No comments:
Post a Comment