Wednesday 23 May 2012

HERMENEUTIKA


                 BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Sepanjang sejarah para filsuf telah berusaha menyusun sebuah metode untuk mendapatkan pengakuan secara universal dan menpertahankan kelayakan filsafat sebagai disiplin ilmu.
Plato (427-347M) membahas filsafat dengan metode dialektik, yaitu dua orang yang berdialog saling melemparkan pertanyaan dan memberikan jawaban masing-masing secara bergantian. Aristoteles (384-322M) menjadi terkenal dengan metode silogismenya atau logikanya. Dengan  menggabungkan pembenaran dan penyangkalan di antara tiga term, sebuah kesimpulan yang yang meyakinkan dapat diperoleh.
Metode thomistik yang dikembangkan Thomas Aquinas secara rinci mengetengahkan persoalan yang harus dijawab dalam bentuk-bentuk pertanyaan. Rene Descartes (1596-1650M), seorang ahli matematika prancis menyusun metodenya sendiri yang disebut “metode ragu-ragu” yang dipergunakannya untuk menghapus keseluruhan bangunan ilmu pengetahuan. Dan semua metode-metode tersebut memiliki kelemahan masing-masing yang perlu disempurnakan.
Sekarang ini munculah satu metode lain yang dapat menempatkan filsafat dalam jajaran ilmu ilmu yang lain, yakni metode fenomenologis oleh Edmund Husserl (1895-1939M). menurut dia filsafat memerlukan sebuah metode yang mengena untuk menegaskan validitasnya didalam pandangan hidup manusia. Walau bagaimanapun juga metode-metode tersebut memiliki banyak jasa dalam pengembangan filsafat walaupun belum dapat disebut sebagai metode filsafat.
Setiap generasi filsuf bercita-cita merumuskan suatu metode yang ideal. Namun sejauh ini usaha tersebut belum pernah berhasil denagn baik. Hal itu dikarenakan metode yang ideal itu harus menampilkan suatu bentuk struktur. Yaitu suatu struktur yang fleksibel dan memungkinkan untuk dikembangkan lebih lanjut. Untuk itu FDE sclheimacher mengangkat metode hermeneutika dan terus dikembangkan oleh Wilhelm Dilthey dan tokoh-tokoh filsuf lainnya.
Hermeneutika belum diterima sebagai suatu metode yang bersifat universal, namun metode ini setidaknya mendukung pemahaman kita tentang kebenaran dan interprestasinya. Dan apakah metode hermeneutika dapat menjadi metode yang memadai bagi pembahasan masalah filsafat.

B.  Rumusan Masalah
Apakah hermeneutika itu dan bagaimana cara pengaplikaisiannya?
Bagaimanakah corak pemikiran Gadamer tentang Hermeneutika?

C.  Tujuan
Untuk memahami hermeneutika serta cara pengaplikasiannya.
Untuk memahami corak pemikiran Gadamer tentang Hermeneutika.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Definisi
secara etimologi, kata hermeneutic berasal dari bahasa yunani hermeneuein yang berarti “menafsirkan”. Maka kata benda hermeneia secara harfiah dapat diartikan sebagai penafsiran atau interpretasi. Dan hal itu merujuk kepada tokoh mitologis yunani kuno, yakni Hermes. Seorang utusan yang mempunyai tugas menyampaikan pesan Jupiter kepada manusia. Hermes digambarkan sebagai seorang yang mempunyai kaki bersayap dengan tugasnya menerjemahkan pesan-pesan dari gunung olimpus ke dalam bahasa yang dapat dimengerti dan dipahami oleh manusia. Maka dari itu Hermes harus mampu meninterprestasikan  atau menyadur sebuah pesan ke dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh pendengarnya.
            Oleh karena itu, hermeneutika pada akhirnya diartikan sebagai proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti. Batasan umum ini selalu dianggap benar, baik hermeneutik dalam pandangan klasik maupun dalam pandangan modern (Richard E. Palmer, 1969:3)
            Hermeneutic dalam pandangan  Aristoteles dalam Peri Hermenias atau De Interpretatione, yakni: bahwa kata-kata yang kita ucapkan adalah symbol dari pengalaman kita, dan kata-kata yang kita tulis adalah symbol dari kata-kata yang kita ucapkan itu. Sebagaimana seseorang tidak mempunyai kesamaan bahasa tulisan dengan orang lain, maka demikian pula ia tidak mempunyai kesamaan bahasa ucapan dengan yang lain. Akan tetapi pengalaman-pengalaman mentalnya yang disimbolkan secara langsung itu adalah sama untuk semua orang, sebagaimana pengalaman-pengalaman imajinasi kita untuk menggambarkan sesuatu. (De Interpretation)
           
B.     Hermeneutika dan Bahasa
Pada dasarnya hermeneutic berhubungan dengan bahasa. Kita berpikir melalui bahasa, kita berbicara dan menulis melalui bahasa. Kita mngerti dan membuat interprestasi pun dengan bahasa. Bahkan seni yang dengan jelas tidak menggunakan suatu bahasa pun berkomunikasi dengan seni-seni yang lainnya juga dengan menggunakan bahasa. Semua seni yang berbentuk visual misalnya, juga diapresiasikan dengan menggunakan bahasa. 
Menurut Gadamer bahasa merupakan modus operandi dari cara kita berada di dunia dan merupakan wujud yang seakan-akan merangkul seluruh konstitusi tentang dunia ini. bahasa tidak boleh kita pikirkan sebagai yang mengalami perubahan. Bahasa harus kita pahami sebagai sesuatu yang memiliki tujuan di dalam dirinya. Dalam artian bahwa kata-kata atau ungkapan secara aksidental tidak pernah memiliki kebakuan.
Dalam hal ini hermeneutic adalah cara baru untuk bergaul dengan bahasa. Bila mengerti selalu dikaitkan dengan bahasa, maka bahasa membatasi dirinya sendiri. Bahasa menjelmakan kebudayaan manusia. Henry Bergson menyatakan bahwa bila seorang memahami bahasa suatu Negara , bisa dipastikan ia tidak akan mungkin benci terhadap Negara itu. Sebab bila kita mapu memahami bahasa, kita memahami segala sesuatu. Bahasa adalah medium yang tidak terbatas, yang membawa segala sesuatu di dalamnya. Dengan kata lain, bahasa adalah perantara nyata bagi hubungan umat manusia. Tradisi dan kebudayaan kita, segala warisan nenek moyang kita sebagai suatu bangsa, semua itu terungkap dengan bahasa (H.G. Gadamer, 1977:59,68)

C.    Penerapan Hermeneutika
Penerapan Hermeneutika cukup luas pada ilmu-ilmu kemanusiaan. Sejarah, hokum, agama, filsafat, seni, kesustsastraan, maupun linguistic – atau semua yang termasuk dalam geisteswissenchaften atau ilmu-ilmu tentang kemanusiaan atau ilmu pengetahuan tentang kehidupan (life sciences).  Jika pengalaman manusia diungkapkannya dalam bentuk bahasa tampak asing bagi pembaca berikutnya  maka perlulah untuk ditafsirkan secara benar (Wilhelm Dilthey). Dan biasanya hermeneutika digunakan dalam ilmu tafsir kitab suci. Hal itu disebakan semua karya yang mendapatkan inspirasi  Ilahi perlu adanya interprestasi atau hermeneutika agar dapat dimengerti oleh manusia.
   Teks sejarah yang ditulis dalam bahasa yang rumit yang mana beberapa abad  tidak dipedulikan oleh para pembacanya , tidak dapat dipahami dalam kurun waktu seseorang tanpa penafsiran yang benar. Istilah-istilah yang dipakai mungkin ada kesamaannya, tetapi arti atau makna dari istilah-istilah itu bisa berbeda. Begitu juga interprestasi terhadap hokum yang selalu berhubungan dengan isinya mempunyai dua segi, yaitu yang tersurat dan yang tersirat, atau bunyi hokum dan semangat hokum. Dalam hal ini bahasa menjadi penting , subtilitas intelegendi (ketetapan pemahaman) dan subtilitas Explicandi (ketetapan penjabaran) yang sangat relevan terhadap hokum . hermeneutic mau tidak mau dibutuhkan untuk menerangkan dokumen hokum. Dalam lingkup kesusastraan, kebutuhan tentang hermeneutic sangatlah ditekankan. Tanpa interprestasi atau penafsiran, pembaca mungkin tidak mengerti atau tidak menangkap jiwa zaman di mana kesusastraan itu dibuat.
   Dalam bidang filsafat, pentingnya hermeneutic tidak dapat ditekankan secara berlebihan. Sebab pada kenyataannya, keseluruhan filsafat adalah interprestasi, pembahasan seluruh isi alam semesta kedalam bahasa kebijaksanaan manusia. Akan tetapai tidak ada aturan baku untuk interprestasi filsafat.
    Memelalui bahasa kita berkomunikasi, tetapi melalui bahasa pula kita bisa salah paham dan salah tafsir. Arti atau makna bisa kita peroleh tergantung dari banyak factor: siapa yang berbicara, keadaaan khusus yang berkaitan dengan waktu, tempat atau situasi yang dapat mewarnai arti sebuah peristiwa bahasa. Dan setiap orang menangkap atau memahami bahasa tersebut tergantung oleh latar belakang orang itu sendiri.

D.    Cara kerja Hermeneutika
Pada dasarnya semua objek itu netral, sebab objek adalah objek. Subyek an objek saling berkolerasi atau saling menghubungkan diri satu sama lain yang bersifat timbal balik. Tanpa subyek tidak ada objek. Sebuah benda menjadi objek karena kearifan subyek menaruh perhatian atas benda itu. Arti atau makna diberikan kepada objek adalah subyek, sesuai dengan cara pandang subyek. Jika tidak demikian objek menjadi tidak bermakna sama sekali.
Hurssel menyatakan bahwa objek dan makna tidak pernah terjadi secara serentakat atau bersama-sama, sebab pada mulanya objek adalah netral. Meskipun arti atau makna muncul sesudah objek atau subyek menurunkan maknanya atas dasar situasi objek, semua adalah sama saja dan dari sinilah kita melihat keunggulan hermeneutic.
Semua interprestasi mencangkup pemahaman-pemahaman. Dan pemahaman itu sangat kompleks didalam diri manusia sehingga para pemikir ulung maupun pesikolog tidak pernah mampu menetapkan kapan seseorang itu mulai mengerti. Untuk dapat membuat interprstasi, orang harus dapat mengerti dahulu atau memahami. Namun keadaan lebih dulu mengerti ini bukan didasarkan atas penentuan waktu, melainkan bersifat alamiah. Sebab menurut kenyataannya, bila seseorang itu mengerti maka ia sebenarnya telah melakukan interpretasi  dan juga sebaliknya. Ada kesertamertaan antara mengerti dan membuat interpretasi. Keduanya bukan momen dalam satu proses. Mengerti dan interpretasi menimbulkan lingkaran hermeneutic.
            Emillo Betty menyatakan, tugas orang melakukan interpretasi adalah menjernihkan persoalan mengerti dengan cara menyelidiki setiap detail proses interpretasi. Kegiatan interpretatif adalah proses yang bersifat triadik.[1] Di dalam proses ini terdapat pertentangan antara pikiran yang diarahkan pada objek dan pikiran penafsiran itu sendiri. Orang yang melakukan interpretasi harus mengenal pesan atau kecondongan sebuah teks dan kemudian ia harus meresapinya. Oleh karena itulah dapat kita memahami bahwa mengerti secara sungguh-sungguh hanya akan dapat berkembang bila didasarkan atas pengetahuan yang benar (correct). Sesuatu arti tidak akan kita kenal jika kita rekonstruksi. Makna bukanlah diambil dari kesimpulan melainkan harus diturunkan (bersifat instruktif). Jadi seorang penafsir tidak boleh bersikap pasif, ia harus menskontruksi makna.
Bila kita jabarkan lebih lanjut argumentasi tentang hermeneutic ke ruang lingkup yang lebih luas, akan kita dapatkan bahwa setiap objek tampil dalam konteks ruang dan waktu yang sama dan tidak ada objek yang berada dalam keadaan terisolir, setiap objek berada diruang. Selalu berada di kerangka referensi, dimensi, sesuatu batas, nyata atau semu, yang semuanya member cirri khusus pada objek. Kita harus kembali kepada pengalaman orisinal dari para penulis teks dengan maksud untuk menemukan kunci makna kata-kata atau ungkapan.

E.     Latar Belakang Pemikira Gadamer tentang Hermeneutika
Hans George Gadamer seorang guru besar universitas Heidelberg merupakan seorang penulis kontemporer yang terkemuka dalam bidang hermeneutic dengan karyanya Warheit und Methode (Kebenaran dan Metode).  Dan dalam karyanya tersebut, Gadamer lebih menekankan pemahaman yang mengarah pada tingkat ontologism, bukan metodologis. Sebab menurut Gadamer kebenaran menerangi metode-metode individual, justru metode merintangi atau menghambat kebenaran, dan untuk mencapai kebenaran bukan melalui metode melainkan dialektika. Sebab dalam mengajukan proses dialektik kesempatan dalam mengajukan pertanyaan secara bebas lebih banyak kemungkinananya dibandingkan melalui proses metodis. Pada dasarnya metode adalah struktur yang dapat membekukan dan memanipulasi unsur-unsur yang memudahkan prosedur Tanya jawab.sedangkan proses dialektik tidaklah demikian. Disamping itu tidak semua ilmu pengetahuan manusia dapat diterapi satu metode tertentu. Dan hanya hermeneutikalah yang dapat membantu kita dalam memahami dan mengerti ilmu-ilmu kemanusiaan tersebut.
            Pemahaman mendampingi kita pada saat menghadapi objek-objek di dunia ini. kita tidak menyadari hal itu—kita memahami bahwa kita mengerti itu tidak penting bagi kita—namun tanpa kesadaran itu, kita tidak bisa mneangkap objek yang kita hadapi. Dalam karya Gadamer terdapat konsep yang menarik tentang “permainan”. Dalam suatu permainan apabila si pemain tidak menyadari permainan itu sendiri, permainan tersebut akan menguasai mereka. “subjek permainan sebenarnya bukanlah bukanlah para pemainnya, melainkan permainan itu sendiri”.(Gadamer, 1986:92). Siapapun yang ikut bermain , ia menjadikan permainan itu betul-betul permainan. Dalam setiap permainan memiliki aturan atau dinamikanya sendiri yang independen terhadap kesadaran para pemainnya. Namun untuk dapat bermain dengan baik, pertama-tama orang harus mngetahui terlebih dahulu peraturan dan dinamikanya. Sesudah orang itu menguasainya aturan dan dinamikanya, maka ia segera ia tidak menyadari adanya peraturan tersebut, bahkan ia tidak mnyadari permainan itu.
Gadamer meolak hermeneutic sebagai meode, melainkan pemahaman, namun ia tidak menyatakan pehaman itu bersifat metodis. Dalam karyannya yang berjudul philosophical apprenticeships (Magang Filsafat) ia menyatakan, dapatkah tujuan suatu metode menjamin kebenaran? Filsafat harus menuntut sains dan metodenya supaya mengenali metodenya dirinya sendiri dalam konteks existensi manusia dalam penalarannya (Gadamer, 1985:179). Ada banyak hal seperti rasa lapar dan perasaan cinta, kerja dan penguasaan, yang pada dasarnya bukanlah bahsa atau ucapan, melainkan hal-hal yang membatasi ruang dimana pengertian “saling berbicara” dan “saling mendengarkan” dapat menempatinya. Tidak perlu diperdebatkan lagi bahwa hal iu terdapat dalam pendapat dan ucpan yang ditampilkan setiap orang sehingga menyebabkan refleksi hermeneutic menjadi penting (Ibid. 179-80).
Existensi mengambil jalur yang berbeda untuk sampai kepada kebenaran  eksistensial. Tidak ada lagi jalan metode bagi kebenaran eksistensial selain metode yang dianjurkan bagi kegemaran mencipta, kreativitas, genius dan pembaharuan.yang ingin dikatakan oleh Gadamer adalah bahwa logika sendiri sudah tidak berdaya dan tidak mampu menjadi sarana untuk mencapai kebenaran filosofis. Bahkan di dalam sains, cara berpikir yang lama disarankan untuk dihentikan bila gagasan-gagasan baru sudah ditemukan.

F.     Paham Tentang “Seni”
Menurut Gadamer di dalam terdapat kebenaran, tetapi bukan kebenaran yang kita peroleh melalui penalaran melainkan kebenaran yang menurut faktanya. Tidak ada aturan-aturan seni yang bersifat universal. Aturan-aturan diberikan oleh alam melalui para genius. Seni murni adalah seni para genius dan kebenarannya tidak dapat dicapai dengan metode ilmiah.
Gadamer membahas empat konsep tentang manusia yang memperkaya hermeneutic. Yaitu:
1.    Bildung
Bildung adalah konsep-konsep yang meliputi seni, sejarah, weltanschauung (pandangan dunia), pengalaman, ketajaman pikiran, dunia eksternal, kebatinan, ekspresi atau ungkapan, gaya dan symbol yang semuanya itu kita mengerti saat ini sebagai istilah-istilah di dalam sejarah. Istilah-istilah tersebut  termasuk dalam aturan-aturan pengetahuan tentang kehidupan dan kemanusiaan. Dan kita menyebut kata bildung berarti sesuatu yang lebih tinggi dan lebih mengarah pada batin, yaitu tingkah laku pikiran manusia itu sendiri yang mengalir secara harmonis dari pengetahuan dan perasaan tentang seluruh usaha moral dan intelektual ke dalam sensibilitas (kmampuan merasakan) dan karakter.
Pada dasarnya bildung adalah kumpulan kenangan yang di dalam proses pengumpulannya membentuk dirinya sendiri yang sebagai yang ideal. Mengingat peristiwa-peristiwa dunia dan melupakan perbuatan-perbuatan yang tidak bertanggung jawab merupakan bagian dari sejarah kehidupan manusia. Oleh karena itu memori atau kenangan itu harus dibentuk. Bahkan perbuatan melupakan yang sering kali dianggap perbuatan yang tidak diinginkan, juga digunakan di dalam bildung, sebab hanya dengan melupakan hal-hal yang tidak bertanggung jawab maka pikiran kita mempunyai kesempatan untuk mengadakan pembaharuan secara menyeluruh atau total, yaitu kemampuan melihat segala sesuatu dengan pandangan mata yang segar.

2.    Sensus communis
Sensus communis mempunyai kesamaan arti dengan ekspresi dalam bahasa Prancis le bon sens, yaitu pertimbangan praktis yang baik. Menurut pengertiannya secara mendasar, istilah tersebut adalah pandangan yang mendasari komunitas  dan karenanya sangat penting untuk hidup. Sejarawan memerlukan sensus communis semacam ini untuk memahami arus yang mendasari pola sikap manusia. Sejarah pada dasarnya tidak berbicara tentang seorang manusia yang terpencil, melainkan berbicara tentang kelompok manusia atau komunitas.

3.    Pertimbangan
Gadamer menyatakan bahwa perbedaan antara orang bodaoh dan orang pandai adalah bahwa orang bodoh kekurangan pertimbangan. Artinya ia tidak dapat menghimpun kembali apa yang telah dipelajari atau diketahuinya sehingga ia tidak dapat mempergunakan hal-hal tersebut dengan benar. Pertimbangan sifatnya adalah universal, namun bukan berarti berlaku umum dan hanya sedikit orang yang sekiranya memiliki halite dan menggunakannya sebagaimana mestinya. Pertimbangan adalah kemampuan untuk memahami hal-hal khusus sebagai contoh yang universal, dan kemampuan ini akan melibatkan perasaan, konsep, prinsip dan hokum-hukum yang dapat diolah oleh manusia.
4.    Taste atau Selera
Menurut Gadamer selera sama dengan rasa, yaitu dalam pengoprasiannya tidak mamakai pengetahuan akali. Jika selera menunjukan reaksi negative atas sesuatu, kita tidak tahu sebabnya. Tapi selera pasti tahu akan hal itu. Semakin selera dinyatakan pasti maka semakin dirasakan hambar. Selera bertentangan dengan yang tidak menimbulkan selera. Fenomena selera adalah kemampuan intelektual untuk membuat differensiasi, akan tetapi kemampuan ini tidak dapat didemonstrasikan. Selera tidak terbatas pada sesuatu yang indah secra alamidan di dalam seni, tetapi meliputi seluruh moralitas dan perilaku atau tabiat.
G.    Inti Uraian Tentang Hermeneutik
Gadamer menyatakan bahwa hermeneutika adalah seni, bukan prses mekanis. Jika pemahaman adalah jiwa dari hermeneutic, maka pemahaman tidak bisa digunakan sebagai pelengkap proses mekanis. Pemahaman dan hermeneutic hanya dapat diberlakukan sebagai suatu karya seni dan tidak dapat disiapkan terlabih dahulu sebelum dibuat, tidak dapat diramalkan atau dikatakan sebelumnya.
Hermeneutic harus menghasilkan suatu esensi dalam hal batiniah yang merupakan realitas utama dan benar. Esensi dalam hal ini harus dipahami dan diungkapkan dan sudah menjadi keharusan hermeneutic untuk dilaksanakan di luar rekonstruksi.
Gadamer juga menyatakan interprestasi adalah penciptaan kembali meskipun bukan perbuatan yang kreatif. Hermeneut (penafsir) selalu memahami realitas dan manusia dengan titik tolak sekarang atau kontemporer.  Dan apabila seorang hermeneut berinterprestasi mulai dari titik tolak sejarah yang menguntungkan dirinya sendiri, hal ini akan menimbulkan suatu percampuran kebudayaan yang bermacam-macam. Tidak ada cakrawala yang tertutup yang melingkari kebudayaan adalah sebuah abstraksi.
Dari uraian tersebut refleksi hermeneutic menjadi penting bila kita berhubungan dengan manusia yang pengalaman-pengalamannya tidak selalu dapat dipilah-pilahkan dalam kategori, tidak bisa digolong-golongkan, maupun tidak bisa dipelajari secara artificial (sekedar main-main saja). Dan hermneutik membutuhkan pengetahuan tentang manusia atau masyarakat yang diperoleh bukan atas dasar kerja ilmiah, melainkan yang dapat dipelajari sebagai seni.

“Dalam refleksi hermeneutic tentang syarat-syarat pemahaman, nyatalah dalam kemungkinan-kemungkinan menyatakan diri dalam kesadaran yang merumuskan pemahaman dalam sebuah bahasa tidak mulai dari nol atau berakhir dalam ketidaktentuan. Model filsafat praktis ini harus mampu berfungsi  sebagai theoria yang legistimasi-ontologisnya hanya dapat ditemukan di dalam suatu intellectus infinitus (pemikiran yang luas) yang tidak dikenal dalam pengalaman ekssistensial karena tidak didukung oleh wahyu”.(Gadamer, philosophical Apprenticeship, 1985:183)

Gadamer memberikan ruang terhadap wahyu untuk suatu bentuk intuisi yang tidak boleh yang berlaku dalam metodologi.
Perpaduan cakrawala memang selalu efektif didalam penerjemahan. Namun secara paradoksial, Gadamer juga menegaskan bahwa suatau interprestasi tersebut mampu menghilang dibalik bahasa yang digunakan. Dalam artian terjemahan itu akan tepat bila pembacanya mengalami suatu kehalusam dan irama bahasa yang mengatur. Dalam berbicara interpresasi bagaikan terjemahan. Melalui bahasa kita tidak hanya melakukan interprestasi atas sebuah teks atau dokumen tertulis saja, melainkan juga benda-benda yang bukan bahasa. Dan ada pola-pola bahasa yang tersembunyi dibalim semuanya itu. Dan menurut Gadamer  bahasa adalah “bahasa penalaran itu sendiri”.


H.    Arti “Memahami”
Menrut Gadamer, pemahaman selalu dapat diterapkan pada keadaan kita saat ini, meskipun pemahaman itu berhubungan dengan peristiwa sejarah, dialektik dan bahasa. Oleh karenanya, pemahaman selalu memiliki posisi, misalnya posisi pribadi kita sendiri saat ini. pehaman tidak pernah bersifat obyektif dan ilmiah. Sebab pemahaman bukanlah mengetahui secara statis dan diluar kerangka waktu.
Interprestasi bukanlah sekedar suatu yang ditambahkan atau dipaksakan masuk ke dalam pemahaman. Memahami selalu dapat berarti membuat interprestasi. Oleh karenanya, interprestasi secara eksplisit adalah bentuk dari pemahaman.[2] Namun yang jadi permasalahan, lebih dahulu mana antara pemahaman dan interpretasi. Atas hal ini menurut Gadamer pertanyaan yang berhubungan dengan pentingnya waktu dalam pemahaman dan interprestasi dapat menimbulkan lingkaran hermeneutic. Kita dapat terlebih dahulu memahami dan kemudian membuat interpretasi. Proses pemahaman sebenarnya merupakan interpretasi sendiri.akal pikiran kita membuat perbedaan, mengutamakan, menunda, bekerja, mendayagunakan apa saja yang dikumpulkan dari panca indra kita dan dari proses intelektualnya sendiri.
Penerapan hermeneutika seperti halnya pemahaman dan interpretasi. Dulu yang dianggap tugas hermeneutic adalah menyadur makna dari sebuah teks ke dalam situasi kongkret, dimana pesan yang ada di dalam teks itu ditujukan. Tugas interpretasi sama dengan tugas kongkretisasi hokum atau penerapan hokum pada hal-hal khusus. Jadi penerapan juga merupakan pemahaman yang benar terhadap factor yang universal.
Untuk dapat memahami sebuah teks, kita harus membuang jauh-jauh segala bentuk prakonsepsi dengan maksud agar kita menjadi terbuka terhadap apa yang dikatakan oleh sebuah teks. Sebaliknya kita mengantisipasi dan menginterprestasi menurut apa yang kita miliki (vorhabe) dan apa yang kita lihat (vorsicht) serta apa yang akan kita peroleh kemudian (vorgriff).
Adanya antisipasi terhadap makna, yaitu yang berasal dari pertimbangan sebelumnya atas keselruhan pemahaman melalui bagian-bagiannya, memang diharapkan. Gadamer menyebut hal itu sebagai makna atau arti yang akan datang (for-understanding), yang juga merupakan persyaratan hermeneutic sehingga membuat pemahaman itu menjadi suatu “hubungan ya ng historis dan efektif”. Pemahaman akan terjadi hanya dalam konteks cakrawala sejarah yang terus-menerus berubah. Dan akhirnya pemahaman itu sendiri adalah fusi dari berbagai macam cakrawala yang merupakan tebaran pandangan (Gesichtskreis) yang merangkum dan mencangkup segala hal yang dapat dilihat dari suatu titik pandang[3], dengan hubungan timbal balik antara beberapa konteks dalam sejar
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
            Hermeneutika bukanlah hal baru. hermeneutika mengundang kita untuk melihat secara lebih dekat bahasa yang kita pergunakan, yaitu sebagai alat untuk mengerti dan memahami, dan sekaligus penyebab “salah mengerti” ataupun “salah paham”. Bahasa akan menjadi pusat bahasan hermeneutic sejauh hal itu menyatakan sejarah, kebudayaan, hokum, agama, filsafat, seni, kesustsastraan, maupun linguistic – atau semua yang termasuk dalam geisteswissenchaften atau ilmu-ilmu tentang kemanusiaan atau ilmu pengetahuan tentang kehidupan (life sciences) dan nilai-nilai yang merupakan petunjuk ke arah interpretasi. Hermeneutika tidak dapat bertahan sebagai metode dikarenakan metode hermeneutika tidak dapat disejajarkan dengan metode penelitian ilmiah yang bersifat ketat dan baku, sementara hermeneutic sifatnya luwesatau fleksibel.
            Gadamer menegaskan bahwa persoalan hermeneutic bukanlah persoalan tentang metode yang dipergunakan untuk  geisteswissenchaften. Hermeneutic lebih merupakan usaha memahami dan menginterpretasi sebuah teks. Hermeneutika  merupakan keseluruhan dari pengalaman mengenai dunia. Dengan kata lain, hermeneutic model Gadamer ini adalah keterbukaan terhadap yang lain, apapun bentuknya, baik sebuah teks, notasi music, maupun karya seni. Hermeneutic menurut Gadamer adalah sungguh-sungguh seni.


DAFTAR PUSTAKA
Sumaryono,E. 2000. Hermeneutic Sebuah Metode Filsafat. Penerbit Kanisius: Yogyakarta
Poesprodjo. W. Dr . 2004. Hermeneutika. Pustaka Setia: Bandung


[1] Mempunyai tiga segi yang saling berhubungan.
[2] E. Sumaryono, hermeneutic Sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius,2000) hlm.76
[3] Dr. W. Poesprodjo, I.Pk, S.I, S.H,  Hermeneutika, (Bandung: Pustaka Setia 2004) hlm. 102

No comments: