BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sepanjang
sejarah para filsuf telah berusaha menyusun sebuah metode untuk mendapatkan
pengakuan secara universal dan menpertahankan kelayakan filsafat sebagai disiplin
ilmu.
Plato
(427-347M) membahas filsafat dengan metode dialektik, yaitu dua orang yang
berdialog saling melemparkan pertanyaan dan memberikan jawaban masing-masing
secara bergantian. Aristoteles (384-322M) menjadi terkenal dengan metode
silogismenya atau logikanya. Dengan
menggabungkan pembenaran dan penyangkalan di antara tiga term, sebuah
kesimpulan yang yang meyakinkan dapat diperoleh.
Metode
thomistik yang dikembangkan Thomas Aquinas secara rinci mengetengahkan
persoalan yang harus dijawab dalam bentuk-bentuk pertanyaan. Rene Descartes
(1596-1650M), seorang ahli matematika prancis menyusun metodenya sendiri yang
disebut “metode ragu-ragu” yang dipergunakannya untuk menghapus keseluruhan
bangunan ilmu pengetahuan. Dan semua metode-metode tersebut memiliki kelemahan
masing-masing yang perlu disempurnakan.
Sekarang
ini munculah satu metode lain yang dapat menempatkan filsafat dalam jajaran
ilmu ilmu yang lain, yakni metode fenomenologis oleh Edmund Husserl
(1895-1939M). menurut dia filsafat memerlukan sebuah metode yang mengena untuk
menegaskan validitasnya didalam pandangan hidup manusia. Walau bagaimanapun
juga metode-metode tersebut memiliki banyak jasa dalam pengembangan filsafat
walaupun belum dapat disebut sebagai metode filsafat.
Setiap
generasi filsuf bercita-cita merumuskan suatu metode yang ideal. Namun sejauh
ini usaha tersebut belum pernah berhasil denagn baik. Hal itu dikarenakan
metode yang ideal itu harus menampilkan suatu bentuk struktur. Yaitu suatu
struktur yang fleksibel dan memungkinkan untuk dikembangkan lebih lanjut. Untuk
itu FDE sclheimacher mengangkat metode hermeneutika dan terus dikembangkan oleh
Wilhelm Dilthey dan tokoh-tokoh filsuf lainnya.
Hermeneutika
belum diterima sebagai suatu metode yang bersifat universal, namun metode ini
setidaknya mendukung pemahaman kita tentang kebenaran dan interprestasinya. Dan
apakah metode hermeneutika dapat menjadi metode yang memadai bagi pembahasan
masalah filsafat.
B. Rumusan Masalah
Apakah hermeneutika itu
dan bagaimana cara pengaplikaisiannya?
Bagaimanakah corak
pemikiran Gadamer tentang Hermeneutika?
C. Tujuan
Untuk memahami
hermeneutika serta cara pengaplikasiannya.
Untuk memahami corak
pemikiran Gadamer tentang Hermeneutika.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi
secara etimologi,
kata hermeneutic berasal dari bahasa yunani hermeneuein yang berarti
“menafsirkan”. Maka kata benda hermeneia secara harfiah dapat diartikan sebagai
penafsiran atau interpretasi. Dan hal itu merujuk kepada tokoh mitologis yunani
kuno, yakni Hermes. Seorang utusan yang mempunyai tugas menyampaikan pesan
Jupiter kepada manusia. Hermes digambarkan sebagai seorang yang mempunyai kaki
bersayap dengan tugasnya menerjemahkan pesan-pesan dari gunung olimpus ke dalam
bahasa yang dapat dimengerti dan dipahami oleh manusia. Maka dari itu Hermes
harus mampu meninterprestasikan atau
menyadur sebuah pesan ke dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh pendengarnya.
