Wednesday 23 May 2012

DINAMIKA PENDIDIKAN INDONESIA



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Berbagai dinamika dan problematika silih beganti menghiasi sejarah pendidikan di Indonesia ini. Perjuangan masyarakat Indonesia untuk mendapatkan kemerdekaan , permasalahan-permasalahan  pendidikan nasional pada masa krisis yang mana pendidikan tak dapat mengeluarkan masyarakat dari cengkraman kemiskinan. Serta dinamika pendidikan yang terjadi sekarang ini yang penuh dengan gejolak penuntutan dari rakyat serta realitas anak bangsa sekarang ini yang hanya berpangku tangan dalam artian hanya menuntut tanpa adanya kesadaran bahwa perubahan berada di tangan mereka. Itu semua perlu kita renungi, akan dibawa kemanakah pendidikan kita?
Indonesia Sekarang ini sedang mencari sistem pendidikan yang sesuai untuk di terapkan. Sistem yang bagaimanakah yang sesuai untuk mencapai pendidikan yang transformatif dan ideal. Masyarakat Indonesia ini sekarang sedang resah. Berbagai problematika dalam segala sektor, dari sektor politik, ekonomi, maupun pendidikan dll. Dan mereka mencari solusi untuk menyelesaikannya. Dan semua itu dapat ditemukan dalam pendidikan yang relevan. Ada pepatah berkata bahwa harta yang menjaga adalah kita sedangkan yang menjaga kita adalah ilmu. Indonesia dikenal akan kekayaan alamnya, akan tetapi dalam realitanya mayoritas rakyat Indonesia miskin. Untuk itulah kemajuan dalam pendidikan sangat di perlukan di Indonesia ini.

B.     Rumusan Masalah
·         Bagaimana sejarah dan dinamika pendidikan yang terjadi di Indonesia?
·         Solusi untuk mencapai pendidikan yang transformatif?






BAB II
SEJARAH DAN DINAMIKA PENDIDIKAN  INDONESIA

  1. Pendidikan Masa Hindu-Buddha
Sistem pendidikan pada masa lalu baru dapat terekam dengan baik pada masa Hindu-Buddha. Menurut Agus Aris Munandar dalam tesisnya yang berjudul Kegiatan Keagamaan di Pawitra Gunung Suci di Jawa Timur Abad 14—15(1990).[1] Sistem pendidikan Hindu-Buddha dikenal dengan istilah karsyan. Karsyan adalah tempat yang diperuntukan bagi petapa dan untuk orang-orang yang mengundurkan diri dari keramaian dunia dengan tujuan mendekatkan diri dengan dewa tertinggi. Karsyan dibagi menjadi dua bentuk yaitu patapan dan mandala.
Patapan memiliki arti tempat bertapa, tempat dimana seseorang mengasingkan diri untuk sementara waktu hingga ia berhasil dalam menemukan petunjuk atau sesuatu yang ia cita-citakan. Ciri khasnya adalah tidak diperlukannya sebuah bangunan, seperti rumah atau pondokan. Bentuk patapan dapat sederhana, seperti gua atau ceruk, batu-batu besar, ataupun pada bangunan yang bersifat alami. Tapa berarti menahan diri dari segala bentuk hawa nafsu, orang yang bertapa biasanya mendapat bimbingan khusus dari sang guru, dengan demikian bentuk petapan biasanya hanya cukup digunakan oleh seorang saja.
mandala, atau disebut juga kedewaguruan. Berbeda dengan patapan, mandala merupakan tempat suci yang menjadi pusat segala kegiatan keagamaan, sebuah kawasan atau kompleks yang diperuntukan untuk para  pendeta, murid, dan mungkin juga pengikutnya. Mereka hidup berkelompok dan membaktikan seluruh hidupnya untuk kepentingan agama dan nagara. Mandala tersebut dipimpin oleh dewaguru.
Dapat diketahui bahwa nagara atau ibu kota atau juga pusat pemerintahan, biasanya dikelilingi oleh mandala. Dalam hal ini, antara mandala dan nagara tentunya mempunyai sifat saling ketergantungan. Nagara memerlukan mandala untuk dukungan yang bersifat moral dan spiritual, mandala dianggap sebagai pusat kesaktian, dan pusat kekuatan gaib.
Dengan demikian masyarakat yang tinggal di mandala mengemban tugas untuk melakukan tapa. Kemakmuran suatu negara, keamanan masyarakat serta kejayaan raja sangat tergantung dengan sikap raja terhadap kehidupan keagamaan. Oleh karena itu, nagara perlu memberi perlindungan dan keamanan, serta sebagai pemasok keperluan yang bersifat materiil (fasilitas dan makanan), agar para pendeta dan murid dapat dengan tenang mendekatkan diri dengan dewata.
  1. Pendidikan Masa Islam
Dalam permulaan abad XIV, bangsa Hindu yang telah memeluk agama Islam membaawa agama baru ini ke tanah air Indonesia. Sudah barang tentu pemikiran, perasaan, serata kehendak maupun tingkah laku masih di pengaruhi oleh adat istiadat agama Hindu dan Buddha.
Pengajaran agama Islam yang terdapat di tanah jawa dapat di bedakan menjadi  dua macam, yaitu langgar dan pesantren. Pengajaran di langgar-langgar merupakan pengajaran   permulaan sedang pengajaran di pesantren ditujukan kepada mereka yang ingin mencurahkan perhatiannya kepada pelajaran keagamaan. Pondok maupun langgar menggunakan sistem sorogan, yaitu para murid maupun santri yang berkumpul di langgar maju satu persatu kehadapan gurunya untuk diberi pelajaran  olehnya, sedang murid yang lain menunggu gilirannya.
Murid-murid tidak diwajibkan membayar uang sekolah sebagaimana halnya sekolah pada zaman sekarang ini. Biasanya orang tua murid mengantarkan anaknya ke pesantren pada umunya membawa hadiah bagi guru, berupa uang maupun bahan makanan. Selanjutnya penghargaan kepada guru tergantung dari adat istiadat setempat.
Tentang pemilihan lokasi pesantren yang jauh dari keramaian dunia, keberadaannya jauh dari permukiman penduduk, jauh dari ibu kota kerajaan maupun kota-kota besar. Pemilihan lokasi tersebut mencontoh sistem petapan yang mencari lokasi jauh dari keramaian dunia.akan tetapi ada juga pesantren yang lokasinya seperti halnya mandala, pada masa Islam istilah tersebut lebih dikenal dengan sebutan ”depok” Istilah depok itu sendiri berasal dari kata padepokan yang berasal dari kata patapan yang merujuk pada arti yang sama, yaitu “tempat pendidikan. Dengan demikian padepokan atau pesantren adalah sebuah sistem pendidikan yang merupakan kelanjutan sistem pendidikan sebelumnya.
Isi dari pengajaran pesantren yaitu:
1.      Aqidah, ilmu kepercayaan
2.      Fikih, ilmu kewajiban/hokum
Di samping al-Qur’an juga di pergunakan buku-buku yang ditulis dalam bahasa arab maupun bahasa jawa.guru membaca ayat-ayat, menerjemahkan dan menerangkan.
  1. Pendidikan Masa Kolonial Belanda
Pada abad ke XVI bangsa barat, pada permulaannya bangsa Portugis, lalu disusul oleh bangsa Belanda dan diselingi oleh Bangsa Inggris masuk ke tanah air kita dan lambat laun menjajah indonesia secara keseluruhan. Kekuasaan negara dipegang oleh bangsa Belanda yang tidak menghendaki perkembangan pendidikan dan pengajaran agama Islam. Sehingga usaha dalam lapangan ini dari bangsa kita tidak mengalami kemajuan sebagaimana mestinya.
Mulai zaman Kartasura kekuasaan kerajaan Islam makin melemah. Dan usaha dalam lapangan pendidikan dan pengajaran di urus oleh masyarakat tanpa campur tangan kerajaan. Mungkin ini juga sebagai salah satu faktor tidak adanya kemajuan dari pondok pesantren. Akan tetapi pada kenyataannya sebagian rakyat berusaha mendapatkan kecakapan membaca dan menulis, jadi merupakan usaha sendiri atau mendidik diri sendiri.
Kolonial Belanda datang ke tanah air kita untuk berdagang, dalam artian untuk mencari keuntungancbagi dirinya sendiri. Sudah barang tentu tidak menaruh perhatian terhadap pendidikan dan pengajaran dan hanya memperhatikan orang-orang Indonesia yang beragama kristen yang merupakan agama yang di bawa oleh kolonial Belanda. Akibatnya bangsa Indonesia berabad-abad tidak mendapatkan pendidikan dan pengajaran. Dan membatasi pendidikan dan pengajaran di pondok pesantren, langgar dan surau sehingga tidak dapat berkembang sebagaimana mestinya.
Baru pada abad XIX pemerintahan Belanda mulai memperhatikan pendidikan dan pengajaran bagi bangsa kita, sebagai akibat dari perubahan ketatanegaraan  di negeri Belanda, dengan terbentuknya parlemen. Akan tetapi kemauan ini selalu mendapat rintangan sehingga baru pada tahun 1848 diputuskan, bahwa pemeritahan Hindia Belanda di haruskan menyelenggarakan sekolah-sekolah untuk memberi pendidikan dan pengajaran bagi anak-anak bangsa kita dengan menggunakan sistem pendidikan dan pengajaran barat sebagaimana sistem pendidikan sekarang ini, yaitu sistem klasikal yang diciptakan oleh Johan Heinrich Pestalozzi (1746-1829).[2] Sistem pengajaran klasikal ialah, bahwa suatu pengajaran diberikan kepada sekelompok anak pada wakt bersamaan. Jadi bahan pengajarannya yang di berikan kepada anak-anak sama.
Akan tetapi, wajah pendidikan Indonesia lebih terlihat sebagai sosok yang memperjuangkan hak pendidikan. Hal ini dikarenakan pada saat itu, sistem pendidikan yang diberlakukan oleh pemerintah kolonial adalah sistem pendidikan dan pengajaran yang bersifat diskriminatif. Artinya hanya orang Belanda dan keturunannya saja yang boleh bersekolah, adapun pribumi yang dapat bersekolah merupakan pribumi yang berasal dari golongan priyayi.
Adapun bagi rakyat biasa tujuan pendidikan pada waktu itu hanya di arahkan pada pendidikan pegawai rendahan (juru tulis, klerk, mantri pegawai, dll). Pendidikan dan pengajaran diselenggarakan bukan untuk kecerdasan dan kemajuan rakyat melainkan hanya untuk memenuhi kebutuhan akan pegawai rendahan.
Kemiskinan bangsa kita dalam ariti lahir batin, yang dirasakan oleh beberapa orang terpelajar, menggerakankan batinya untuk mempertinggi derajat bangsa. Seingga lahirlah berbagai intuisi pendidikan yang lebih memihak rakyat seperti B.U. yang didirikan pada tanggal 20 mei 1980 di lingkungan Stovia. B.U. selalu memperjuangkan pendidikan dan pengajaran bagi rakyat dan mendirikan sekolah-sekolah sendiri yang bertujuan menghimpun rasa kebangsaan dan kecintaan kepada kebudayaan bangsa.
Pergerakan yang dipelopori oleh B.U ini mengakibatkan munculnya organisasi-organisasi baik bergerak dalam bidang pendidikan seperti Muhammadiyah,  perguruan rakyat, Taman Siswa yang didirikan oleh Ki Hajar Dewantoro Pada tahun 1922 maupun pergerakan kebangsaan yang bersifat kedaerahan oleh NIP dan selanjutnya oleh PNI yang berada di bawah pimpinan Ir. Soekarno yang menggalang persatuan Indonesia dengan semboyan ”Indonesia Merdeka” dan berjalan terus sampai hari proklamasi kemerdekaan di bacakan.
  1. Pendidikan Zaman Kemerdekaan dan Kedaulatan
Setelah masa kolonialisme berakhir , Indonesia memasuki masa awal kemerdekaan dimana keadaan negara pada saat itu masih kacau dan belum stabil . Oleh karena alasan itulah pemerintah belum memprioritaskan sektor pendidikan dan lebih memfokuskan bidang-bidang lainnya. Saat itu lembaga pendidikan yang berkembang masih dikelolola oleh sisa-sisa kaum kolonial ataupun sekolah-sekolah Belanda yang dinasionalisasikan Walaupun demikian, bukan berarti pemerintah bersikap acuh terhadap pendidikan di Indonesia. Walaupun gagasan untuk mengembangkan bidang pendidikan telah dimulai empat bulan setelah kemerdekaan, tetapi rencana itu baru terealisasi pada tahun 1947 dimana inti dari sistem pendidikan itu adalah sekolah rakyat enam tahun. Payung hukum yang berfungsi sebagai dasar berjalannya pendidikan masih sebatas UUD 1945 dan belum ada UU khusus yang mengatur hal tersebut Selain itu, sistem pendidikan ini belum mempunyai kurikulum yang baku dan orientasinya sebatas menyediakan tenaga kerja untuk mengisis kekosongan tenaga kerja di badan-badan yang baru terbentuk. Setelah 10 tahun berjalan, sistem pendidikan ini akhirnya diperbaharui setelah adanya ketetapan MPRS No II/MPRS/1960 tentang manusia sosialis Indonesia, dimana didalamnya terdapat rancangan tentang rumusan induk sistem pendidikan nasional. Akan tetapi sistem ini baru benar-benar berjalan setelah diperkuat oleh keputusan presiden (keppres) No 14 Tahun 1965. Keluar Keppres No 19 Tahun 1965 tentang pokok-pokok Sistem Pendidikan Nasional Pancasila. Sesuai dengan jiwa jaman (zeitgeist) yang berkembang saat itu, kurikulum yang berlaku saat itu bercorak gotong royong dan demokrasi terpimpin, Tetapi, kurikulum pada saat itu juga belum mempunyai bentuk yang baku dan orientasinya tidak jauh berbeda dengan kurikulum yang telah ada sebelumnya.
Tranformasi kekuasaan dari Orde Lama pada tahun menjadi Orde Baru pada tahun 1965 ternyata menjadi titik penting dalam sejarah pendidikan di Indonesia. Pada masa ini, untuk pertama kalinya disusun suatu kurikulum yang baku. Melalui Ketetapan MPRS No XXVII/MPRS/1966 yang berisi tujuan pendidikan: membentuk manusia Pancasilais sejati berdasarkan Pembukaan UUD 1945, lahirlah Kurikulum 1968, sebuah pedoman praksis pendidikan pertama yang terstruktur . Tujuan Kurikulum 1968 adalah mempertinggi mental-moral budi pekerti dan memperkuat keyakinan beragama, mempertinggi kecerdasan, dan keterampilan, serta membina atau mengembangkan fisik yang kuat dan sehat. Untuk mendukung tujuan ini, diadakanlah kegiatan-kegiatan oleh yayasan-yayasan swasta seperti munculnya sistem modul yang digagas oleh Ibu Pakasi dari Malang ataupun sekolah-sekolah pembangunan yang berorientasi pada kerja serta uji coba cara belajar siswa aktif (CBSA) di Cianjur.
