Wednesday 23 May 2012

APAKAH PAK PRESIDEN TIDAK SHALAT?




Keterpurukan dalam berbagai bidang, kejahatan dan semua bentuk kejadian yang dianggap tidak menyenangkan dan dialami oleh seorang, sekelompok atau sebuah bangsa adalah hal yang selalu dan tidak akan berhenti terjadi merupakan wujud dari perilaku dan aktifitas yang terjadi di dalam hati yang kemudian terwujud dalam bentuk perilaku dan kemudian dikembalikan terhada pikiran dan diproses menggunakan nurai hati untuk menemukan jawaban dan cara menyelesaikannya.
Begitu pula permasalahan bangsa ini yang tak kunjung usai, mualai dari ekonomi, pendidikan, hukum, hingga bencana yang bisa dan disebabkan dan diatasi oleh kita sendiri ataupun tidak,  dengan berbagai macam cara dan upaya yang telah ditempuh oleh pemerintah sendiri ataupun berbagai kalangan lewat inspirasi dalam berbagai bentuk. Namun hingga kini, dalam masalah hukum saja hampir dikatakan pemerintah telah lelah dalam mengatasinya.
Sebagai warga negara Indonesia, tentu kita mempercayai sebuah kekuatan abstrak yang mutlak sebagai sumber semua kejadian yang dialami oleh umat manusia dari dulu hingga kapanpun. Kemudian lewat media kepercayaan ini kita melihat dan mengevaluasi diri kita yang kemudian bisa melihat dan menilai orang lain sebagai sesame orang yang memiliki kepercayaan. Artinya, bila hubungan kita dengan Sang Pemilik Kekuatan Mutlak (Tuhan) baik, maka hubungan dengan manusia dan kehidupan ini dapat dipastikan baik. Chablun minallaah menentukan baik dan tidaknya hubungan yang terwujud dalam perilaku terhdap orang lain (cahablun minannas), yang kemudian bisa disimpulkan bahwa setiap individu yang melakukan tindak kelalaian atau merugikan orang lain karena hubungannya dengan Tuhan jelek.
Dalam acara Damai Indonesiaku oleh KH. Zainuddin MZ. di TVOne (Minggu 25 April 2010), membahas bahwa shalat bisa menjadi cara menyelesaikan permasalahan bangsa dan bukan sekedar ritual dan kebiasaan umat Islam yang dilakukan minimal lima kali dalam 24. Shalat adalah benteng dan evaluator manusia dalam hidup ini. kebajikan, keadilan dan nilai-nilai positif yang dilakukannya adalah bentuk dari kualitas shalat yang dijalankan. Bahkan KH. Zainuddin mengutip sebuah keterangan bahwa annaasu ‘ala dini mulukihim, bahwa rakyat suatu bangsa sangat dipegaruhi oleh kualitas keagamaan para pemimpinnya.

Pemerintah tidak shalat
Bukan berarti para pemimpin kita non muslim, atau menganut agama Islam tetapi tidak shalat. Bila kita cermati, pelaku terorisme yang menjadi problem dunia, masalah korupsi yang belum mencapai titik tuntas, penyelewengan hukum dan berbagai tindak pidana yang terjadi adalah mereka-mereka yang perhatiannya terhadap agama minim hingga mudah terpengaruh.
Bukan pula para pemimpin kita harus shalat berjamaah, khusyuk atau para pemimpin harus dari golongan kiai atau santri atau bahkan pendeta yang hatinya bersih dan tidak memikirkan duniawi, akan tetapi kesimpulan bahwa pemerintah tidak shalat lebih pada bahwa sebuah shalat yang mampu menjaga dan memperbaiki perilaku seseorang tidak bisa dibentuk dalam satu waktu singkat seperti pengajian-pengajian atau wacana keilmuan yang kemudian dijejali dengan berbagai pengetahuan dan kepentingan, tetapi memerlukan waktu panjang (mungkin dari lahir hingga mati). Pembentukan insane kamil dalam UU. SISDIKNAS hanya sebagai symbol Negara pancasila yang beragama dengan terus dipengaruhi budaya budaya asing yang mencuri dan tertawa dengan keterpurukan yang melanda Negara kita. Andai perhatian pemerintah kita terhadap hal itu ada, yang bisa melalui satu contoh kecil dengan mengharagai shalat dalam penanaman kepahaman maksimal terhadap agama secara penuh dalam satu titik (semisal shalat bagi umat Islam), keterpurukan ekonomi tidak akan menjadi sumber kriminal, keragaman pemahaman dalam agama tidak akan menjadi sebab umat Islam yang terpecah belah dan menjadi teroris.
Begitu berharaga dan tinggi nilai-nilai dan motifasi serta bisikan-bisikan Tuhan saat manusia mengadapNya lewat bacaan dan gerakan shalat, akan tetapi begitu minim mereka yang mengerti apalagi menyadari hal itu, hingga shalat hanya sebagai aktifitas yang tak membekas dalam perilaku. Dan mereka yang mampu menanamkan dan mengajarkan dan menjaganya selalu terabaikan hingga dengan anggaran pendidikan yang 20% tak pernah menyentuh mereka dan akhirnya upaya dan jerih payah yang telah mereka lakukan terputus ditengah jalan dan anak bangsa yang seharusnya hanya membebutuhkan sedikit makan dan minum agar khusyuk dalam ibadahnya terpengaruh ada yang jadi terroris, perampok, hingga koruptor.       

No comments: