Tuesday 29 May 2012

ISLAM DAN RESILIENSI


PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Kondisi atau keadaan yang menekan dalam kehidupan merupakan suatu hal yang selalu ada dalam rentang perkembangan kehidupan manusia. Dalam teori perkembangan Erikson (dalam Santrock) dinyatakan bahwa setiap tahap perkembangan dalam rentang kehidupan manusia mempunyai tugas perkembangan yang khas yang menghadapkan manusia pada suatu krisis yang harus dihadapi. Semakin individu berhasil mengatasi krisis yang dihadapi maka akan semakin meningkatkan potensi individu dalam rangka menghadapi tahapan perkembangan berikutnya.
Ada individu yang mampu bertahan dan pulih dari situasi negatif secara efektif sedangkan individu lain gagal karena mereka tidak berhasil keluar dari situasi yang tidak menguntungkan. Kemampuan untuk melanjutkan hidup setelah ditimpa kemalangan atau setelah mengalami tekanan yang berat bukanlah sebuah keberuntungan, tetapi hal tersebut menggambarkan adanya kemampuan tertentu pada individu yang dikenal dengan istilah resiliensi (Tugade & Fredikson 2004).
Manusia tidak akan terlepas dari permasalahan-permasalahan hidup yang terkadang mendatangkan kondisi yang menekan (adversity) dimana dapat menimbulkan dampak negatif baik fisik maupun psikis. Menurut Santrock, ketakutan akan kegagalan dalam mencapai kehidupan yang sukses sering kali menjadi alasan munculnya stres dan depresi pada manusia. Dalam menghadapi berbagai permasalahan tersebut diperlukan kemampuan individu agar dapat beradaptasi terhadap kondisi tersebut dimana dapat meningkatkan potensi diri setelah menghadapi situasi yang penuh tekanan.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa itu resiliensi?
2.      Apa factor-faktor yang mempengaruhi resiliensi?
3.      Bagaimanakah resiliensi dalam Islam?

PEMBAHASAN
A.    Definisi Resiliensi
Secara bahasa, resiliensi merupakan istilah Bahasa Inggris dari kata resilience yang artinya daya pegas, daya kenyal atau kegembiraan.
Istilah resiliensi diformulasikan pertama kali oleh Block (dalam Klohnen, 1996) dengan nama ego-resilience, yang diartikan sebagai kemampuan umum yang melibatkan kemampuan penyesuaian diri yang tinggi dan luwes saat dihadapkan pada tekanan internal maupun eksternal.
Sedangkan menurut Reivich dan Shatte resiliensi adalah kemampuan untuk beradaptasi dan tetap teguh dalam situasi sulit.
Dari definisi yang dikemukakan di atas, nampak bahwa ego resiliensi merupakan satu sumber kepribadian yang berfungsi membentuk konteks lingkungan jangka pendek maupun jangka panjang, di mana sumber daya tersebut memungkinkan individu untuk memodifikasi tingkat karakter dan cara mengekspresikan pengendalian ego yang biasa mereka lakukan. 
Dalam perjalanannya, terminologi resiliensi mengalami perluasan dalam hal pemaknaan. Diawali dengan penelitian Rutter & Garmezy (dalam Klohnen, 1996), tentang anak-anak yang mampu bertahan dalam situasi penuh tekanan. Dua peneliti di atas menggunakan istilah resiliensi sebagai descriptive labels yang mereka gunakan untuk menggambarkan anak-anak yang mampu berfungsi secara baik walaupun mereka hidup dalam lingkungan buruk dan penuh tekanan. 
Wolff (dalam Banaag, 2002), memandang resiliensi sebagai trait. Menurutnya, trait ini merupakan kapasitas tersembunyi yang muncul untuk melawan kehancuran individu dan melindungi individu dari segala rintangan kehidupan. Individu yang mempunyai intelegensi yang baik, mudah beradaptasi, social temperament, dan berkepribadian yang menarik pada akhirnya memberikan kontribusi secara konsisten pada penghargaan diri sendiri, kompetensi, dan perasaan bahwa ia beruntung. Individu tersebut adalah individu yang resilien. 
Grotberg (1995), di sisi lain menjelaskan bahwa resiliensi merupakan kapasitas yang bersifat universal dan dengan kapasitas tersebut, individu, kelompok ataupun komunitas mampu mencegah, meminimalisir ataupun melawan pengaruh yang bisa merusak saat mereka mengalami musibah atau kemalangan. 
Resiliensi disebut juga oleh Wolin & Wolin (dalam Bautista, Roldan & Bascal, 2001), sebagai keterampilan coping saat dihadapkan pada tantangan hidup atau kapasitas individu untuk tetap “sehat” (wellness) dan terus memperbaiki diri (self repair).
Lazarus (dalam Tugade & Fredrikson, 2004), menganalogikan resiliensi dengan kelenturan pada logam. Misalnya, besi cetak yang banyak mengandung karbon sangat keras tetapi getas atau mudah patah (tidak resilien) sedangkan besi tempa mengandung sedikit karbon sehingga lunak dan mudah dibentuk sesuai dengan kebutuhan (resilien). Perumpaan tersebut bisa diterapkan untuk membedakan individu yang memiliki daya tahan dan yang tidak saat dihadapkan pada tekanan psikologis yang dikaitkan dengan pengalaman negatif. 
Banaag (2002), menyatakan bahwa resiliensi adalah suatu proses interaksi antara faktor individual dengan faktor lingkungan. Faktor individual ini berfungsi menahan perusakan diri sendiri dan melakukan kontruksi diri secara positif, sedangkan faktor lingkungan berfungsi untuk melindungi individu dan “melunakkan” kesulitan hidup individu. 
Liquanti (1992), menyebutkan secara khusus bahwa resiliensi pada remaja merupakan kemampuan yang dimiliki remaja di mana mereka tidak mengalah saat menghadapi tekanan dan perbedaan dalam lingkungan. Mereka mampu terhindar dari penggunaan obat terlarang, kenakalan remaja, kegagalan di sekolah, dan dari gangguan mental.
Untuk mencakup beberapa konsep yang dikemukakan diatas, defenisi yang diajukan Masten, Best dan Garmezy (dalam Axford) cukup mewakili yang mana mendefinisikan resiliensi sebagai “the process of, capacity for, or outcome of successful adaptation despite challenging or threatening circumstances”. Pada pengertian di atas disebutkan resiliensi sebagai proses, kapasitas, atau hasil (outcome) dari adaptasi yang positif meskipun dalam keadaan yang menantang atau mengancam. Dengan defenisi ini, mereka mencoba untuk mencakup berbagai perbedaan definisi yang ada. 
Masten & Coatswerth (dalam Davis, 1999), mengatakan bahwa untuk mengidentifikasikan resiliensi diperlukan dua syarat, yaitu yang pertama adanya ancaman yang signifikan pada individu (ancaman berupa status high risk atau ditimpa kemalangan dan trauma yang kronis) dan yang kedua adalah kualitas adaptasi atau perkembangan individu tergolong baik (individu berperilaku dalam compotent manner). 

B.     Faktor-faktor Resiliensi
Banyak penelitian yang berusaha untuk mengidentifikasikan faktor yang berpengaruh terhadap resiliensi seseorang. Faktor tersebut meliputi dukungan eksternal dan sumber-sumbernya yang ada pada diri seseorang (misalnya keluarga, lembaga-lembaga pemerhati dalam hal ini yang melindungi perempuan), kekuatan personal yang berkembang dalam diri seseorang (seperti self-esteem, a capacity for self monitoring, spritualitas dan altruism), dan kemampuan sosial (seperti mengatasi konflik, kemampuan-kemampuan berkomunikasi). 
Grotberg (1995), mengemukakan faktor-faktor resiliensi yang diidentifikasikan berdasarkan sumber-sumber yang berbeda. Untuk kekuatan individu, dalam diri pribadi digunakan istilah ‘I Am’, untuk dukungan eksternal dan sumber-sumbernya, digunakan istilah ‘I Have’, sedangkan untuk kemampuan interpersonal digunakan istilah’I Can’. 
Berikut ini akan dijelaskan mengenai faktor-faktor resiliensi yang dapat menggambarkan resiliensi pada individu. I Am, I Have, I Can merupakan karakteristik untuk meningkatkan resiliensi dari the principal investigator of the Internasional Resilieance Project (Grotberg, 1995). 
Faktor I Am merupakan kekuatan yang berasal dari dalam diri, seperti perasaan, tingkah laku dan kepercayaan yang terdapat dalam diri seseorang. Faktor I Am terdiri dari beberapa bagian antara lain; bangga pada diri sendiri, perasaan dicintai dan sikap yang menarik, individu dipenuhi harapan, iman, dan kepercayaan, mencintai, empati dan altruistic, yang terakhir adalah mandiri dan bertanggung jawab. 
Berikut ini, akan dijelaskan satu persatu mengenai bagian-bagian dari faktor I Am. 
Bangga pada diri sendiri; individu tahu bahwa mereka adalah seorang yang penting dan merasa bangga akan siapakah mereka itu dan apapun yang mereka lakukan atau akan dicapai. Individu itu tidak akan membiarkan orang lain meremehkan atau merendahkan mereka. Ketika individu mempunyai masalah dalam hidup, kepercayaan diri dan self esteem membantu mereka untuk dapat bertahan dan mengatasi masalah tersebut. 
Perasaan dicintai dan sikap yang menarik; Individu pasti mempunyai orang yang menyukai dan mencintainya. Individu akan bersikap baik terhadap orang-orang yang menyukai dan mencintainya. Seseorang dapat mengatur sikap dan perilakunya jika menghadapi respon-respon yang berbeda ketika berbicara dengan orang lain. Bagian yang lain adalah dipenuhi harapan, iman, dan kepercayaan. Individu percaya ada harapan bagi mereka, serta orang lain dan institusi yang dapat dipercaya. Individu merasakan mana yang benar maupun salah, dan ingin ikut serta di dalamnya. Individu mempunyai kepercayaan diri dan iman dalam moral dan kebaikan, serta dapat mengekspresikannya sebagai kepercayaan terhadap Tuhan dan manusia yang mempunyai spiritual yang lebih tinggi. 
Mencintai, empati, altruistic; yaitu ketika seseorang mencintai orang lain dan mengekspresikan cinta itu dengan berbagai macam cara. Individu peduli terhadap apa yang terjadi pada orang lain dan mengekspresikan melalui berbagai perilaku atau kata-kata. Individu merasakan ketidaknyamanan dan penderitaan orang lain dan ingin melakukan sesuatu untuk menghentikan atau berbagi penderitaan atau memberikan kenyamanan. 
Bagian yang terakhir adalah mandiri dan bertanggung jawab. Individu dapat melakukan berbagai macam hal menurut keinginan mereka dan menerima berbagai konsekuensi dan perilakunya. Individu merasakan bahwa ia bisa mandiri dan bertanggung jawab atas hal tersebut. Individu mengerti batasan kontrol mereka terhadap berbagai kegiatan dan mengetahui saat orang lain bertanggung jawab.
Setiap faktor dari I Am, I Have, I Can memberikan konstribusi pada berbagai macam tindakan yang dapat meningkatkan potensi resiliensi. Individu yang resilien tidak membutuhkan semua sumber-sumber dari setiap faktor, tetapi apabila individu hanya memiliki satu faktor individu tersebut tidak dapat dikatakan sebagai individu yang beresiliensi, misalnya individu yang mampu berkomunikasi dengan baik (I Can) tetapi ia tidak mempunyai hubungan yang dekat dengan orang lain (I Have) dan tidak dapat mencintai orang lain (I Am), ia tidak termasuk orang yang beresiliensi.
Sedangkan menurut Reivich dan Shatté,2002. Resiliensi dibangun dari tujuh kemampuan yang berbeda dan hampir tidak ada satupun individu yang secara keseluruhan memiliki kemampuan tersebut dengan baik.
Kemampuan ini terdiri dari:

1.      Regulasi emosi Menurut Reivich dan Shatté (2002) regulasi emosi adalah kemampuan untuk tetap tenang di bawah tekanan. Individu yang memiliki kemampuan meregulasi emosi dapat mengendalikan dirinya apabila sedang kesal dan dapat mengatasi rasa cemas, sedih, atau marah sehingga mempercepat dalam pemecahan suatu masalah. Pengekspresian emosi, baik negatif ataupun positif, merupakan hal yang sehat dan konstruktif asalkan dilakukan dengan tepat. Pengekpresian emosi yang tepat menurut Reivich dan Shatté (2002) merupakan salah satu kemampuan individu yang resilien. Reivich dan Shatté (2002) mengemukakan dua hal penting yang terkait dengan regulasi emosi, yaitu ketenangan (calming) dan fokus (focusing). Individu yang mampu mengelola kedua keterampilan ini, dapat membantu meredakan emosi yang ada, memfokuskan pikiran-pikiran yang mengganggu dan mengurangi stress.

