BAB
I
PENDAHULUAN
Muhammadiyah
adalah organisasi masyarakat yang sampai ini masih eksis di antara kita dan
masyarakat. Banyak hal yang dapat kita pelajari dari muhammadiyah, entah itu
dari tata nilai sejarah atau perkembangannya di indonesia, yang mana berdirinya
organisasi ini dipelopori oleh KH. Achmad Dahlan yang mana berdomisili di
jogjakarta pada 8 Dzulhijjah 1330 H bertepatan dengan tanggal 18 November 1912
M.
Gerakan
ini diberi nama oleh pendirinya dengan maksud untuk bertafa’ul (berpengharapan
baik) dapat mencontoh dan meneladani jejak perjuangannya dalam rangka
menegakkan dan menjunjung tinggi agama islam semata-mata demi terwujudnya ‘izzul
islam wal muslimin, kejayaan islam sebagai realita dan kemuliaan hidup umat
islam sebagai realita.
Satu
hal yang menjadi permasalahan pokok dalam benak kita sebagai seorang muslim,
bagaimana kita mengetahui suatu hukum dapat ditentukan?, karena yang kita bahas
disini adalah Muhammadiyah, maka kita akan membahas bagaimana muhammadiyah
menentukan suatu hukum dengan cara dan metode ijtihadnya, agar kita mengetahui
langkah-langkah yang diambil dalam penetapan hukum tersebut.
BAB II
Pembahasan
Dalam Muhammadiyah metode yang digunakan
adalah majlis tarjih atau lebih lengkapnya disebut dengan Majlis Tarjih dan
Pengembangan Pemikiran Islam (MT-PPI) Muhammadiyah, MT-PPI Muhammadiyah
dipercaya oleh Muhammadiyah untuk melakukan kajian terhadap masalah-masalah
sosial keagamaan yang berkembang di Masyarakat.
Manhaj yang dikembangkan dalam MT-PPI
yaitu manhaj yang bersifat relatifitas, pedoman MT-PPI secara umum dapay
dikelompokkan menjadi dua: manhaj ijtihad hukum dan manhaj pengembangan
pemikiran islam.
Ada enam belas teknis yang digunakan
dalm MT-PPI yaitu: pengertian jtihad, maqashidal-syari’at, al-ittiba’,
al-taqlid, al-talfiq, al-tarjih, al-sunat, al-maqbulat, al-ta’abbudiy,
al-ta’aquly, sumber hukum, qth’iy al-wurud, qhat’iy al-dalalat, zhanniy
al-dalalat, al-tajdid, dan pemikiran.[1]
Sumber hukum Muhammadiyah adalah
Al-Qur’an dan Al-sunat Al-maqbulat. Sedangkan ruang lingkup ijtihad bagi
Muhammadiyah adalah :
a.
Masalah-masalah
yang terdapat dalam dalil zhanny
b.
Masalah-masalah
yang secara eksplisitbtidak terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Muhammadiyah membedakan
tiga istilah teknis dalam metodenya yaitu antara lain:
a.
Bayani (semantik), yaitu metode istinbath hukum dengan pendekatan
kebahasaan.
b.
Ta’lili (rasional), yaitu metode istinbath hukum dengan pendekatan berfikir
logis (nalar).
c.
Istishlahi (filosofis), yaitu metode
istinbath hukum dengan pendekatan kemaslahatan.
Dan
juga menggunakan dua sistem dalam ijtihadnya yaitu pendekatan dan teknik. Pendekatan
MT-PPI dalam berijtihad adalah pendekatan:
a.
Sejarah
b.
Sosiologi
c.
Antropologi
d.
Hermenetik
Sedangkan
teknik ijtihad MT-PPI adalah:
a.
Ijmak
b.
Qiyas
c.
Mashlih
mursalat
d.
Al-‘urf
Di dalam MT-PPI
dikala menemukan pertentangan dalil yang mana masing-masing menunjukkan
ketentuan hukum yang berbeda-beda (ta’arrudh al-adillat), maka
langkah-langkah yang diambil adalah:
a.
Al-jam’wa
al-taufiq, yaitu menerima
semua dalil walaupun secara eksplisit terdapat pertentangan. Sedangkan untuk
kebutuhan praktis, MT-PPI mempersilahkan umatnya untuk memilih salah satu dalil
tersebut.
b.
Al-tarjih, yaitu memilih dalil yang lebih kuat unutk diamalkan dan
meninggalkan dalil yang lebih lemah.
c.
Al-naskh, yaitu mengamalkan dalil yang
munculnya lebih akhir.
d.
Al-tawaqquf, yaitu menghentikan penelitian terhadap dalil yang dipakai dengan
cara mencari dalil baru.
Metode
tarjih terhadap nash yang dilakukan oleh MT-PPI dengan memperhatikan beberapa
segi:
1.
Sanad; tarjih
terhadap sanad dilakukan dengan memperhatikan:
a.
Kualitas dan
kuantitas rawi,
b.
Bentuk dan
sifat periwayatan,
c.
Sighat
penerimaan dan pemberian hadits (kayfiyyat al-tahammul wa al-ada’)
2.
Matan; tarjih terhadap
matan dilakukan dengan memperhatikan:
a.
Matan yang
menggunakan sighat cegahan (al-nahy) lebih diutamakan dari pada matan
yang menggunakan sighat perintah (al-amr)
b.
Matan yang
menggunakan sighat khusus (al-khasb)lebih diutamakan atas matan yang digunakan
sighat umum (al-‘amm)
3.
Materi hukum
4.
Eksternal
Prinsip-prinsip
pengembangan pemikiran islam MT-Ppi adalah:
a.
Konservasi (turats,
al-muhafadzhat)
b.
Inovasi (al-tahdist)
c.
Kreasi (ibtikari)
Kerangka
metodologi pemikiran islam adalah dengan menggunakan pendekatan bayani,
burhani, dan ‘irfani.[2]
Pendekatan bayani adalah pendekatan
untuk memahami dan menganalisi teks guna mendapatkan makna yang dikandungnya
dengan menggunakan empat macam bayan:
1.
Bayan
al-i’tibar, yaitu
penjelasan mengenai keadaan sesuatu yang melliputi al-qiyas al-bayani dan
al-khabar yang bresifat yaqin atau tashdiq,
2.
Bayan
al-i’tiqad, yaitu
penjelasan mengenai keadaan sesuatu yang meliputi makna haqq, mutasyabbih, dan
bathil.
3.
Bayan al-‘ibarot,
yaitu penjelasan mengenai keadaan sesuatu yang meliputi bayan
zhahir dan bayan bathin.
4.
Bayan al-kitab,
yaitu media unutk menukil pendapat-pendapat, yaitu kitab-kitab.
Pendekatan burhani adalah pendekatan rasional argumentatif, yaitu
pendekatan yang didasarkan pada kekuatan rasio melalui instrumen logika dan
metode diskurif (bathiniy), dan pebdekatan irfani adalah pemahaman yang
tertumpu pada pengalaman bathin, al-zawq, qalb, wijdan, bashirot, dan intuisi.
Ada juga beberapa pokok manhaj majlis tarjih yang telah dilakukan
dalam menetapkan keputusan selain diatas antara lain:
1.
Dalam
memutuskan suatu dilakukan dengan cara musyawrah. Dalam berijtihad digunakan
sistem ijtihad jama’iy. Dengan demikian pendapat perorangan dari anggota
majlis tidak dapat dipandang sebagai anggota majlis.
2.
Tidak mengikat
diri sebagai madzhab, tetapi pendapay imam madzhab dapat dijadikan bahan
pertimbangan dalam menetapkan hukum, sepanjanh sesuai dengan jiwa Al-qur’an dan
As-sunnah serta dasar-dasar alin yang dipandang kuat.
3.
Berprinsip
toleran dan terbuka, dan tidak beranggapan hanya keputusan Majlis Tarjih yang
paling benar. Keputusan diambil berdasarkan pada dalil-dalil yang dipandang
paling kuat saat keputusan diambil. Dan koreksi dari siapapun akan diterima,
sepanjang mendasari dengan dalil yang lebih kuat sehingga memungkinkan Majlis
Tarjih Mengubah keputusan yang pernah ditetapkan.
4.
Di dalam
masalah ‘Aqidah (Tauhid), hanya digunakan dalil-dalil yang mutawatir saja.
5.
Tidak menolak
suatu ijma’ Sahabat, sebagai suatu dasar keputusan.
6.
Menta’lil dapat
digunakan untuk memahami kandungan dalil-dalil Al-qur’an dan As-sunnah
sepanjang sesuai dengan tujuan syari’ah.
7.
Penggunaan
dalil-dalil untuk menetapakan suatu hukum dilakukan dengan cara komperhensip,
utuh dan bulat, tidak terpisah.
8.
Dalil-dalil umu
dalam Al-qur’an bisa ditakhsis dengan Hadits Ahad, kecuali dalam bidang Aqidah.
9.
Dalam bidang
ibadah yang diperoleh ketentuan-ketentuannya dari Al-qur’an dan As-sunnah,
pemahamannya dapat menggunakan akal sepanjang diketahui latar belakang dan
tujuannya, meskipun diakui akal bersifat relatif, sehingga prinsip mendahulukan
nash daripada akal memiliki kelenturan dalam menghadapi perubahan dan situasi.
10. Dalam hal-hal yang termasuk Al-umurud Duniawiyah yang tidak
termasuk tugas para Nabi, penggunaan akal sangat diperlukan demi untuk
tercapainya kemaslakhatan umat.
11. Dalam memahami nash, makan dzahir didahulukan dari pada ta’wil
dalam bidamg Aqidah. Dan ta’wil sahabat pada hal ini tidak harus diterima.
12. Jalan ijtihad yang telah ditempuh meliputi:
a.
Ijtihad Bayani,
yaitu ijtihad terhadap nash yang mujmal, baik belum jelas makna
lafadz yang dimaksud, maupun karena lafadz tersebut mempunyai makna ganda,
mengndung arti musytarak, ataupun karena pengertian lafadz dalam ungkapan yang
konteksnya mempunyai arti yang mutasyabbih, ataupun adanya beberapa
dalil yang bertentangan ta’arudh. Dalam hal yang terakhir digunakan
jalan ijtihad dengan cara tarjih.
b.
Ijtihad Qiyasy,
yaitu nmenyeberangkan hukum yang tealah ada nashnya kepada masalah
baru yang belum ada hukumnya berdasarkan nash, karena adanya kesamaan ‘illah.
c.
Ijtihad
Istislakhiy, yaitu ijtihad
terhadap masalah yang tidak ditunjuki sama sekali nash secara khusus, maupun
tidak adanya nash mengenai masalah yang ada kesamaannya. Dalam masalah
demikian penetapan hukum dilakukan
berdasarkan ‘illah untuk kemaslakhatan.
Dalam
menggunakan Hadits, ada beberapa akaidah yang telah menjadi keputusan Majlis
Tarjih yaitu sebagai berikut:
a.
Hadits mauquf
tidak dapat dijadikan Hujjah. Yang dimaksud dengan Hadits mauquf adalah apa
yang telah disandarkan kepada sahabat baik ucapan maupun perbuatan atau
semacamnya, baiak bersambung atau tidak.
b.
Hadits mauquf
yang dihukum marfu’ dapat dijadikan hujjah. Hadits mauquf dihukum marfu’
apabila ada qorinah yang dapat dipahami daripadanya bahwa hadits itu marfu’.
c.
Hadits mursal
sahabi dapat dijadikan hujjah apabila ada qorinah yang menunjukkan persambungan
sanadnya.
d.
Hadits mursal
tabi’i semata, tidak dapat dijadikan hujjah. Hadits ini dapat dijadikan hujjah
jika ada qarinah yang menunjukkan persambungan sanad samapai kepada Nabi.
e.
Hadits-hadits
dhaif yang kuat menguatkan, tidak dapat dijadikan hujjah, kecuali jika banyak
jalan periwayatannya, ada qarinah yang dijadikan hujjah dan tidak bertentangan
dengan Al-qur’an dan Hadits sahih.
f.
Dalam menilai
perawi hadits jarh didahulukan
dari pada ta’dil setelah adanya keterangan yang mu’tabar berdasarkan
alasan syara’.
g.
Periwayatan
orang yang dikenal melakukan tadlis dapat diterima riwayatnya, jika ada
petunjuk bahwa hadits itu mustahil, sedangkan tadlis tidak mengurangi
keadialan.
Bab
III
Penutup
Muhammadiyah mempercayai Majlis
Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam dalam menetapkan suatu hukum yang lalu
djalankan dan dianut oleh para pengikutnya, kesimpulannya muhammadiyah bersifat
terbuka dan toleran, tidak menilai bahwa keputusannya lah yang paling benar,
bila ada pendapat dari siapapun akan diterima sepanjang memiliki landasan yang
lebih kuat dan arjah, maka pendapat yang telah ditetapkan oleh majlis
kemungkinan akan berubah.
Itulah salah satu kesimpulan yang
bisa kita ambil, adapun kesimpulan-kesimpulan yang lain bisa kita temui kala
kita mempelajari bagaimana Majlis Tarjih Muhammadiyah bisa dapat menetapkan
hukum lebih dalam. Yang dipandang secara global maupun khusus, sehingga kita
tahu dan mengerti apa dan bagaimana tindak kita kala menemui kebingungan dalam
mengetahui suatu hukum dan menjalankannya.
Daftar Pustaka
Ø Mubarok, Jaih. “METODOLOGI IJTIHAD HUKUM ISKAM”. Yogyakarta.
UII Press 2002
Ø Pasha, B.Ed, Kamal, Drs. H. Musthafa dan, darban, SU, Adaby, Drs.
H. Ahmad. “MUHAMMADIYAH sebagai GERAKAN ISLAM dalam prespektif Historis dan
Ideologis”. Yogyakarta. LPPI Universitas
MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA cetakan III 2003
[1]
Penjelasan tersebut merupakan pengembangan dari pengelompokan masalah yang
sudah dilakukan sebelumnya, yaitu masalah yang hidup dan berkembang di
masyarakat yang dikelompokkan menjadi 3: 1. Masalah agama (ad-din), 2. Masalah
dunia (al-dunnya), 3. Masalah ibadah (al-‘ibadat). Dan ibadah dibagi menjadi
dua: ibadah umum dan ibadah khusus.;
[2]
Tiga pendekatan tersebut merupakan penyempurnaan dari tiga jalur ijtihad
Muhammadiyah sebelumnya, yaitu ijtihad al-bayani, al-qiyasi, dan al-istishlahi.
(fathurrahman djamil) “metode ijtihad majelis tarjih Muhammadiyah”.
No comments:
Post a Comment