Menginjak tahun 1970 dimana suasana sudah lebih kondusif, pemerintah mengambil inisiatif untuk mengambil alih kendali seluruh praksis pendidikan. Bila sebelumnya pendidikan bersifat liberatif dan desentralistis maka pemerintah mengubahnya menjadi deliberatif dan sentralistis. Hal ini mendorong perubahan bagi pihak swasta yang tidak lagi dianggap sebagai patner tetapi sebagai pesaing. Untuk mempertegas ambisi pemerintah disusunlah Kurikulum 1975 yang mengantikan peran Kurikulum 1968. Belum sempat seluruh sekolah menggunakan kurikulum 1975, pemerintah kemudian mengganti kurikulum yang baru berumur 9 tahun ini dengan kurikulum baru yaitu Kurikulum 1984. Berlakunya kurikulum ini merupakan kelanjutan dari UU Sistem Pendidikan Nasional yang dihasilkan secara terencana lewat sebuah panitia penilai. Dalam pelaksanaannya Kurikulum 1984 dianggap sarat beban, lalu muncul gagasan untuk mengganti kembali kurikulum ini dengan kurikulum yang baru. Tepatnya setelah 10 tahun belaku, akhirnya kurikulum ini diganti dengan kurikulum 1994 yang menurut pemerintah lebih ringan dan sederhana .
  1. Pendidikan Masa Orde Baru ( Masa Krisis )
Pendidikan nasional selama 32 tahun masa orde baru telah diabdikan sebagai motor pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan pelanggengan kekuasaan. Tujuan pendidikan  diselewengkan keluar dari esensi pendidikan yang sebenaranya. Sehingga pada masa orde baru yang ada bukan pendidikan melainkan penataran, atau indoktrinasi ideologi.
Tanpa disadari intervensi orde baru dalam pendidikan nasional sampai pada persoaalan individu, sehingga masyarakat merasa terkekang dan secara pribadi tidak memiliki privacy  lagi dalam kehidupannya. Dapat dilihat dalam kebijakan pakaian seragam.
Selain penyeragaman secara fisik rezim orde baru juga menyeragamkan pola pikir, sikap, dan cara bertindak setiap siswa dengan cara pensentralisasian kurikulum, pembakuan metode mengajar, alat tes sampai dengan penentuan naik tingkat dan kelulusan. Padahal setiap daerah mempunyai karakteristik yang berbeda-beda dari segi  kealaman, SDM, transportasi, infrstruktur, dll. Akibatnya selain terjadi ketimpangan kualitas antara kota-desa, jawa luar jawa, kaya-miskin, dan pendidikan itu sendiri malah membuat siswa tercerabut dari lingkungan sekitarnya. Sebab para siswa mempelajari hal-hal yang sangat berbeda dengan kehidpan mereka sehari-hari.
Penyeragaman tersebut merupakan rekayasa penguasa untuk melakukan kontrol terhadap masyarakat. Dengan pola pikir yang sama, sikap yang seia sekata, dan cara bertindak yang serempak, masyarakat secara mudah dapat dikendalikan. Pendidikan tidak dimaksudkan untuk mencerdaskan anak bangsa, mendewasakan pribadi manusia, dan memerdekakan siswa melainkan sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaannya.
Pada masa ini fungsi guru telah berubah menjadi kekuatan pengontrol segala penyelewengan dan pmengabaikan pendidikan.. guru menjadi bagian aparatur negara. Dengan fungsi seperti itu guru terkooptasi oleh kekuatan politik besar, sehingga tidak mempunyai kekuatan untuk melawan serta melakukan perubahan terhadap kebijakan pendidikan.[3]
Pendidikan tidak dapat mengentaskan masalah kemiskinan yang terjadi pada masa krisis ini. Antara pendidikan dan kemiskinan terbentuk suatu lingkaran setan: karena miskin siswa tidak sekolah dan karena tidak sekolah orang sulit keluar dari jerat kemiskinan. Pendidikan pada masa orde baru tersebut justru mempercepat proses pemiskinan masyarakat, baik karena pengembangan sistem yang keliru tanpa adanya dukungan dari dari pendanaan yang cukup. Upaya pemerintah untuk mendorong warga agar bersekolah tinggi-tinggi tidak disertai adanya tanggung jawab yang besar untuk menyediakan pembiayaan pendidikan, dan sering tidak melihat situasi dan kondisi sosial ekonomi. Dengan mudahnya menghutang kepada pihak asing dan menjual aset-aset baerharga negeri ini demi pendidikan yang tidak efisien dan berdampak negatif tersebut.
  1. Pendidikan Masa Reformasi-Sekarang
Pada masa transisi pendidikan nasional masih mengalami problematika yang hampir sama dengan orde baru, bahkan ada beberapa segi yang lebih kompleks. Beban pendidikan untuk mempertahankan kekuasaan dan ideologi militerisme masih terasa, belum mengalami perubahan.kecenderungan mengorbankan pendidikan untuk kepentingan politik semakin kuat, seperti yang dapat dilihat dari jalannya pendidikan di daerah-daerah yang sering dilanda kerusuhan
Multi krisis yang ditandai dengan timbul konflik , ketegangan, dan aksi kekerasan antar kelompok sosial, etnis, suku, agama, dan antar partai politikdi berbagai tempat telah membawa kerugian yang sangat besar di dunia pendidikan nasional. Peristiwa tersebut mengakibatkan terganggunya pelaksanaan pendidikan di tempat yang dilanda konflik tersebut.
Tetapi diluar itu semua, sejak kejatuhan rezim orde baru pada tahun 1998 masyarakat merasa lebih bebas berekspresi menyerukan reformasi untuk mengubah keadaan menjadi lebih baik, Namun terkesan lebih banyak mengejar kebebasan ketimbang memperjuangkan program reformasi itu sendiri. Sementara itu kondisi ekonomi semakin terpuruk, pengangguran meningkat dan angka kemiskinan meroket tajam yang kesemuanya membuka peluang untuk berbuat kejahatan. Walaupun diawali dengan gambaran yang serba negatif namun lambat laun keadaan bisa berubah secara perlan-lahan. Didahului oleh Perubahan Undang Undang pendidikan , dan dibentuknya kelompok-kelompok masyarakat yang independen untuk membantu pendidikan agar mampu mandiri yang dinamakan Dewan Pendidikan di tingkat kota/kabupaten dan Komite Sekolah di tingkat sekolah.
 Instrumen-instrumen untuk mewujudkan desentralisasi pendidikan juga diusahakan seperti MBS(manajemen berbasis sekolah), Life Skills dan TQM (total quality manajemen), walaupun pada pelaksanaannya masih terhambat pada masalah sumber daya manusia dan kekurangan dana.Yang sangat menonjol di zaman demokrasi adalah pendidikan berdemokrasi rakyat Indonesia sudah banyak mengalami kemajuan.











BAB III
PENDIDIKAN MASA DEPAN KE ARAH PENDIDIKAN YANG TRANSFORMATIF

  1. Perbaikan Ekonomi
1.      Meningkatkan Anggaran Pendidikan
Dalam upaya membantu masyarakat untuk keluar dari lingkaran kemiskinan, pemerintah perlu mengambil kebijkan baru agar semua anak usia sekolah, terutama dari golongan miskin dapat sekolah tanpa dibebani biaya pendidikan. Sekolah-sekolah negeri, terutama untuk tingkat SMP dan SMA yang 90% anggarannya ditanggung pemerintahan hendaknya meningkatkan pelayanan terhadap rakyat miskin. Dalam hal ini pemerintah perlu mengambil kebijakan baru dalam penerimaan murid. Tak hanya menggunakan nilai UAN (NEM) atau hasil tes semata, tapi perlu melihat kemampuan ekonomi calon siswa. Hal tersebut agar rakyat miskin pun dapat bersekolah negeri tanpa adanya deskriminatif dari yang kaya maupun terhadap yang miskin.3
Mekanisme penerimaan siswa sekolah negeri dengan memberikan alokasi yang besar kepada anak-anak orang miskin serta peningkatan subsidi kepada sekolah-sekolah swasta kecil, dapat membantu mempercepat masyarakat keluar dari lingkaran kemiskinan serta mengurangi pembedaan antar kaya-miskin dan pandai-bodoh. Sebab dengan kebijakan tersebut orang-orang miskin bodoh pun dapat memperoleh pelayanan pendidikan yang sama di sekolah-sekolah negeri maupun swasta yang sebagian besar ditanggung oleh pemerintahan.
Kebijakan juga dapat di terapkan untuk mengatasi kesenjangan mutu pendidikan antara desa dan kota dengan memperbesar bantuan untuk sekolah-sekolah di pelosok di satu pihak mengerem bantuan untuk sekolah-sekolah di kota dan bukan hanya di sekolah-sekolah negeri saja, melainkan sekolah-sekolah swasta kecil pun tak luput dari peningkatan anggaran tersebut. Dan bahkan perlu mendapatkan prioritas utama agar hal tersebut dapat memberikan pelayanan yang baik bagi goolongan miskin. Dengan demikian setiap anak usia sekolah yang tidak mampu tetap bisa sekolah, baik di sekolah negeri maupun swasta tanpa dihantui oleh besarnya iuran-iuran.

2.      Bebaskan sekolah dari Suasana Bisnis
Peningkatan anggaran akan berdampak positif terhadap kemampuan masyarakyat untu menyekolahkan anaknya bila disertai kebijakan yang mendukung, seperti peniadaan pungutan uang yang tidak prinsipil. Kebiasaan menjadikan sekolah sebagai ladang mencari keuntungan bagi perusahaan-perusahaan swasta (penerbit, alat-alat tulis, seragam dll), yang pada akhirnya hanya membebani masyarakat dengan berbagai pungutan. Pola seperti itu merupakan kontribusi yang sangat besar dalam proses pemiskinan masyarakat.
Sekolah harus dibebaskan dari segala nuansa bisnis yang dilakukan oleh siapapun, terlebih oleh kepala sekolah, guru dan BK dengan dalih apapun. Sekolah adalah tempat untuk mencerdaskan anak bangsa, bukan sebagai ladang bisnis maupun pasar untuk mencari keuntungan. Fugsi guru adalah mendidik, melatih dan membimbing siswa menuju ke alam kedewasaan. Bukan sebagai calo, rentenir dan sebagainya. Dan para pengelola sekolah pun harus jujur pada diri sendiri dan perlu menjernihkan misinya terjun ke lapangan pendidikan.
Mulai sekarang, praktek-praktek bisnis dalam lingkungan sekolah harus ditiadakan. Sulit diharapkan pendidikan dapat memberikan kontribusi bagi penghapusan korupsi, bila instituisi pengelolanya sendiri tergolong dalam departemen pemerintahan yang paling korup.