2.      Pengendalian impuls Reivich dan Shatté (2002) mendefinisikan pengendalian impuls sebagai kemampuan mengendalikan keinginan, dorongan, kesukaan, serta tekanan yang muncul dari dalam diri seseorang. Individu dengan pengendalian impuls rendah sering mengalami perubahan emosi dengan cepat yang cenderung mengendalikan perilaku dan pikiran mereka. Individu seperti itu seringkali mudah kehilangan kesabaran, mudah marah, impulsif, dan berlaku agresif pada situasi-situasi kecil yang tidak terlalu penting, sehingga lingkungan sosial di sekitarnya merasa kurang nyaman yang berakibat pada munculnya permasalahan dalam hubungan sosial.

3.      Optimisme Individu yang resilien adalah individu yang optimis. Mereka memiliki harapan di masa depan dan percaya bahwa mereka dapat mengontrol arah hidupnya. Dalam penelitian yang dilakukan, jika dibandingkan dengan individu yang pesimis, individu yang optimis lebih sehat secara fisik, dan lebih jarang mengalami depresi, lebih baik di sekolah, lebih peoduktif dalam kerja, dan lebih banyak menang dalam olahraga (Reivich & Shatté, 2002). Optimisme mengimplikasikan bahwa individu percaya bahwa ia dapat menangani masalah-masalah yang muncul di masa yang akan datang (Reivich & Shatté, 2002).

4.      Empati, Empati merepresentasikan bahwa individu mampu membaca tanda-tanda psikologis dan emosi dari orang lain. Empati mencerminkan seberapa baik individu mengenali keadaan psikologis dan kebutuhan emosi orang lain (Reivich & Shatté, 2002). Selain itu, Werner dan Smith (dalam Lewis, 1996) menambahkan bahwa individu yang berempati mampu mendengarkan dan memahami orang lain sehingga ia pun mendatangkan reaksi positif dari lingkungan. Seseorang yang memiliki kemampuan berempati cenderung memiliki hubungan sosial yang positif (Reivich & Shatté, 2002).

5.      Analisis penyebab masalah Seligman (dalam Reivich & Shatté, 2002) mengungkapkan sebuah konsep yang berhubungan erat dengan analisis penyebab masalah yaitu gaya berpikir. Gaya berpikir adalah cara yang biasa digunakan individu untuk menjelaskan sesuatu hal yang baik dan buruk yang terjadi pada dirinya.

Gaya berpikir dibagi menjadi tiga dimensi, yaitu: 1)Personal (saya-bukan saya) individu dengan gaya berpikir ‘saya’ adalah individu yang cenderung menyalahkan diri sendiri atas hal yang tidak berjalan semestinya. Sebaliknya, Individu dengan gaya berpikir ‘bukan saya’, meyakini penjelasan eksternal (di luar diri) atas kesalahan yang terjadi. 2)Permanen (selalu-tidak selalu) : individu yang pesimis cenderung berasumsi bahwa suatu kegagalan atau kejadian buruk akan terus berlangsung. Sedangkan individu yang. optimis cenderung berpikir bahwa ia dapat melakukan suatu hal lebih baik pada setiap kesempatan dan memandang kegagalan sebagai ketidakberhasilan sementara. 3)Pervasive (semua-tidak semua) : individu dengan gaya berpikir ‘semua’, melihat kemunduran atau kegagalan pada satu area kehidupan ikut menggagalkan area kehidupan lainnya. Individu dengan gaya berpikir‘tidak semua’, dapat menjelaskan secara rinci penyebab dari masalah yang ia hadapi. Individu yang paling resilien adalah individu yang memiliki fleksibilitas kognisi dan dapat mengidentifikasi seluruh penyebab yang signifikan dalam permasalahan yang mereka hadapi tanpa terperangkap dalam explanatory style tertentu.

6.      Efikasi diri Reivich dan Shatté (2002) mendefinisikan efikasi diri sebagai keyakinan pada kemampuan diri sendiri untuk menghadapi dan memecahkan masalah dengan efektif. Efikasi diri juga berarti meyakini diri sendiri mampu berhasil dan sukses. Individu dengan efikasi diri tinggi memiliki komitmen dalam memecahkan masalahnya dan tidak akan menyerah ketika menemukan bahwa strategi yang sedang digunakan itu tidak berhasil. Menurut Bandura (1994), individu yang memiliki efikasi diri yang tinggi akan sangat mudah dalam menghadapi tantangan. Individu tidak merasa ragu karena ia memiliki kepercayaan yang penuh dengan kemampuan dirinya. Individu ini menurut Bandura (1994) akan cepat menghadapi masalah dan mampu bangkit dari kegagalan yang ia alami.
7.      Peningkatan aspek positif Menurut Reivich dan Shatté (2002), resiliensi merupakan kemampuan yang meliputi peningkatan aspek positif dalam hidup . Individu yang meningkatkan aspek positif dalam hidup, mampu melakukan dua aspek ini dengan baik, yaitu: (1) mampu membedakan risiko yang realistis dan tidak realistis, (2) memiliki makna dan tujuan hidup serta mampu melihat gambaran besar dari kehidupan. Individu yang selalu meningkatkan aspek positifnya akan lebih mudah dalam mengatasi permasalahan hidup, serta berperan dalam meningkatkan kemampuan interpersonal dan pengendalian emosi (Reivich dan Shatte, 2002)
C.    Resiliensi Dalam Islam
Konsep Resiliensi senada dengan ajaran Hijrah dalam Islam. Yakni perpindahan dari hal yang bersifat negative menuju hal yang bersifat positif. Pada Era Rosulullah Para sahabat melakukan Hijrah untuk menghindari siksaan dari kaum kafir Qurais dan tidak bias melaksanakan syari’at secara bebas dan terang-terangan. Hijrah tidak hanya diperuntukkan untuk hal-hal yang bersifat dzohir (nyata) saja melainkan juga hal-hal yang bersifat batiniah seseorang. Dari keterpurukan menuju kebangkitan.
Dalam pengembangan resiliensi dalam Islam didukung oleh beberapa factor diantaranya:
1.      Ikhtiar
Umat Muslim dituntut untuk berusaha untuk memenuhi kebutuhan baik fisik maupun batin dan tak akan diubah nasib suatu kaum sampai ia berusaha merubah keadaanya sendiri sebagaimana hadist Rosulullah “Allah tidak akan merubah suatu kaum sampai mereka merubah keadaannya sendiri”. 
2.      Tawakkal
Tawakkal yaitu mengembalikan segala sesuatu urusan kepada Allah. Karena Allah lah yang memberikan segala  sesuatu. Hasil yang telah kita kerjakan akan diberikan oleh Allah sesuai dengan hasil jerih payah dan kebutuhan manusia. Allah berfirman dalam surat Al-Furqon, 25 : 58 yang artinya “Bertawakkallah kamu kepada dzat yang hidup, yang tidak pernah mati”. Dengan bertawakkal semua urusan dikembalikan kepada Allah sehingga tidak ada lagi yang menekan dalam hati yang menuntut manusia untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Sehingga manusia mendapatkan kelegaan hati dan kebahagiaan jiwa.
3.      Sabar
Kehidupan manusia sesungguhnya penuh dengan pergulatan. Dan pergulatan ini tergantung pada sejauh mana kesabaran yang dimiliki. Karena sabar merupakan jalan yang bisa membwa seseorang pada kemenangan yang diinginkan, dan kemudian Allah menjadikan kesabaran sebagai kunci jawaban untuk lulus ujian di dunia[1]. Allah berfirman “ Dan orang-orang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya) dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa”(Al-Baqoroh 2: 177)
Dan orang yang bersabar akan mendapatkan keridhoan, kedamaian, perasaan bahagia, terciptanya kemuliaan dan kebaikan, pertolongan dari Allah, kemenangan dan Kecintaan dari-Nya.
4.      Ikhlas
Perasaan Ikhlas dan legowo atas semua yang diberikan oleh-Nya membuat hati tak terkukung dengan harapan, tuntutan, dan keinginan. Karena itulah yang kita dapatkan yang telah diberikan oleh-Nya sesuai dengan kebutuhan manusia. Karena terkadang apa yang kita anggap baik itu buruk bagi kita dan begitu juga sebaliknya. Manusia harus yakin bahwa apa yang diberikan oleh-Nya adalah yang terbaik bagi mereka.
5.      Syukur
Allah merupakan Maha Pengasih dan Pemurah lagi Maha Penyayang bagi segala umat. Allah memberikan kesempurnaan nikmat pada manusia. Dan manusia patut mengungkapkan rasa sukur atas hal tersebut. Allah berfirman: “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti kami akan menambahkan (nikmat) kepadamu”. (Ibrahim: 7). Dengan rasa syukur manusia akan mencapai kebahagiaan karena telah diberikan nikmat oleh-Nya dan memanfaatkan kesempurnaan tersebut dengan sebaik-baiknya.
6.      Istiqomah
Istiqomah adalah tingkatan tertinggi dalam kesempurnaan pengetahuan dan perbuatan, kebersihan hati yang tercermin dalam ucapan dan perbuatan, dan kebersihan aqidah dari segala bid’ah dan kesesatan[2]. Allah berfirman: “Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepada kamu”.(Huud: 112). Segala perbuatan baik perlu dilaksanakan secara continue dan menetapkan hati untuk melakukannya. Dengan keistiqomahan hati akan terhindar dari perasaan resah dan gelisah.
Selain hal-hal diatas perkembangan resiliensi juga dipengaruhi dari factor eksternal yang di dalam Islam diajarkan tentang kasih sayang, keharmonisan dan kedamaian. Umat Islam bagaikan satu tubuh yang apabila satu bagian merasa sakit yang lain pun akan merasakan. Saling memberi baik secara material dan moral membawa kebahagiaan yang akan membantu manusia untuk menikmati hidup dan memberikan kekuatan untuk bangkit dari keterpurukan.














