PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kondisi atau keadaan yang menekan
dalam kehidupan merupakan suatu hal yang selalu ada dalam rentang perkembangan kehidupan
manusia. Dalam teori perkembangan Erikson (dalam Santrock)
dinyatakan bahwa setiap tahap perkembangan dalam rentang kehidupan manusia
mempunyai tugas perkembangan yang khas yang menghadapkan manusia pada
suatu krisis yang harus dihadapi. Semakin individu berhasil mengatasi
krisis yang dihadapi maka akan semakin meningkatkan potensi individu dalam
rangka menghadapi tahapan perkembangan berikutnya.
Ada individu yang mampu bertahan
dan pulih dari situasi negatif secara efektif sedangkan individu lain gagal
karena mereka tidak berhasil keluar dari situasi yang tidak menguntungkan.
Kemampuan untuk melanjutkan hidup setelah ditimpa kemalangan atau setelah
mengalami tekanan yang berat bukanlah sebuah keberuntungan, tetapi hal tersebut
menggambarkan adanya kemampuan tertentu pada individu yang dikenal dengan
istilah resiliensi (Tugade & Fredikson 2004).
Manusia tidak akan terlepas dari permasalahan-permasalahan hidup yang terkadang mendatangkan kondisi yang menekan
(adversity) dimana dapat menimbulkan dampak negatif baik fisik
maupun psikis. Menurut Santrock, ketakutan akan kegagalan dalam mencapai
kehidupan yang sukses sering kali menjadi alasan munculnya stres dan depresi
pada manusia. Dalam menghadapi
berbagai permasalahan tersebut diperlukan kemampuan individu
agar dapat beradaptasi terhadap kondisi tersebut dimana dapat meningkatkan potensi diri setelah menghadapi
situasi yang penuh tekanan.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa
itu resiliensi?
2.
Apa
factor-faktor yang mempengaruhi resiliensi?
3.
Bagaimanakah
resiliensi dalam Islam?
PEMBAHASAN
A.
Definisi Resiliensi
Secara bahasa, resiliensi
merupakan istilah Bahasa Inggris dari kata resilience yang
artinya daya pegas, daya kenyal atau kegembiraan.
Istilah resiliensi diformulasikan
pertama kali oleh Block (dalam Klohnen, 1996) dengan nama ego-resilience, yang
diartikan sebagai kemampuan umum yang melibatkan kemampuan penyesuaian diri
yang tinggi dan luwes saat dihadapkan pada tekanan internal maupun eksternal.
Sedangkan menurut Reivich dan Shatte resiliensi
adalah kemampuan untuk beradaptasi dan tetap teguh dalam situasi sulit.
Dari definisi yang dikemukakan di
atas, nampak bahwa ego resiliensi merupakan satu sumber kepribadian yang
berfungsi membentuk konteks lingkungan jangka pendek maupun jangka panjang, di
mana sumber daya tersebut memungkinkan individu untuk memodifikasi tingkat
karakter dan cara mengekspresikan pengendalian ego yang biasa mereka
lakukan.
Dalam perjalanannya, terminologi
resiliensi mengalami perluasan dalam hal pemaknaan. Diawali dengan penelitian
Rutter & Garmezy (dalam Klohnen, 1996), tentang anak-anak yang mampu
bertahan dalam situasi penuh tekanan. Dua peneliti di atas menggunakan istilah
resiliensi sebagai descriptive labels yang mereka gunakan untuk menggambarkan
anak-anak yang mampu berfungsi secara baik walaupun mereka hidup dalam
lingkungan buruk dan penuh tekanan.
Wolff (dalam Banaag, 2002),
memandang resiliensi sebagai trait. Menurutnya, trait ini merupakan kapasitas
tersembunyi yang muncul untuk melawan kehancuran individu dan melindungi
individu dari segala rintangan kehidupan. Individu yang mempunyai intelegensi
yang baik, mudah beradaptasi, social temperament, dan berkepribadian yang
menarik pada akhirnya memberikan kontribusi secara konsisten pada penghargaan
diri sendiri, kompetensi, dan perasaan bahwa ia beruntung. Individu tersebut adalah
individu yang resilien.
Grotberg (1995), di sisi lain
menjelaskan bahwa resiliensi merupakan kapasitas yang bersifat universal dan
dengan kapasitas tersebut, individu, kelompok ataupun komunitas mampu mencegah,
meminimalisir ataupun melawan pengaruh yang bisa merusak saat mereka mengalami
musibah atau kemalangan.
Resiliensi disebut juga oleh
Wolin & Wolin (dalam Bautista, Roldan & Bascal, 2001), sebagai
keterampilan coping saat dihadapkan pada tantangan hidup atau kapasitas
individu untuk tetap “sehat” (wellness) dan terus memperbaiki diri (self
repair).
Lazarus (dalam Tugade &
Fredrikson, 2004), menganalogikan resiliensi dengan kelenturan pada logam.
Misalnya, besi cetak yang banyak mengandung karbon sangat keras tetapi getas
atau mudah patah (tidak resilien) sedangkan besi tempa mengandung sedikit
karbon sehingga lunak dan mudah dibentuk sesuai dengan kebutuhan (resilien).
Perumpaan tersebut bisa diterapkan untuk membedakan individu yang memiliki daya
tahan dan yang tidak saat dihadapkan pada tekanan psikologis yang dikaitkan
dengan pengalaman negatif.
Banaag (2002), menyatakan bahwa
resiliensi adalah suatu proses interaksi antara faktor individual dengan faktor
lingkungan. Faktor individual ini berfungsi menahan perusakan diri sendiri dan
melakukan kontruksi diri secara positif, sedangkan faktor lingkungan berfungsi
untuk melindungi individu dan “melunakkan” kesulitan hidup individu.
Liquanti (1992), menyebutkan
secara khusus bahwa resiliensi pada remaja merupakan kemampuan yang dimiliki
remaja di mana mereka tidak mengalah saat menghadapi tekanan dan perbedaan
dalam lingkungan. Mereka mampu terhindar dari penggunaan obat terlarang,
kenakalan remaja, kegagalan di sekolah, dan dari gangguan mental.
Untuk mencakup beberapa konsep
yang dikemukakan diatas, defenisi yang diajukan Masten, Best dan Garmezy (dalam
Axford) cukup mewakili yang mana mendefinisikan resiliensi sebagai “the process of, capacity
for, or outcome of successful adaptation despite challenging or threatening
circumstances”. Pada pengertian di
atas disebutkan resiliensi sebagai proses, kapasitas, atau hasil (outcome) dari
adaptasi yang positif meskipun dalam keadaan yang menantang atau mengancam.
Dengan defenisi ini, mereka mencoba untuk mencakup berbagai
perbedaan definisi yang ada.
Masten & Coatswerth (dalam
Davis, 1999), mengatakan bahwa untuk mengidentifikasikan resiliensi diperlukan
dua syarat, yaitu yang pertama adanya ancaman yang signifikan pada individu
(ancaman berupa status high risk atau ditimpa kemalangan dan trauma yang kronis)
dan yang kedua adalah kualitas adaptasi atau perkembangan individu tergolong
baik (individu berperilaku dalam compotent manner).
B.
Faktor-faktor Resiliensi
Banyak penelitian yang berusaha
untuk mengidentifikasikan faktor yang berpengaruh terhadap resiliensi
seseorang. Faktor tersebut meliputi dukungan eksternal dan sumber-sumbernya
yang ada pada diri seseorang (misalnya keluarga, lembaga-lembaga pemerhati
dalam hal ini yang melindungi perempuan), kekuatan personal yang berkembang
dalam diri seseorang (seperti self-esteem, a capacity for self monitoring,
spritualitas dan altruism), dan kemampuan sosial (seperti mengatasi konflik,
kemampuan-kemampuan berkomunikasi).
