Keterpurukan
dalam berbagai bidang, kejahatan dan semua bentuk kejadian yang dianggap tidak
menyenangkan dan dialami oleh seorang, sekelompok atau sebuah bangsa adalah hal
yang selalu dan tidak akan berhenti terjadi merupakan wujud dari perilaku dan
aktifitas yang terjadi di dalam hati yang kemudian terwujud dalam bentuk
perilaku dan kemudian dikembalikan terhada pikiran dan diproses menggunakan
nurai hati untuk menemukan jawaban dan cara menyelesaikannya.
Begitu pula
permasalahan bangsa ini yang tak kunjung usai, mualai dari ekonomi, pendidikan,
hukum, hingga bencana yang bisa dan disebabkan dan diatasi oleh kita sendiri
ataupun tidak, dengan berbagai macam
cara dan upaya yang telah ditempuh oleh pemerintah sendiri ataupun berbagai
kalangan lewat inspirasi dalam berbagai bentuk. Namun hingga kini, dalam
masalah hukum saja hampir dikatakan pemerintah telah lelah dalam mengatasinya.
Sebagai warga negara
Indonesia, tentu kita mempercayai sebuah kekuatan abstrak yang mutlak sebagai
sumber semua kejadian yang dialami oleh umat manusia dari dulu hingga kapanpun.
Kemudian lewat media kepercayaan ini kita melihat dan mengevaluasi diri kita
yang kemudian bisa melihat dan menilai orang lain sebagai sesame orang yang memiliki
kepercayaan. Artinya, bila hubungan kita dengan Sang Pemilik Kekuatan Mutlak
(Tuhan) baik, maka hubungan dengan manusia dan kehidupan ini dapat dipastikan
baik. Chablun minallaah menentukan
baik dan tidaknya hubungan yang terwujud dalam perilaku terhdap orang lain (cahablun minannas), yang kemudian bisa
disimpulkan bahwa setiap individu yang melakukan tindak kelalaian atau
merugikan orang lain karena hubungannya dengan Tuhan jelek.
Dalam acara Damai
Indonesiaku oleh KH. Zainuddin MZ. di TVOne (Minggu 25 April 2010), membahas
bahwa shalat bisa menjadi cara menyelesaikan permasalahan bangsa dan bukan
sekedar ritual dan kebiasaan umat Islam yang dilakukan minimal lima kali dalam
24. Shalat adalah benteng dan evaluator manusia dalam hidup ini. kebajikan, keadilan
dan nilai-nilai positif yang dilakukannya adalah bentuk dari kualitas shalat
yang dijalankan. Bahkan KH. Zainuddin mengutip sebuah keterangan bahwa annaasu ‘ala dini mulukihim, bahwa
rakyat suatu bangsa sangat dipegaruhi oleh kualitas keagamaan para pemimpinnya.
Pemerintah
tidak shalat
Bukan berarti para
pemimpin kita non muslim, atau menganut agama Islam tetapi tidak shalat. Bila
kita cermati, pelaku terorisme yang menjadi problem dunia, masalah korupsi yang
belum mencapai titik tuntas, penyelewengan hukum dan berbagai tindak pidana
yang terjadi adalah mereka-mereka yang perhatiannya terhadap agama minim hingga
mudah terpengaruh.
Bukan pula para
pemimpin kita harus shalat berjamaah, khusyuk atau para pemimpin harus dari
golongan kiai atau santri atau bahkan pendeta yang hatinya bersih dan tidak
memikirkan duniawi, akan tetapi kesimpulan bahwa pemerintah tidak shalat lebih
pada bahwa sebuah shalat yang mampu menjaga dan memperbaiki perilaku seseorang
tidak bisa dibentuk dalam satu waktu singkat seperti pengajian-pengajian atau
wacana keilmuan yang kemudian dijejali dengan berbagai pengetahuan dan
kepentingan, tetapi memerlukan waktu panjang (mungkin dari lahir hingga mati).
Pembentukan insane kamil dalam UU. SISDIKNAS hanya sebagai symbol Negara
pancasila yang beragama dengan terus dipengaruhi budaya budaya asing yang
mencuri dan tertawa dengan keterpurukan yang melanda Negara kita. Andai
perhatian pemerintah kita terhadap hal itu ada, yang bisa melalui satu contoh
kecil dengan mengharagai shalat dalam penanaman kepahaman maksimal terhadap
agama secara penuh dalam satu titik (semisal shalat bagi umat Islam),
keterpurukan ekonomi tidak akan menjadi sumber kriminal, keragaman pemahaman
dalam agama tidak akan menjadi sebab umat Islam yang terpecah belah dan menjadi
teroris.
Begitu berharaga dan
tinggi nilai-nilai dan motifasi serta bisikan-bisikan Tuhan saat manusia
mengadapNya lewat bacaan dan gerakan shalat, akan tetapi begitu minim mereka
yang mengerti apalagi menyadari hal itu, hingga shalat hanya sebagai aktifitas
yang tak membekas dalam perilaku. Dan mereka yang mampu menanamkan dan
mengajarkan dan menjaganya selalu terabaikan hingga dengan anggaran pendidikan
yang 20% tak pernah menyentuh mereka dan akhirnya upaya dan jerih payah yang
telah mereka lakukan terputus ditengah jalan dan anak bangsa yang seharusnya
hanya membebutuhkan sedikit makan dan minum agar khusyuk dalam ibadahnya
terpengaruh ada yang jadi terroris, perampok, hingga koruptor.
No comments:
Post a Comment