PENUTUP
Secara bahasa, resiliensi merupakan istilah Bahasa Inggris dari kata resilience yang artinya daya pegas, daya kenyal atau kegembiraan. Dan secara istilah resiliensi sebagai proses, kapasitas, atau hasil (outcome) dari adaptasi yang positif meskipun dalam keadaan yang menantang atau mengancam.
Dan menurut Reivich dan Shatté,2002. Resiliensi dibangun dari tujuh kemampuan yang berbeda dan hampir tidak ada satupun individu yang secara keseluruhan memiliki kemampuan tersebut dengan baik. Adapun kemampuan tersebut antara lain:
1.      Regulasi emosi
2.      Pengendalian impuls
3.      Optimisme Individu yang resilien
4.      Empati
5.      Analisis penyebab masalah
6.      Efikasi
7.      Peningkatan aspek positif
Sedangkan factor-faktor yang mempengaruhi resiliensi menurut Grotberg (1995), diidentifikasikan berdasarkan sumber-sumber yang berbeda. Untuk kekuatan individu, dalam diri pribadi digunakan istilah ‘I Am’, untuk dukungan eksternal dan sumber-sumbernya, digunakan istilah ‘I Have’, sedangkan untuk kemampuan interpersonal digunakan istilah’I Can’. 
Dan dalam Islam dikenal dengan konsep Hijrah . Yakni perpindahan dari hal yang bersifat negative menuju hal yang bersifat positif. Dan hijrah tidak hanya diperuntukkan untuk hal-hal yang bersifat dzohir (nyata) saja melainkan juga hal-hal yang bersifat batiniah seseorang. Dari keterpurukan menuju kebangkitan.
Perkembangan resiliensi dalam Islam dipengaruhi oleh beberapa factor yakni 1. Ikhtiar, 2. Tawakal, 3. Sabar, 4. Sabar, 5. Syukur dan 6. Istiqomah. Selain hal tersebut pengaruh dari luar yang di dalam Islam diajarkan tentang kasih sayang, keharmonisan dan kedamaian. Saling memberi baik secara material dan moral membawa kebahagiaan yang akan membantu manusia untuk menikmati hidup dan memberikan kekuatan untuk bangkit dari keterpurukan.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran dan terjemahannya
Dieb Al-Bugho, Musthafa. 2009. Al-Wafi: Syarah Kitab Arba’in An-nawawiyah. Al-I’tishom: Jakarta
Shabir, Muchlis. 2004. Terjemahan Riyadhus Sholihin. PT. Karya Toha Putra: Semarang
Banaag, C. G. 2002. Reiliency, street Children, and substance abuse prevention. Prevention Preventif, Nov. 2002, Vol 3.
Bernard, B. 1995. Fostering Resilience in Children. University of Illinois at Urbana Champaign, Children Research Center.
Grotberg, E. 1995. A Guide to Promoting Resilience in Children: Strengthening The Human Spirit. Benard Van Leer Fondation.
Klohnen, E.C. 1996. Conseptual Analysis and Measurement of The Construct of Ego Resilience. Journal of Personality and Social Psychology, Volume. 70 No 5, p 1067-1079.
Tugade M.M & B.L. Fredrickson. 2004. Resilient Individual Use Positive Emotions To Bounce Back From Negative Emotional Experiences. Journal of Personality and Social Psychology, Volume 24, no 2. 320-333.



[1] Musthafa Dieb Albugho, 2009, Al-Wafi. Hal. 149
[2] Ibid, hal. 62

1 comment:

Eradika said...

Terimakasih sudah berbagi. Kebetulan saya sedang mencari pembahasan mengenai islam dan resiliensi. Terbantu sekali :)

_Imagine