Grotberg (1995), mengemukakan
faktor-faktor resiliensi yang diidentifikasikan berdasarkan sumber-sumber yang
berbeda. Untuk kekuatan individu, dalam diri pribadi digunakan istilah ‘I Am’,
untuk dukungan eksternal dan sumber-sumbernya, digunakan istilah ‘I Have’,
sedangkan untuk kemampuan interpersonal digunakan istilah’I Can’.
Berikut ini akan dijelaskan
mengenai faktor-faktor resiliensi yang dapat menggambarkan resiliensi pada
individu. I Am, I Have, I Can merupakan karakteristik untuk meningkatkan
resiliensi dari the principal investigator of the Internasional Resilieance
Project (Grotberg, 1995).
Faktor I Am merupakan kekuatan
yang berasal dari dalam diri, seperti perasaan, tingkah laku dan kepercayaan
yang terdapat dalam diri seseorang. Faktor I Am terdiri dari beberapa bagian
antara lain; bangga pada diri sendiri, perasaan dicintai dan sikap yang
menarik, individu dipenuhi harapan, iman, dan kepercayaan, mencintai, empati
dan altruistic, yang terakhir adalah mandiri dan bertanggung jawab.
Berikut ini, akan dijelaskan satu
persatu mengenai bagian-bagian dari faktor I Am.
Bangga pada diri sendiri;
individu tahu bahwa mereka adalah seorang yang penting dan merasa bangga akan
siapakah mereka itu dan apapun yang mereka lakukan atau akan dicapai. Individu
itu tidak akan membiarkan orang lain meremehkan atau merendahkan mereka. Ketika
individu mempunyai masalah dalam hidup, kepercayaan diri dan self esteem
membantu mereka untuk dapat bertahan dan mengatasi masalah tersebut.
Perasaan dicintai dan sikap yang
menarik; Individu pasti mempunyai orang yang menyukai dan mencintainya.
Individu akan bersikap baik terhadap orang-orang yang menyukai dan
mencintainya. Seseorang dapat mengatur sikap dan perilakunya jika menghadapi
respon-respon yang berbeda ketika berbicara dengan orang lain. Bagian yang lain
adalah dipenuhi harapan, iman, dan kepercayaan. Individu percaya ada harapan
bagi mereka, serta orang lain dan institusi yang dapat dipercaya. Individu
merasakan mana yang benar maupun salah, dan ingin ikut serta di dalamnya.
Individu mempunyai kepercayaan diri dan iman dalam moral dan kebaikan, serta
dapat mengekspresikannya sebagai kepercayaan terhadap Tuhan dan manusia yang
mempunyai spiritual yang lebih tinggi.
Mencintai, empati, altruistic;
yaitu ketika seseorang mencintai orang lain dan mengekspresikan cinta itu
dengan berbagai macam cara. Individu peduli terhadap apa yang terjadi pada
orang lain dan mengekspresikan melalui berbagai perilaku atau kata-kata.
Individu merasakan ketidaknyamanan dan penderitaan orang lain dan ingin
melakukan sesuatu untuk menghentikan atau berbagi penderitaan atau memberikan
kenyamanan.
Bagian yang terakhir adalah
mandiri dan bertanggung jawab. Individu dapat melakukan berbagai macam hal
menurut keinginan mereka dan menerima berbagai konsekuensi dan perilakunya.
Individu merasakan bahwa ia bisa mandiri dan bertanggung jawab atas hal
tersebut. Individu mengerti batasan kontrol mereka terhadap berbagai kegiatan
dan mengetahui saat orang lain bertanggung jawab.
Setiap faktor dari I Am, I Have,
I Can memberikan konstribusi pada berbagai macam tindakan yang dapat meningkatkan
potensi resiliensi. Individu yang resilien tidak membutuhkan semua
sumber-sumber dari setiap faktor, tetapi apabila individu hanya memiliki satu
faktor individu tersebut tidak dapat dikatakan sebagai individu yang
beresiliensi, misalnya individu yang mampu berkomunikasi dengan baik (I Can)
tetapi ia tidak mempunyai hubungan yang dekat dengan orang lain (I Have) dan
tidak dapat mencintai orang lain (I Am), ia tidak termasuk orang yang
beresiliensi.
Sedangkan menurut Reivich dan
Shatté,2002. Resiliensi dibangun dari tujuh kemampuan yang berbeda dan hampir
tidak ada satupun individu yang secara keseluruhan memiliki kemampuan tersebut
dengan baik.
Kemampuan ini terdiri dari:
1. Regulasi emosi Menurut Reivich dan Shatté (2002)
regulasi emosi adalah kemampuan untuk tetap tenang di bawah tekanan. Individu
yang memiliki kemampuan meregulasi emosi dapat mengendalikan dirinya apabila
sedang kesal dan dapat mengatasi rasa cemas, sedih, atau marah sehingga
mempercepat dalam pemecahan suatu masalah. Pengekspresian emosi, baik negatif
ataupun positif, merupakan hal yang sehat dan konstruktif asalkan dilakukan
dengan tepat. Pengekpresian emosi yang tepat menurut Reivich dan Shatté (2002)
merupakan salah satu kemampuan individu yang resilien. Reivich dan Shatté
(2002) mengemukakan dua hal penting yang terkait dengan regulasi emosi, yaitu
ketenangan (calming) dan fokus (focusing). Individu yang mampu mengelola kedua
keterampilan ini, dapat membantu meredakan emosi yang ada, memfokuskan
pikiran-pikiran yang mengganggu dan mengurangi stress.
2. Pengendalian impuls Reivich dan Shatté (2002)
mendefinisikan pengendalian impuls sebagai kemampuan mengendalikan keinginan,
dorongan, kesukaan, serta tekanan yang muncul dari dalam diri seseorang.
Individu dengan pengendalian impuls rendah sering mengalami perubahan emosi
dengan cepat yang cenderung mengendalikan perilaku dan pikiran mereka. Individu
seperti itu seringkali mudah kehilangan kesabaran, mudah marah, impulsif, dan
berlaku agresif pada situasi-situasi kecil yang tidak terlalu penting, sehingga
lingkungan sosial di sekitarnya merasa kurang nyaman yang berakibat pada
munculnya permasalahan dalam hubungan sosial.
3. Optimisme Individu yang resilien adalah individu yang
optimis. Mereka memiliki harapan di masa depan dan percaya bahwa mereka dapat
mengontrol arah hidupnya. Dalam penelitian yang dilakukan, jika dibandingkan
dengan individu yang pesimis, individu yang optimis lebih sehat secara fisik,
dan lebih jarang mengalami depresi, lebih baik di sekolah, lebih peoduktif
dalam kerja, dan lebih banyak menang dalam olahraga (Reivich & Shatté,
2002). Optimisme mengimplikasikan bahwa individu percaya bahwa ia dapat
menangani masalah-masalah yang muncul di masa yang akan datang (Reivich &
Shatté, 2002).
4. Empati, Empati
merepresentasikan bahwa individu mampu membaca tanda-tanda psikologis dan emosi
dari orang lain. Empati mencerminkan seberapa baik individu mengenali keadaan
psikologis dan kebutuhan emosi orang lain (Reivich & Shatté, 2002). Selain
itu, Werner dan Smith (dalam Lewis, 1996) menambahkan bahwa individu yang
berempati mampu mendengarkan dan memahami orang lain sehingga ia pun
mendatangkan reaksi positif dari lingkungan. Seseorang yang memiliki kemampuan
berempati cenderung memiliki hubungan sosial yang positif (Reivich &
Shatté, 2002).
5. Analisis penyebab masalah Seligman (dalam Reivich
& Shatté, 2002) mengungkapkan sebuah konsep yang berhubungan erat dengan
analisis penyebab masalah yaitu gaya berpikir. Gaya berpikir adalah cara yang
biasa digunakan individu untuk menjelaskan sesuatu hal yang baik dan buruk yang
terjadi pada dirinya.
Gaya
berpikir dibagi menjadi tiga dimensi, yaitu: 1)Personal (saya-bukan saya)
individu dengan gaya berpikir ‘saya’ adalah individu yang cenderung menyalahkan
diri sendiri atas hal yang tidak berjalan semestinya. Sebaliknya, Individu
dengan gaya berpikir ‘bukan saya’, meyakini penjelasan eksternal (di luar diri)
atas kesalahan yang terjadi. 2)Permanen (selalu-tidak selalu) : individu yang
pesimis cenderung berasumsi bahwa suatu kegagalan atau kejadian buruk akan
terus berlangsung. Sedangkan individu yang. optimis cenderung berpikir bahwa ia
dapat melakukan suatu hal lebih baik pada setiap kesempatan dan memandang
kegagalan sebagai ketidakberhasilan sementara. 3)Pervasive (semua-tidak semua)
: individu dengan gaya berpikir ‘semua’, melihat kemunduran atau kegagalan pada
satu area kehidupan ikut menggagalkan area kehidupan lainnya. Individu dengan
gaya berpikir‘tidak semua’, dapat menjelaskan secara rinci penyebab dari
masalah yang ia hadapi. Individu yang paling resilien adalah individu yang
memiliki fleksibilitas kognisi dan dapat mengidentifikasi seluruh penyebab yang
signifikan dalam permasalahan yang mereka hadapi tanpa terperangkap dalam
explanatory style tertentu.
6. Efikasi diri Reivich dan Shatté (2002) mendefinisikan
efikasi diri sebagai keyakinan pada kemampuan diri sendiri untuk menghadapi dan
memecahkan masalah dengan efektif. Efikasi diri juga berarti meyakini diri sendiri
mampu berhasil dan sukses. Individu dengan efikasi diri tinggi memiliki
komitmen dalam memecahkan masalahnya dan tidak akan menyerah ketika menemukan
bahwa strategi yang sedang digunakan itu tidak berhasil. Menurut Bandura
(1994), individu yang memiliki efikasi diri yang tinggi akan sangat mudah dalam
menghadapi tantangan. Individu tidak merasa ragu karena ia memiliki kepercayaan
yang penuh dengan kemampuan dirinya. Individu ini menurut Bandura (1994) akan
cepat menghadapi masalah dan mampu bangkit dari kegagalan yang ia alami.
7. Peningkatan aspek positif Menurut Reivich dan Shatté
(2002), resiliensi merupakan kemampuan yang meliputi peningkatan aspek positif
dalam hidup . Individu yang meningkatkan aspek positif dalam hidup, mampu
melakukan dua aspek ini dengan baik, yaitu: (1) mampu membedakan risiko yang
realistis dan tidak realistis, (2) memiliki makna dan tujuan hidup serta mampu
melihat gambaran besar dari kehidupan. Individu yang selalu meningkatkan aspek
positifnya akan lebih mudah dalam mengatasi permasalahan hidup, serta berperan
dalam meningkatkan kemampuan interpersonal dan pengendalian emosi (Reivich dan
Shatte, 2002)
C.
Resiliensi Dalam Islam
Konsep Resiliensi senada dengan ajaran Hijrah
dalam Islam. Yakni perpindahan dari hal yang bersifat negative menuju hal yang
bersifat positif. Pada Era Rosulullah Para sahabat melakukan Hijrah untuk
menghindari siksaan dari kaum kafir Qurais dan tidak bias melaksanakan syari’at
secara bebas dan terang-terangan. Hijrah tidak hanya diperuntukkan untuk hal-hal
yang bersifat dzohir (nyata) saja melainkan juga hal-hal yang bersifat batiniah
seseorang. Dari keterpurukan menuju kebangkitan.
Dalam pengembangan resiliensi dalam Islam didukung oleh beberapa factor
diantaranya:
1. Ikhtiar
Umat Muslim dituntut untuk berusaha untuk memenuhi
kebutuhan baik fisik maupun batin dan tak akan diubah nasib suatu kaum sampai
ia berusaha merubah keadaanya sendiri sebagaimana hadist Rosulullah “Allah tidak akan merubah suatu kaum sampai
mereka merubah keadaannya sendiri”.
2. Tawakkal
Tawakkal yaitu mengembalikan segala sesuatu urusan
kepada Allah. Karena Allah lah yang memberikan segala sesuatu. Hasil yang telah kita kerjakan akan
diberikan oleh Allah sesuai dengan hasil jerih payah dan kebutuhan manusia.
Allah berfirman dalam surat Al-Furqon, 25 : 58 yang artinya “Bertawakkallah kamu kepada dzat yang hidup,
yang tidak pernah mati”. Dengan bertawakkal semua urusan dikembalikan
kepada Allah sehingga tidak ada lagi yang menekan dalam hati yang menuntut
manusia untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Sehingga manusia mendapatkan
kelegaan hati dan kebahagiaan jiwa.
3. Sabar
Kehidupan manusia sesungguhnya penuh dengan
pergulatan. Dan pergulatan ini tergantung pada sejauh mana kesabaran yang
dimiliki. Karena sabar merupakan jalan yang bisa membwa seseorang pada
kemenangan yang diinginkan, dan kemudian Allah menjadikan kesabaran sebagai
kunci jawaban untuk lulus ujian di dunia[1].
Allah berfirman “ Dan orang-orang sabar
dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang
yang benar (imannya) dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa”(Al-Baqoroh
2: 177)
Dan orang yang bersabar akan mendapatkan keridhoan,
kedamaian, perasaan bahagia, terciptanya kemuliaan dan kebaikan, pertolongan
dari Allah, kemenangan dan Kecintaan dari-Nya.
4. Ikhlas
Perasaan Ikhlas dan legowo atas semua yang diberikan
oleh-Nya membuat hati tak terkukung dengan harapan, tuntutan, dan keinginan.
Karena itulah yang kita dapatkan yang telah diberikan oleh-Nya sesuai dengan
kebutuhan manusia. Karena terkadang apa yang kita anggap baik itu buruk bagi
kita dan begitu juga sebaliknya. Manusia harus yakin bahwa apa yang diberikan
oleh-Nya adalah yang terbaik bagi mereka.
5. Syukur
Allah merupakan Maha Pengasih dan Pemurah lagi Maha
Penyayang bagi segala umat. Allah memberikan kesempurnaan nikmat pada manusia.
Dan manusia patut mengungkapkan rasa sukur atas hal tersebut. Allah berfirman:
“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti
kami akan menambahkan (nikmat) kepadamu”. (Ibrahim: 7). Dengan rasa syukur
manusia akan mencapai kebahagiaan karena telah diberikan nikmat oleh-Nya dan
memanfaatkan kesempurnaan tersebut dengan sebaik-baiknya.
6. Istiqomah
Istiqomah adalah tingkatan tertinggi dalam
kesempurnaan pengetahuan dan perbuatan, kebersihan hati yang tercermin dalam
ucapan dan perbuatan, dan kebersihan aqidah dari segala bid’ah dan kesesatan[2].
Allah berfirman: “Maka tetaplah kamu pada
jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepada kamu”.(Huud: 112). Segala
perbuatan baik perlu dilaksanakan secara continue dan menetapkan hati untuk
melakukannya. Dengan keistiqomahan hati akan terhindar dari perasaan resah dan
gelisah.
Selain hal-hal diatas perkembangan resiliensi juga dipengaruhi dari factor
eksternal yang di dalam Islam diajarkan tentang kasih sayang, keharmonisan dan
kedamaian. Umat Islam bagaikan satu tubuh yang apabila satu bagian merasa sakit
yang lain pun akan merasakan. Saling memberi baik secara material dan moral
membawa kebahagiaan yang akan membantu manusia untuk menikmati hidup dan
memberikan kekuatan untuk bangkit dari keterpurukan.
PENUTUP
Secara
bahasa, resiliensi merupakan istilah Bahasa Inggris dari kata resilience yang artinya daya pegas, daya kenyal atau
kegembiraan. Dan secara istilah resiliensi sebagai proses, kapasitas, atau hasil (outcome) dari
adaptasi yang positif meskipun dalam keadaan yang menantang atau mengancam.
Dan menurut Reivich dan Shatté,2002. Resiliensi dibangun
dari tujuh kemampuan yang berbeda dan hampir tidak ada satupun individu yang
secara keseluruhan memiliki kemampuan tersebut dengan baik. Adapun kemampuan tersebut
antara lain:
1. Regulasi emosi
2. Pengendalian impuls
3. Optimisme Individu yang resilien
4. Empati
5. Analisis penyebab masalah
6. Efikasi
7. Peningkatan aspek positif
Sedangkan factor-faktor yang
mempengaruhi resiliensi menurut Grotberg
(1995), diidentifikasikan berdasarkan sumber-sumber yang berbeda. Untuk
kekuatan individu, dalam diri pribadi digunakan istilah ‘I Am’, untuk dukungan
eksternal dan sumber-sumbernya, digunakan istilah ‘I Have’, sedangkan untuk kemampuan
interpersonal digunakan istilah’I Can’.
Dan dalam Islam dikenal dengan
konsep Hijrah . Yakni perpindahan dari hal yang bersifat negative menuju hal
yang bersifat positif. Dan hijrah tidak hanya diperuntukkan untuk hal-hal yang
bersifat dzohir (nyata) saja melainkan juga hal-hal yang bersifat batiniah
seseorang. Dari keterpurukan menuju kebangkitan.
Perkembangan resiliensi dalam
Islam dipengaruhi oleh beberapa factor yakni 1. Ikhtiar, 2. Tawakal, 3. Sabar,
4. Sabar, 5. Syukur dan 6. Istiqomah. Selain hal tersebut pengaruh dari luar
yang di dalam Islam diajarkan tentang kasih sayang, keharmonisan dan kedamaian.
Saling memberi baik secara material dan moral membawa kebahagiaan yang akan
membantu manusia untuk menikmati hidup dan memberikan kekuatan untuk bangkit
dari keterpurukan.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran dan terjemahannya
Dieb Al-Bugho, Musthafa. 2009.
Al-Wafi:
Syarah Kitab Arba’in An-nawawiyah. Al-I’tishom: Jakarta
Shabir, Muchlis. 2004. Terjemahan
Riyadhus Sholihin. PT. Karya Toha Putra: Semarang
Banaag,
C. G. 2002. Reiliency, street Children, and substance abuse prevention. Prevention
Preventif, Nov. 2002, Vol 3.
Bernard,
B. 1995. Fostering Resilience in Children. University of Illinois at
Urbana Champaign, Children Research Center.
Grotberg,
E. 1995. A Guide to Promoting Resilience in Children: Strengthening The Human
Spirit. Benard Van Leer Fondation.
Klohnen,
E.C. 1996. Conseptual Analysis and Measurement of The Construct of Ego
Resilience. Journal of Personality and Social Psychology, Volume. 70 No
5, p 1067-1079.
Tugade
M.M & B.L. Fredrickson. 2004. Resilient Individual Use Positive Emotions
To Bounce Back From Negative Emotional Experiences. Journal of
Personality and Social Psychology, Volume 24, no 2. 320-333.
1 comment:
Terimakasih sudah berbagi. Kebetulan saya sedang mencari pembahasan mengenai islam dan resiliensi. Terbantu sekali :)
_Imagine
Post a Comment