Oleh
karena itu, hermeneutika pada akhirnya diartikan sebagai proses mengubah
sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti. Batasan umum ini selalu
dianggap benar, baik hermeneutik dalam pandangan klasik maupun dalam pandangan
modern (Richard E. Palmer, 1969:3)
Hermeneutic
dalam pandangan Aristoteles dalam Peri
Hermenias atau De Interpretatione, yakni: bahwa kata-kata yang kita
ucapkan adalah symbol dari pengalaman kita, dan kata-kata yang kita tulis
adalah symbol dari kata-kata yang kita ucapkan itu. Sebagaimana seseorang tidak
mempunyai kesamaan bahasa tulisan dengan orang lain, maka demikian pula ia
tidak mempunyai kesamaan bahasa ucapan dengan yang lain. Akan tetapi
pengalaman-pengalaman mentalnya yang disimbolkan secara langsung itu adalah
sama untuk semua orang, sebagaimana pengalaman-pengalaman imajinasi kita untuk
menggambarkan sesuatu. (De Interpretation)
B. Hermeneutika dan Bahasa
Pada dasarnya
hermeneutic berhubungan dengan bahasa. Kita berpikir melalui bahasa, kita
berbicara dan menulis melalui bahasa. Kita mngerti dan membuat interprestasi
pun dengan bahasa. Bahkan seni yang dengan jelas tidak menggunakan suatu bahasa
pun berkomunikasi dengan seni-seni yang lainnya juga dengan menggunakan bahasa.
Semua seni yang berbentuk visual misalnya, juga diapresiasikan dengan
menggunakan bahasa.
Menurut Gadamer
bahasa merupakan modus operandi dari cara kita berada di dunia dan
merupakan wujud yang seakan-akan merangkul seluruh konstitusi tentang dunia
ini. bahasa tidak boleh kita pikirkan sebagai yang mengalami perubahan. Bahasa
harus kita pahami sebagai sesuatu yang memiliki tujuan di dalam dirinya. Dalam
artian bahwa kata-kata atau ungkapan secara aksidental tidak pernah memiliki
kebakuan.
Dalam hal ini
hermeneutic adalah cara baru untuk bergaul dengan bahasa. Bila mengerti selalu
dikaitkan dengan bahasa, maka bahasa membatasi dirinya sendiri. Bahasa
menjelmakan kebudayaan manusia. Henry Bergson menyatakan bahwa bila seorang
memahami bahasa suatu Negara , bisa dipastikan ia tidak akan mungkin benci
terhadap Negara itu. Sebab bila kita mapu memahami bahasa, kita memahami segala
sesuatu. Bahasa adalah medium yang tidak terbatas, yang membawa segala sesuatu
di dalamnya. Dengan kata lain, bahasa adalah perantara nyata bagi hubungan umat
manusia. Tradisi dan kebudayaan kita, segala warisan nenek moyang kita sebagai
suatu bangsa, semua itu terungkap dengan bahasa (H.G. Gadamer, 1977:59,68)
C. Penerapan Hermeneutika
Penerapan
Hermeneutika cukup luas pada ilmu-ilmu kemanusiaan. Sejarah, hokum, agama,
filsafat, seni, kesustsastraan, maupun linguistic – atau semua yang termasuk
dalam geisteswissenchaften atau ilmu-ilmu tentang kemanusiaan atau ilmu
pengetahuan tentang kehidupan (life sciences).
Jika pengalaman manusia diungkapkannya dalam bentuk bahasa tampak asing
bagi pembaca berikutnya maka perlulah
untuk ditafsirkan secara benar (Wilhelm Dilthey). Dan biasanya hermeneutika
digunakan dalam ilmu tafsir kitab suci. Hal itu disebakan semua karya yang mendapatkan
inspirasi Ilahi perlu adanya
interprestasi atau hermeneutika agar dapat dimengerti oleh manusia.
Teks
sejarah yang ditulis dalam bahasa yang rumit yang mana beberapa abad tidak dipedulikan oleh para pembacanya ,
tidak dapat dipahami dalam kurun waktu seseorang tanpa penafsiran yang benar. Istilah-istilah
yang dipakai mungkin ada kesamaannya, tetapi arti atau makna dari
istilah-istilah itu bisa berbeda. Begitu juga interprestasi terhadap hokum yang
selalu berhubungan dengan isinya mempunyai dua segi, yaitu yang tersurat dan
yang tersirat, atau bunyi hokum dan semangat hokum. Dalam hal ini bahasa menjadi
penting , subtilitas intelegendi (ketetapan pemahaman) dan subtilitas
Explicandi (ketetapan penjabaran) yang sangat relevan terhadap hokum .
hermeneutic mau tidak mau dibutuhkan untuk menerangkan dokumen hokum. Dalam
lingkup kesusastraan, kebutuhan tentang hermeneutic sangatlah ditekankan. Tanpa
interprestasi atau penafsiran, pembaca mungkin tidak mengerti atau tidak
menangkap jiwa zaman di mana kesusastraan itu dibuat.
Dalam bidang filsafat, pentingnya hermeneutic
tidak dapat ditekankan secara berlebihan. Sebab pada kenyataannya, keseluruhan
filsafat adalah interprestasi, pembahasan seluruh isi alam semesta kedalam
bahasa kebijaksanaan manusia. Akan tetapai tidak ada aturan baku untuk
interprestasi filsafat.
Memelalui bahasa kita berkomunikasi, tetapi melalui
bahasa pula kita bisa salah paham dan salah tafsir. Arti atau makna bisa kita
peroleh tergantung dari banyak factor: siapa yang berbicara, keadaaan khusus
yang berkaitan dengan waktu, tempat atau situasi yang dapat mewarnai arti
sebuah peristiwa bahasa. Dan setiap orang menangkap atau memahami bahasa
tersebut tergantung oleh latar belakang orang itu sendiri.
D. Cara kerja Hermeneutika
Pada dasarnya semua objek itu netral,
sebab objek adalah objek. Subyek an objek saling berkolerasi atau saling menghubungkan
diri satu sama lain yang bersifat timbal balik. Tanpa subyek tidak ada objek.
Sebuah benda menjadi objek karena kearifan subyek menaruh perhatian atas benda
itu. Arti atau makna diberikan kepada objek adalah subyek, sesuai dengan cara
pandang subyek. Jika tidak demikian objek menjadi tidak bermakna sama sekali.
Hurssel menyatakan bahwa objek dan
makna tidak pernah terjadi secara serentakat atau bersama-sama, sebab pada
mulanya objek adalah netral. Meskipun arti atau makna muncul sesudah objek atau
subyek menurunkan maknanya atas dasar situasi objek, semua adalah sama saja dan
dari sinilah kita melihat keunggulan hermeneutic.
Semua interprestasi mencangkup
pemahaman-pemahaman. Dan pemahaman itu sangat kompleks didalam diri manusia
sehingga para pemikir ulung maupun pesikolog tidak pernah mampu menetapkan
kapan seseorang itu mulai mengerti. Untuk dapat membuat interprstasi, orang
harus dapat mengerti dahulu atau memahami. Namun keadaan lebih dulu mengerti
ini bukan didasarkan atas penentuan waktu, melainkan bersifat alamiah. Sebab
menurut kenyataannya, bila seseorang itu mengerti maka ia sebenarnya telah
melakukan interpretasi dan juga
sebaliknya. Ada kesertamertaan antara mengerti dan membuat interpretasi.
Keduanya bukan momen dalam satu proses. Mengerti dan interpretasi menimbulkan
lingkaran hermeneutic.
Emillo Betty menyatakan, tugas orang
melakukan interpretasi adalah menjernihkan persoalan mengerti dengan cara
menyelidiki setiap detail proses interpretasi. Kegiatan interpretatif adalah
proses yang bersifat triadik.[1] Di dalam proses ini
terdapat pertentangan antara pikiran yang diarahkan pada objek dan pikiran
penafsiran itu sendiri. Orang yang melakukan interpretasi harus mengenal pesan
atau kecondongan sebuah teks dan kemudian ia harus meresapinya. Oleh karena
itulah dapat kita memahami bahwa mengerti secara sungguh-sungguh hanya akan
dapat berkembang bila didasarkan atas pengetahuan yang benar (correct).
Sesuatu arti tidak akan kita kenal jika kita rekonstruksi. Makna bukanlah
diambil dari kesimpulan melainkan harus diturunkan (bersifat instruktif). Jadi
seorang penafsir tidak boleh bersikap pasif, ia harus menskontruksi makna.
Bila kita jabarkan lebih lanjut argumentasi
tentang hermeneutic ke ruang lingkup yang lebih luas, akan kita dapatkan bahwa
setiap objek tampil dalam konteks ruang dan waktu yang sama dan tidak ada objek
yang berada dalam keadaan terisolir, setiap objek berada diruang. Selalu berada
di kerangka referensi, dimensi, sesuatu batas, nyata atau semu, yang semuanya
member cirri khusus pada objek. Kita harus kembali kepada pengalaman orisinal
dari para penulis teks dengan maksud untuk menemukan kunci makna kata-kata atau
ungkapan.
E. Latar Belakang Pemikira Gadamer tentang
Hermeneutika
Hans George Gadamer seorang guru besar
universitas Heidelberg merupakan seorang penulis kontemporer yang terkemuka
dalam bidang hermeneutic dengan karyanya Warheit und Methode (Kebenaran
dan Metode). Dan dalam karyanya
tersebut, Gadamer lebih menekankan pemahaman yang mengarah pada tingkat
ontologism, bukan metodologis. Sebab menurut Gadamer kebenaran menerangi
metode-metode individual, justru metode merintangi atau menghambat kebenaran,
dan untuk mencapai kebenaran bukan melalui metode melainkan dialektika. Sebab
dalam mengajukan proses dialektik kesempatan dalam mengajukan pertanyaan secara
bebas lebih banyak kemungkinananya dibandingkan melalui proses metodis. Pada
dasarnya metode adalah struktur yang dapat membekukan dan memanipulasi
unsur-unsur yang memudahkan prosedur Tanya jawab.sedangkan proses dialektik
tidaklah demikian. Disamping itu tidak semua ilmu pengetahuan manusia dapat
diterapi satu metode tertentu. Dan hanya hermeneutikalah yang dapat membantu
kita dalam memahami dan mengerti ilmu-ilmu kemanusiaan tersebut.
Pemahaman
mendampingi kita pada saat menghadapi objek-objek di dunia ini. kita tidak
menyadari hal itu—kita memahami bahwa kita mengerti itu tidak penting bagi
kita—namun tanpa kesadaran itu, kita tidak bisa mneangkap objek yang kita
hadapi. Dalam karya Gadamer terdapat konsep yang menarik tentang “permainan”.
Dalam suatu permainan apabila si pemain tidak menyadari permainan itu sendiri,
permainan tersebut akan menguasai mereka. “subjek permainan sebenarnya bukanlah
bukanlah para pemainnya, melainkan permainan itu sendiri”.(Gadamer, 1986:92).
Siapapun yang ikut bermain , ia menjadikan permainan itu betul-betul permainan.
Dalam setiap permainan memiliki aturan atau dinamikanya sendiri yang independen
terhadap kesadaran para pemainnya. Namun untuk dapat bermain dengan baik,
pertama-tama orang harus mngetahui terlebih dahulu peraturan dan dinamikanya.
Sesudah orang itu menguasainya aturan dan dinamikanya, maka ia segera ia tidak
menyadari adanya peraturan tersebut, bahkan ia tidak mnyadari permainan itu.
Gadamer meolak hermeneutic sebagai
meode, melainkan pemahaman, namun ia tidak menyatakan pehaman itu bersifat
metodis. Dalam karyannya yang berjudul philosophical apprenticeships (Magang
Filsafat) ia menyatakan, dapatkah tujuan suatu metode menjamin kebenaran?
Filsafat harus menuntut sains dan metodenya supaya mengenali metodenya dirinya
sendiri dalam konteks existensi manusia dalam penalarannya (Gadamer,
1985:179). Ada banyak hal seperti rasa lapar dan perasaan cinta, kerja dan
penguasaan, yang pada dasarnya bukanlah bahsa atau ucapan, melainkan hal-hal
yang membatasi ruang dimana pengertian “saling berbicara” dan “saling
mendengarkan” dapat menempatinya. Tidak perlu diperdebatkan lagi bahwa hal iu
terdapat dalam pendapat dan ucpan yang ditampilkan setiap orang sehingga
menyebabkan refleksi hermeneutic menjadi penting (Ibid. 179-80).
Existensi mengambil jalur yang berbeda untuk sampai kepada
kebenaran eksistensial. Tidak ada lagi
jalan metode bagi kebenaran eksistensial selain metode yang dianjurkan bagi
kegemaran mencipta, kreativitas, genius dan pembaharuan.yang ingin dikatakan
oleh Gadamer adalah bahwa logika sendiri sudah tidak berdaya dan tidak mampu
menjadi sarana untuk mencapai kebenaran filosofis. Bahkan di dalam sains, cara
berpikir yang lama disarankan untuk dihentikan bila gagasan-gagasan baru sudah
ditemukan.
F. Paham Tentang “Seni”
Menurut Gadamer di dalam terdapat
kebenaran, tetapi bukan kebenaran yang kita peroleh melalui penalaran melainkan
kebenaran yang menurut faktanya. Tidak ada aturan-aturan seni yang bersifat
universal. Aturan-aturan diberikan oleh alam melalui para genius. Seni murni
adalah seni para genius dan kebenarannya tidak dapat dicapai dengan metode
ilmiah.
Gadamer membahas empat konsep tentang
manusia yang memperkaya hermeneutic. Yaitu:
1.
Bildung
Bildung
adalah konsep-konsep yang
meliputi seni, sejarah, weltanschauung (pandangan dunia), pengalaman,
ketajaman pikiran, dunia eksternal, kebatinan, ekspresi atau ungkapan, gaya dan
symbol yang semuanya itu kita mengerti saat ini sebagai istilah-istilah di
dalam sejarah. Istilah-istilah tersebut
termasuk dalam aturan-aturan pengetahuan tentang kehidupan dan
kemanusiaan. Dan kita menyebut kata bildung berarti sesuatu yang lebih
tinggi dan lebih mengarah pada batin, yaitu tingkah laku pikiran manusia itu
sendiri yang mengalir secara harmonis dari pengetahuan dan perasaan tentang
seluruh usaha moral dan intelektual ke dalam sensibilitas (kmampuan merasakan)
dan karakter.
Pada
dasarnya bildung adalah kumpulan kenangan yang di dalam proses
pengumpulannya membentuk dirinya sendiri yang sebagai yang ideal. Mengingat
peristiwa-peristiwa dunia dan melupakan perbuatan-perbuatan yang tidak
bertanggung jawab merupakan bagian dari sejarah kehidupan manusia. Oleh karena
itu memori atau kenangan itu harus dibentuk. Bahkan perbuatan melupakan yang
sering kali dianggap perbuatan yang tidak diinginkan, juga digunakan di dalam bildung,
sebab hanya dengan melupakan hal-hal yang tidak bertanggung jawab maka
pikiran kita mempunyai kesempatan untuk mengadakan pembaharuan secara
menyeluruh atau total, yaitu kemampuan melihat segala sesuatu dengan pandangan
mata yang segar.
2.
Sensus
communis
Sensus
communis mempunyai kesamaan arti
dengan ekspresi dalam bahasa Prancis le bon sens, yaitu pertimbangan
praktis yang baik. Menurut pengertiannya secara mendasar, istilah tersebut
adalah pandangan yang mendasari komunitas
dan karenanya sangat penting untuk hidup. Sejarawan memerlukan sensus
communis semacam ini untuk memahami arus yang mendasari pola sikap manusia.
Sejarah pada dasarnya tidak berbicara tentang seorang manusia yang terpencil,
melainkan berbicara tentang kelompok manusia atau komunitas.
3.
Pertimbangan
Gadamer menyatakan bahwa perbedaan
antara orang bodaoh dan orang pandai adalah bahwa orang bodoh kekurangan
pertimbangan. Artinya ia tidak dapat menghimpun kembali apa yang telah
dipelajari atau diketahuinya sehingga ia tidak dapat mempergunakan hal-hal
tersebut dengan benar. Pertimbangan sifatnya adalah universal, namun bukan
berarti berlaku umum dan hanya sedikit orang yang sekiranya memiliki halite dan
menggunakannya sebagaimana mestinya. Pertimbangan adalah kemampuan untuk
memahami hal-hal khusus sebagai contoh yang universal, dan kemampuan ini akan
melibatkan perasaan, konsep, prinsip dan hokum-hukum yang dapat diolah oleh
manusia.
4.
Taste atau
Selera
Menurut Gadamer selera sama dengan
rasa, yaitu dalam pengoprasiannya tidak mamakai pengetahuan akali. Jika selera
menunjukan reaksi negative atas sesuatu, kita tidak tahu sebabnya. Tapi selera
pasti tahu akan hal itu. Semakin selera dinyatakan pasti maka semakin dirasakan
hambar. Selera bertentangan dengan yang tidak menimbulkan selera. Fenomena
selera adalah kemampuan intelektual untuk membuat differensiasi, akan tetapi
kemampuan ini tidak dapat didemonstrasikan. Selera tidak terbatas pada sesuatu
yang indah secra alamidan di dalam seni, tetapi meliputi seluruh moralitas dan
perilaku atau tabiat.
G. Inti Uraian Tentang Hermeneutik
Gadamer menyatakan
bahwa hermeneutika adalah seni, bukan prses mekanis. Jika pemahaman adalah jiwa
dari hermeneutic, maka pemahaman tidak bisa digunakan sebagai pelengkap proses
mekanis. Pemahaman dan hermeneutic hanya dapat diberlakukan sebagai suatu karya
seni dan tidak dapat disiapkan terlabih dahulu sebelum dibuat, tidak dapat
diramalkan atau dikatakan sebelumnya.
Hermeneutic harus
menghasilkan suatu esensi dalam hal batiniah yang merupakan realitas utama dan
benar. Esensi dalam hal ini harus dipahami dan diungkapkan dan sudah menjadi
keharusan hermeneutic untuk dilaksanakan di luar rekonstruksi.
Gadamer juga
menyatakan interprestasi adalah penciptaan kembali meskipun bukan perbuatan
yang kreatif. Hermeneut (penafsir) selalu memahami realitas dan manusia dengan
titik tolak sekarang atau kontemporer.
Dan apabila seorang hermeneut berinterprestasi mulai dari titik tolak
sejarah yang menguntungkan dirinya sendiri, hal ini akan menimbulkan suatu
percampuran kebudayaan yang bermacam-macam. Tidak ada cakrawala yang tertutup
yang melingkari kebudayaan adalah sebuah abstraksi.
Dari uraian
tersebut refleksi hermeneutic menjadi penting bila kita berhubungan dengan
manusia yang pengalaman-pengalamannya tidak selalu dapat dipilah-pilahkan dalam
kategori, tidak bisa digolong-golongkan, maupun tidak bisa dipelajari secara
artificial (sekedar main-main saja). Dan hermneutik membutuhkan pengetahuan
tentang manusia atau masyarakat yang diperoleh bukan atas dasar kerja ilmiah,
melainkan yang dapat dipelajari sebagai seni.
“Dalam refleksi hermeneutic tentang
syarat-syarat pemahaman, nyatalah dalam kemungkinan-kemungkinan menyatakan diri
dalam kesadaran yang merumuskan pemahaman dalam sebuah bahasa tidak mulai dari
nol atau berakhir dalam ketidaktentuan. Model filsafat praktis ini harus mampu
berfungsi sebagai theoria yang
legistimasi-ontologisnya hanya dapat ditemukan di dalam suatu intellectus
infinitus (pemikiran yang luas) yang tidak dikenal dalam pengalaman
ekssistensial karena tidak didukung oleh wahyu”.(Gadamer, philosophical
Apprenticeship, 1985:183)
Gadamer memberikan ruang terhadap
wahyu untuk suatu bentuk intuisi yang tidak boleh yang berlaku dalam
metodologi.
Perpaduan cakrawala
memang selalu efektif didalam penerjemahan. Namun secara paradoksial, Gadamer
juga menegaskan bahwa suatau interprestasi tersebut mampu menghilang dibalik
bahasa yang digunakan. Dalam artian terjemahan itu akan tepat bila pembacanya
mengalami suatu kehalusam dan irama bahasa yang mengatur. Dalam berbicara
interpresasi bagaikan terjemahan. Melalui bahasa kita tidak hanya melakukan
interprestasi atas sebuah teks atau dokumen tertulis saja, melainkan juga
benda-benda yang bukan bahasa. Dan ada pola-pola bahasa yang tersembunyi
dibalim semuanya itu. Dan menurut Gadamer
bahasa adalah “bahasa penalaran itu sendiri”.
H. Arti “Memahami”
Menrut Gadamer,
pemahaman selalu dapat diterapkan pada keadaan kita saat ini, meskipun
pemahaman itu berhubungan dengan peristiwa sejarah, dialektik dan bahasa. Oleh
karenanya, pemahaman selalu memiliki posisi, misalnya posisi pribadi kita
sendiri saat ini. pehaman tidak pernah bersifat obyektif dan ilmiah. Sebab
pemahaman bukanlah mengetahui secara statis dan diluar kerangka waktu.
Interprestasi
bukanlah sekedar suatu yang ditambahkan atau dipaksakan masuk ke dalam
pemahaman. Memahami selalu dapat berarti membuat interprestasi. Oleh karenanya,
interprestasi secara eksplisit adalah bentuk dari pemahaman.[2] Namun yang jadi
permasalahan, lebih dahulu mana antara pemahaman dan interpretasi. Atas hal ini
menurut Gadamer pertanyaan yang berhubungan dengan pentingnya waktu dalam
pemahaman dan interprestasi dapat menimbulkan lingkaran hermeneutic. Kita dapat
terlebih dahulu memahami dan kemudian membuat interpretasi. Proses pemahaman
sebenarnya merupakan interpretasi sendiri.akal pikiran kita membuat perbedaan,
mengutamakan, menunda, bekerja, mendayagunakan apa saja yang dikumpulkan dari
panca indra kita dan dari proses intelektualnya sendiri.
Penerapan
hermeneutika seperti halnya pemahaman dan interpretasi. Dulu yang dianggap
tugas hermeneutic adalah menyadur makna dari sebuah teks ke dalam situasi
kongkret, dimana pesan yang ada di dalam teks itu ditujukan. Tugas interpretasi
sama dengan tugas kongkretisasi hokum atau penerapan hokum pada hal-hal khusus.
Jadi penerapan juga merupakan pemahaman yang benar terhadap factor yang
universal.
Untuk dapat memahami sebuah teks, kita
harus membuang jauh-jauh segala bentuk prakonsepsi dengan maksud agar kita
menjadi terbuka terhadap apa yang dikatakan oleh sebuah teks. Sebaliknya kita
mengantisipasi dan menginterprestasi menurut apa yang kita miliki (vorhabe)
dan apa yang kita lihat (vorsicht) serta apa yang akan kita peroleh
kemudian (vorgriff).
Adanya antisipasi
terhadap makna, yaitu yang berasal dari pertimbangan sebelumnya atas keselruhan
pemahaman melalui bagian-bagiannya, memang diharapkan. Gadamer menyebut hal itu
sebagai makna atau arti yang akan datang (for-understanding), yang juga
merupakan persyaratan hermeneutic sehingga membuat pemahaman itu menjadi suatu
“hubungan ya ng historis dan efektif”. Pemahaman akan terjadi hanya dalam
konteks cakrawala sejarah yang terus-menerus berubah. Dan akhirnya pemahaman
itu sendiri adalah fusi dari berbagai macam cakrawala yang merupakan tebaran
pandangan (Gesichtskreis) yang merangkum dan mencangkup segala hal yang
dapat dilihat dari suatu titik pandang[3], dengan hubungan timbal
balik antara beberapa konteks dalam sejar
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Hermeneutika
bukanlah hal baru. hermeneutika mengundang kita untuk melihat secara lebih
dekat bahasa yang kita pergunakan, yaitu sebagai alat untuk mengerti dan
memahami, dan sekaligus penyebab “salah mengerti” ataupun “salah paham”. Bahasa
akan menjadi pusat bahasan hermeneutic sejauh hal itu menyatakan sejarah,
kebudayaan, hokum, agama, filsafat, seni, kesustsastraan, maupun linguistic –
atau semua yang termasuk dalam geisteswissenchaften atau ilmu-ilmu
tentang kemanusiaan atau ilmu pengetahuan tentang kehidupan (life sciences) dan
nilai-nilai yang merupakan petunjuk ke arah interpretasi. Hermeneutika tidak
dapat bertahan sebagai metode dikarenakan metode hermeneutika tidak dapat
disejajarkan dengan metode penelitian ilmiah yang bersifat ketat dan baku,
sementara hermeneutic sifatnya luwesatau fleksibel.
Gadamer
menegaskan bahwa persoalan hermeneutic bukanlah persoalan tentang metode yang
dipergunakan untuk geisteswissenchaften.
Hermeneutic lebih merupakan usaha memahami dan menginterpretasi sebuah
teks. Hermeneutika merupakan keseluruhan
dari pengalaman mengenai dunia. Dengan kata lain, hermeneutic model Gadamer ini
adalah keterbukaan terhadap yang lain, apapun bentuknya, baik sebuah teks,
notasi music, maupun karya seni. Hermeneutic menurut Gadamer adalah
sungguh-sungguh seni.
DAFTAR PUSTAKA
Sumaryono,E. 2000. Hermeneutic Sebuah Metode Filsafat. Penerbit
Kanisius: Yogyakarta
Poesprodjo. W. Dr . 2004. Hermeneutika. Pustaka Setia: Bandung
No comments:
Post a Comment