  1. Perbaikan Kurikulum
1.      Kurikulum Berbasis Masyarakat
Kritik yang sangat tajam yang sekarang sering dilontarkan terhadap kurikulum pendidikan nasional yang bersifat sentralistik yang hanya memusatkan di jawa (Jawa Centris). Dan ternyata kurikulum seperti itu telah terbukti tidak efektif atau gagal karena tidak mampu menciptakan manusia secara individu maupun bangsa yang mandiri. Oleh sebab itu kurikulum sekarang dan masa-masa yang akan datang harus disusun berdasarkan semangat desentralisasi.
Pendidikan sekolah itu membekali pelajar dengan kerangka yang memungkinkannya menyusun dan memahami pengetahuan yang diperoleh dari lingkungan. Oleh karena itu, penyusunan kurikulum perlu memperhatikan dan mempertimbangkan segala potensi alam, SDM, maupun sarana prasarana  mendukung yang ada di setiap daerah. Dengan demikian materi kurikulum tidak seluruhnya mengacu pada jakarta, akan tetapi berbasis pada kebutuhan dan potensi masyarakat.
Agar lebih efektif dan efisien, desentralisasi kurikulum  (berbasisikan masyarakat) harus diikuti dengan desentralisasi sistem evaluasi. Artinya setiap daerah dapat menentukan sistem evaluasinya sendiri, sehingga tidak diperlukan lagi yang namanya UAN. UAN selama ini dinilai hanya merupakan pemborosan dana dengan hasil yang minimum.

2.      Penghapusan Agama dan Konsep SARA
”Pencarian terhadap Tuhan, kebenaran, perasaan yang sepenuhnya baik-bukan pemupukan kebaikan, rendah hati, tapi pencarian terhadap sesuatu yang berada di luar tipuan-tipuan akal budi, yang berarti mempunyai perasaan untuk sesuatu itu, hidup di dalamnya, bersatu dengannya-itulah agama yang sejati”. Kata Krishnamurti.3
Dengan konsep agama di atas, kita tempatkan pendidikan agama sebagai dogma atau pengetahuan salah satu agama tertentu kepada seorang siswa, tetapi sebagai penginternalisasian nilai-nilai kebaikan yang selama ini telah dimiliki dan diwujdkan oleh banyak orang dari berbagai aliran. Penginternalisasian nilai-nilai kebaikan, kerendahan hati, cinta kasih, dan peduli pada nasib sesama itu tidak cukup berdasarkan pada satu sudut pandang tertentu, tetapi perlu pengitegrasian berbagai sudut pandang, yaitu mencakup seluruh nilai-nilai yang berkembang di masyarakat.
Berdasarkan pernyataan di atas, pendidikan agama pada masa yang akan  datang khususnya bagi sekolah-sekolah multikultural sebaiknya tidak lagi di tunjukan kepada siswa secara individu menurut agama yang di anutnya, melainkan secara kolektif dan berdasarkan kepentingan bersama. Hal tersebut merangsang pemahaman para siswa  agar dapat menentukan agamanya sendiri (bukan dari faktor keturunan) dan memahami pluralitas berdasarkan kesadaran kritisnya, mengajarkan keterbukaan, dan toleran.

3.      Kurikulum Menanamkan Demokrasi
Belajar dari pengalaman masa lulu, pendidikan telah gagal dalam medemonstrasikan individu maupun bangsa. Hal ini dikarenakan pendidikan di jadikan sebagai alat politik bagi penguasa untuk  mempertahankan status quo dan ideologi militeristik. Menurut Ignas Kleden, dalam pendidikan yang dikendalikan oleh negara, perkembangan individu akan tercapai  jikalau di kaitkan dengan kepentingan negara. Individ yang berhasil adalah warga negara yang dapat mengabdi dengan baik. Pandangan ini memiliki beberpa kekurangan-kekurangan pokok, pendidikan yang diberikan oleh pemerinahan tidak mempertimbangkan kelas sosial yang berakibat sekolah-sekolah yang lemah baik yang secara ekonomis maupun sosial akan mengabdi kepada sekolah-sekolah yang lebih kuat.  Dan patriotisme serta nasionalisme dapat berkembng menjadi chauvimisme yang justru dapat membahayakan keamanan dan kesejahteraan umat manusia. Untuk itu diperkkannya pendidikan yang lebih demokratis.
Dalam pendidikan yang demokratis siswa dengan segala keberaniannya akan mengungkap suatu kebenaran yang disakralkan. Siswa diajarkan untuk berbeda pendapat, sehingga kebenaran tidak dapat dimonopoli oleh penguasa, melainkan hasil dari rumusan bersama. Sejarah tidak boleh di palsukan, dengan demikian pelajaran sejarah di sekolah tidak di manipulasi oleh penguasa. Sejarah yang jujur dan haq.
Untuk itu pemerintah sudah saatnya pemerintah mengembalikan hak-hak kepada setiap warga negara untuk melakukan eksperimen dalam dunia pendidikan.

4.      Pendidikan Melatih Kesadaran Kritis
Tujuan pendidikan adalah memungkinkan orang menemukan kepribadiannya, ”membentuk kepribadian” dengan konsep memanusiakan manusia.3 Pendidikan sebagai proses pemerdekaan manusia. Manusia memilki kebebasan dalam berpikir yang telah menjadi haknya dan dapat memperkaya masyarakatnya, memperkaya pergaulan hidup, dan nilai-nilai kerohaniannya. Manusia mempergunakan haknya untuk mengatur diriya sendiri tanpa mengacuhkan tata tertib damai masyarakat.
Konsep pendidikan yang seperti itulah pendidikan yang bersifat kooperatif terhadap segenap kemampuan individu mencapai proses berpikir yang lebih bebas dan kreatif. Model pendidikan tersebut menghargai potensi yang ada pada diri individu. Artinya pendidikan tak mematok atau mematikan potensi-potensi individual dengan berbagai penyeragaman dan sanksi-sanksi, melainkan dibiarkan tumbuh berkembang secara wajar dan manusiawi akan tetapi juga di perlukan bimbingan.
Sikap yang selalu kritis terhadap hal-hal yang baru, akan menumbuhkan kepekaan sosial dan ras keadilan pada diri individu.sikap tersebut menjadi penting dalam mengatasi persoalan-persoalan  sosial, budaya, politik, dan ekonomi bangsa ini.

  1. Menghapuskan Ideologi Militeristik dalam Pendidikan
1.      Menghapus Seragam Sekolah dan Upacara
Cita rasa dan naluri manusia sangat beragam, tidak bisa di satukan begitu saja menjadi satu wadah tunggal. Hal tersebut sama saja membatasi dan mengurung keberagaman yang memiliki potensi dalam menciptakan suatu kemajuan tersebut. Dan fungsi pendidikan bukanlah bukan untuk menyatukan keberagaman serta perbedaan-perbedaan yang multikultural, melainkan memelihara dan mengembangkan agar tetap beragam. Sebab keberagaman merupakan keindahan dunia. Tanpa keberagaman dunia tak akan ada.
Kewajiban berseragam sangatlah tidak sesuai untuk diterapkan dalam kehidupan demokrasi. Begitu pula keharusan melaksanakan upacara setiap hari senin maupun hari-hari momentum indonesia yang mana alih-alih untuk mengembangkan serta menumbuhkan rasa nasionalisme dan patriotisme hanya  serangkaian acara yang menghabiskan energi dan sebagai cerminan pendukung penguasa yang fasis.  Terbukti meskipun tetap di lakukannya upacara setiap hari senin dan menyanyikan lagu kebangsaan gejala disintegrasi merebak di mana-mana. Maka dapat disimpulka bahwa tak ada kaitannya sama sekali upacara bendera dengan nasionalisme, patriotisme, atau kedisiplinan.

2.      Kembalikan Otonomi Sekolah Swasta
Sejarah membuktikan bahwa pendidikan di Indonesia ini di mulai dari swasta, seperti Muhammadiyah, Taman Siswa dll. Dan pendidikan yang diseenggarakan oleh swasta masih menonjol sampai akhir tahum 1970 dan di intervensi kebijakannya oleh pemerintah melalui kebijakan pakaian seragam, kurikulum, kebijakan akreditasi, dan aturan-aturan yang mengikat dan semua itu di tentukan oleh pemerintah, sekolah-sekolah swasta tersebut tak punya wewenang sama sekali hanya penyediaan fisiknya saja. Dan yang membedakannya antara sekolah swasta dan sekolah negeri hanya sebatas penyelenggaranya dan sumber dananya saja. Sekolah negeri dikelola dan biaya di tanggung oleh negara, sedangkan sekolah swasta dikelola dan sumber dananya oleh masyarakat. Akan tetapi sekolah swasta tidak memiliki otonomi sama sekali untuk menentukan kurikulum, pakaian dan aturan-aturan lain yang ditujukan untuk pengembangan sekolah itu sendiri.
Untuk hal tersebut pemerintah harus meninjau kembali kebijakan-kebijakannya terhadap sekolah-sekolah swasta. Otonomi sekolah swasta pun hendaknya dikembalikan, tidak ada alasan yang rasional bagi pemerintah untuk tetap mengontrol pendidikan  swasta.

  1. Pemberdayaan guru
1.      Melatih Kepekaan Guru
Guru merupakan slah satu pelaku pendidikan yang paling utama. Dan para guru dituntut untuk meninggalakan rasa takut dan pasif (malas), dan hendaknya lebih kreatif, inisiatif, dan konsekuen dan memiliki sikap politik yang jelas. Sehingga posisi guru bukan lagi sebagai subkoordinat birokrasi, melainkan sebagai pribadi yang yang mandiri dan memiliki otonomi. Untuk menciptakan hal tersebut diperlukannya pemberdayaan guru secara sungguh-sungguh.
Progam-progam pelatihan untuk guru dirancang utuk mendorong tumbuhnya kreatifitas, keberanian, serta inisiatif para guru, sehingga mereka mampu mengembangkan model-model pengajaran yang variatif. Serta meninggalkan progam-program yang bersifat indoktrinatif dan kurang memberdayakan para guru yang membuat para guru semakin patuh dan takut seperti yang terjadi dalam program penataran pada masa rezim orde baru yang terbukti gagal.
Dengan demikian guru pada masa depan tidak mengajar secara monoton, melainkan dengan berbagai variatif dan mempunyai nafas dan mencipyakan suasana yang hidup, bukan sebagai tutor atau penatar yang hanya berdiri di depan murid, melainkan sebagai fasilitator yang baik bagi para siswa-siswanya. Dan untuk itu perlu adanya evaluasi pendidikan agar tidak menjadikan UAN sebagai satu-satunya indikator mengukur mutu pendidikan.

2.      Memperbaiki kesejahteraan Guru
Perbaikan kesejahteraan guru merupakan upaya perbaikan pendidikan nasional. Kita telah mengetahui bahwa guru merupakan faktor dominan serta perangkat vital dalam penyelenggaraan pendidikan. Selama ini pemerintah maupun masyarakat tidak adil. Mereka hanya menuntut untuk meningkatkan wawasan maupun mutu mengajar para guru, namun di pihak lain mereka tidak pernah memenuhi kebutuhan pokok para guru seperti informasi.  Gaji guru hanya cukup untuk membeli makan, sehingga tidak mampu berlangganan koran, majalah, dll untuk meningkatkan wawasan mereka.
Berbeda dari pegawai negeri biasa, bagi seorang guru, kebutuhan membaca koran, buku-buku baruu, dll merupakan kebutuhan yang paling vital. Sebab jika kebutuhan tersebut tidak dipenuhi, mereka akan ketinggalan oleh murid-muridnya (katrok), sehingga kehilangan kewibawaan di hadapan para siswa. Hanya dengan mengikuti informasi-inforasi terbaru dan terus belajar yang dapat meningkatkan kemampuannya. Untuk itulah diperlukannya meningkatkan kesejahteraan para guru sehingga tak ada lagi guru yang beralasan tidak ada uang untuk meningkatkan mutunya.


PENUTUP

KESIMPULAN
Dunia pendidikan dalam lintas sejarah mengalami berbagai problematika baik secara kuantitas maupun kualitas. Pendidikan Indonesia terus berkembang melalui banyak hambatan. Pada masa colonial, penjajah selalu menghalang-halangi perkembangan pendidikan serta kecerdasan anak bangsa. Setelah mendapat kemerdekaan pendidikan di Indonesia mengalami perkembangan yang sangat pesat. Bahkan Negara malaisia pun mengimpor guru dari Negara tersebut. Akan tetapi pada masa orde baru pendidikan Indonesia mengalami kemunduran. Berbagai masalah muncul dari berbagai sector, baik secara kuintatif berupa besarnya anak bangsa yang krang mampu tidak dapat bersekolah (putus sekolah) maupun secara kualitatif berupa program-program yang tidak mampu menyelesaikan permasalahan-permasalahan Baik permasalahan ekonomi, politik, dll. Bahkan pendidikan pun membentuk lingkaran setan. Rakyat bersekolah mempercepat kemiskinan, padahal sekolah tersebut merupakan wadah untuk mengentaskan kemiskinan tersebut. Begitu pula pada masa setelah reformasi-sekarang yang mana permasalahan-permasalahan pendidikan pun belum terselesaikan secara tuntas.
Banyak respon yang telah di berikan oleh pemerintah, masyarakat, organisasi-organisasi sosial, maupun LSM terhadap permasalahan pendidikan tersebut. Semua respon tersebut ditujukan untuk mempertahankan kondisi dasar agar tidak menjadi lebih buruk dan secara maksimal dapat diarahkan untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional. Untuk tiu kita  perlu mengevaluasi terus perkembangan-perkembangan pendidikan untuk mencapai hasil yang maksimal.

DAFTATAR PUSTAKA

Darmaningtyas. 1999. Pendidikan Pada dan Setelah Krisis. Pustaka Pelajar: Yogyakarta
Brajanagara, Sutejo. 1956. Sejarah Pendidikan Indonesia. Jogjakarta
phadli23.multiply.com



[1] phadli23.multiply.com
[2] Sutedjo Bradjanegara,1956, Sejarah Pendidikan Indonesia, Jogjakarta, hal. 41-42

[3] Darmaningtyas, 1999, Pendidikan Pada dan Setelah Krisis, Jogjakarta, hal. 140
3 ibid, hal. 154
3 ibid, hal. 164
3 ibid, hal. 174

No comments: